Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Cut Putri Cory

Luka Pengasuhan

Eduaksi | Saturday, 03 Jul 2021, 21:00 WIB

Kita dulu menengadah tangan memintanya kepada Allah, kita dulu memelas agar diberikan keturunan untuk menjadi permata hati kita. Bisa jadi, ada kesabaran yang tak awet, amarah yang meluap-luap, bahasa dan sikap yang tak ma’ruf.

Oleh: Cut Putri Cory (Ibu Pembelajar)

Saat paku yang dipalu ke dinding dicabut, meski dengan kelembutan kita mencabutnya, lubang tetap tertamsilkan membekas. Itulah sebagaimana pengasuhan, ada luka yang kita gores pada proses tumbuh kembang generasi, pasti ada. Ada pandangan mata yang penuh harap yang kita kecewakan, ada janji yang belum ditepati, ada luka yang mungkin masih basah sampai hari ini.

“Setiap diri adalah pemimpin,” demikian tersabda melalui lisan Nabi. Mungkin kadang luput kita sadari bahwa kitalah peta bagi generasi, kita kedua orang tuanya yang menjadi kompas hidup baginya. Kita yang menjadi pemimpinnya. Sadar atau tidak, ananda mengimitasi amanah kepemimpinan orang tuanya, akan di-copy paste oleh generasi, gaya kepemimpinan kita akan diikuti karena dia pun adalah merupakan calon pemimpin. Namun yang menjadi pertanyaannya adalah apakah kita layak untuk diikuti? Apakah dalam luka dia bisa terpola menjadi generasi tangguh calon pemimpin? Lantas bagaimana agar tak kita gores luka baginya? Bagaimana menyembuhkan luka yang ada? Agar dia tumbuh besar menjadi generasi tangguh calon pemimpin masa depan.

“Tiada suatu pemberian yang lebih utama dari orang tua kepada anaknya selain pendidikan yang baik” (HR. Al-Hakim). Yang paling menantang dalam aktivitas mendidik adalah menjaga konsistensi, tetap sabar, tetap ikhlas, dan konsisten tetap sabar dan tetap ikhlas tanpa terwarnai ego. Setiap orang tua adalah manusia, ada kita khilaf, pun ada masanya kita tak taat asas. Tapi siapapun dia, pasti menginginkan yang terbaik untuk generasinya.

Meski kadang tak bisa sehebat yang dicita-citakan, tapi hampir setiap orang tua punya mimpi besar yang jauh dari kondisi dirinya. Maksudnya, kita pasti ingin anak-anak kita lebih baik dari kita. Jika hari ini kita faqih dalam ilmu kedokteran anak, maka kita tentu ingin anak kita menjadi lebih faqih dari kita. Jika hari ini kita tukang becak, tentu kita ingin anak kita menjadi yang lebih dari itu. Jika kita tak pernah menikmati pendidikan tinggi, tentu salah satu mimpi besar kita adalah agar dia bisa mengenyam pendidikan tinggi untuk masa depan yang lebih baik dengan ilmunya.

Begitulah orang tua, mereka akan punya banyak impian untuk kebahagiaan anak-anaknya. Yang menjadi penting pada titik ini adalah merasionalisasi harapan dengan menjawab pertanyaan demi pertanyaan, sudahkah kita melakukan kepantasan demi terkabulnya harapan? Adakah segaris antara doa yang dilangitkan dengan sikap pendidikan kita terhadap generasi? Bagaimana harapan terwujud jika luka terus bertambah? Bagaimana dan bagaimana?

Memang mendidik generasi bukan perkara mudah, apalagi dalam situasi tanpa dukungan sistem terapan yang sejatinya harus menjadi tameng pelindung. Malah yang terjadi justru sebaliknya, sistem yang diterapkan justru menjadi perangkat penghancur generasi, dan keluarga menjadi benteng terakhir yang ‘berdarah-darah’ menghadapi gempuran sistem kapitalisme yang merusak generasi. Di antara abainya tanggung jawab keayahbundaan yang dilakukan orang tua, ada andil sistem di dalamnya yang memproduksi ‘orangtua abai’ dan tak memiliki ilmu dalam mendidik generasi.

Minta maaf, kita harus menundukkan ego, dan banyak meminta maaf kepada generasi. “Ummi minta maaf, ya, Nak.” Di tengah begitu banyak kekurangan dan kesalahan, dan di tengah kebingungannya untuk memaklumi keadaan dengan akal kecilnya yang tak sanggup. “Maafkan, Nak..“

Pun kita harus terus meminta pertolongan Allah dalam mendidik generasi. Situasi ini merupakan kegentingan sistemik, ini situasi gawat darurat global, di tengah fakta ‘tersayatnya’ generasi Muslim global. Tanpa pertolongan Allah, jangankan hal yang berat ini, segala sesuatu yang disepelekan oleh manusiapun, hal sekecil apapun, tak sanggup kita lakukan. Semua adalah berkat dari rahmat Allah. Bahkan menegakkan leher untuk duduk dan berdiri pun, tanpa pertolongan Allah, kita tak kuat. Apalagi mendidik anak.

Kemudian cobalah kita merenung, sambil menyaksikan wajah polos dan lugu itu tertidur. Kita dulu menengadah tangan memintanya kepada Allah, kita dulu memelas agar diberikan keturunan untuk menjadi permata hati kita. Bisa jadi, ada kesabaran yang tak awet, amarah yang meluap-luap, bahasa dan sikap yang tak ma’ruf. Astaghfirullah, bertobat kita kepada Allah, mengevaluasi diri, sinergi dalam keluarga, dan pola pengasuhan.

Kemudian bangkit belajar lagi, inilah kita. Kita jatuh dan bangkit lagi. Kita akan tetap berharap rahmat Allah meski pernah melakukan kesalahan dalam pengasuhan, meski pernah menggores luka pada benak para bocah, kita akan berubah dan belajar lagi bagaimana menyembuhkan luka dan tak membuat luka baru. Belajar dari para ahli dan tak lupa menelaah bagaimana syariat menentukan peran Ibu dan Ayah, bagaimana ketentuan Allah atas kewajiban mendidik ini, bagaimana caranya, apa yang boleh dan tidak, bagaimana mengubahnya, dan banyak lagi pertanyaan lain.

Allah Rabbi, terimalah taubat kami. Mohon bimbinglah kami dan pilihlah anak-anak kami menjadi putra putri terbaik Islam di masa depan. Tolonglah kami. Tolonglah kami. Tolonglah kami. Mohon ampun, Yaa Allah.[]

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image