Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image faiz istikhori

Toleransi dalam pandangan Al-Qur'an

Agama | Sunday, 27 Jun 2021, 13:10 WIB

Toleransi dalam bahasa Arab disebut “Tasamuh”artinya bermurah hati, yaitu bermurah hati dalam pergaulan. Kata lain dari tasamuh ialah “tasahul” yang artinya bemudah-mudahan. Toleransi mengajarkan hendaknya kita mempunyai sifat sifat lapang dada, berjiwa besar, luas pemahaman dan tidak memaksakan kehendak sendiri, memberikan kesempatan kepada orang lain berpendapat sekalipun berbeda dengan pendapat kita. Semua itu adalah dalam rangka menciptakan kerukunan hidup beragama dalam masyarakat. Dengan demikian adanya perbedaan paham dalam suatu masalah, seperti agama dan keyakinan tidak boleh menjadi sebab untuk mengadakn garis pemisah dalam pergaulan. Jadi toleransi menghendaki adanya kerukunan hidup diantara manusia yang bermacam paham serta harmonisasi pergaulan antara mereka yang jauh dari sikap kaku apalagi yang bersifat konfrontatif.

Islam memperbolehkan umatnya berhubungan dengan umat agama lain. Toleransi antarumat beragama dalam batasan muamalah, yaitu batas batas hubungan kemanusiaan dan tolong menolong sosial kemasyarakatan. Adapun dalam aqidah dan ibadah secara tegas melarang umtuk bertoleransi. Ini berarti keyakinan umat Islam kepada Allah tidak sama dengan keyakinan parapenganut agama lain terhadap tuhan tuhan mereka. Demikian juga dengan tata cara ibadanya, bahkan Islam melarang penganutnya mencela Tuhan Tuhan dalam agama manapun. Maka kata Toleransi dalam Islam bukanlah “barang baru” tetapi sudah diaplikasikan dalam kehidupan sejak agama Islam itu lahir.

Kata toleransi secara eksplisit memang tidak ditemukan dalam al-Qur’an, namun bila yang dimaksud adalah sikap saling menghargai menerima serta menghormati keragaman budaya, perbedaan berekspresi maka al-Qur’an secara terang-terangan banyak menyinggung tema-tema diatas.

Salah satu prasyarat untuk mewujudkan kehidupan masyarakat modern yang demokratis adalah menampilkan sikap yang menghargai kemajemukanperbedaan suku, ras, etnis, budaya maupun agama. Masyarakat majemukmemiliki budaya dan aspirasi yang berbeda-beda satu sama lain tetapi memiliki kedudukan setara, tidak ada superioritas antar suku, ras, etnis, maupun agama. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat menimbulkan konflikantar suku, ras, etnis budaya maupun agama apabila tidak disikapi secarabaik. Hampir semua masyarakat yang berbudaya kini mengakui kemaemukansosial tetapi kenyataanya masih timbul konflik-konflik.

Adanya toleransi antar umat beragama merupakan hal yang sangatpenting, sebab keberadaan toleransi dapat menciptakan kerukunan hidup antarumat beragama. Toleransi merupakan awal adanya kerukunan, tanpa adanyatoleransi tidak mungkin ada sikap saling hormat-menghormati, kasih-mengasihi dan gotong-royong antar umat beragama. Tetapi pada masasekarang ini toleransi sering disalah-artikan dengan mengakui kebenaransemua agama, sehingga tidak jarang ada orang mengikuti perayaankeagamaan lain tanpa diketahui, apakah itu acara biasa atau acara meriahdengan dalih toleransi.

Toleransi berasal dari bahasa latin, “tolerare” yang berarti menahan diri, bersikap sabar, menghargai orang lain berpendapat lain, berhati lapangdan tenggang rasa terhadap orang yang berlainan pandangan atau agama.Dalam kamus besar bahasa Indonesia diterangkan bahwa toleransi adalahbersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan kelakuan) yangberbeda atau bertentangan dengan pendiriannya sendiri.

Secara umum istilah toleransi mengacu pada sikap terbuka, lapang dada suka rela dan kelembutan. Unesco mengartikan tolerasi sebagai sikap salingmenghormati, saling menerima, saling menghargai di tengah keragamanbudaya kebebasan berekspresi dan karakter manusia. Toleransi haarusdidukung oleh cakrawala pengetahuan yang luas, bersiakap terbuka, dialog kebebasan berfikir dan beragama. Pendek kata toleransi setara dengan sikap positif, dan menghargai orang lain dalam rangka menggunakan kebebasan asasi sebagai manusia.

Toleransi merupakan bentuk akomodasi dalam interaksi sosial. Manusia beragama secara sosial tidak bisa menafikan bahwa mereka harus bergaulbukan hanya kelompoknya sendiri. Tapi juga dengan kelompok berbedaagama. Umat beragama mesti berupaya memuncukkan toleransi untuk menjaga kestabilan sosial sehingga tidak terjadi benturan-benturan ideologidan fisik di antara umat beragama.

Dalam bahasa Inggris “tolerance” yang berarti sikap membiarkan, mengakui dan menghormati keyakinan orang lain tanpa memerlukan persetujuan. Sedangkan dalam bahasa Arab istilah ini merujuk kepada kata “tasamuh” yaitu saling mengizinkan atau saling memudahkan.

Sedangkan dalam pandangan para ahli, toleransi mempunyai beragam pengertian. Micheal Wazler (1997) memandang toleransi sebagai keniscayaandalam ruang individu dan ruang publik karena salah satu tujuan toleransiadalah membangun hidup damai (peaceful coexistence) diantara berbagai kelompok masyarakat dari berbagai perbedaan latar belakang sejarah,kebudayaan dan identitas. Sementara itu, Heiler menyatakan toleransi yang diwujudkan dalam kata dan perbuatan harus dijadikan sikap menghadapipluralitas agama yang dilandasi dengan kesadaran ilmiah dan harus dilakukandalam hubungan kerjasama yang bersahabat dengan antar pemeluk agama.Secara sederhana, toleransi atau sikap toleran diartikan oleh Djohan Efendi sebagai sikap menghargai terhadap kemajemukan. Dengan kata lain sikap ini bukan saja untuk mengakui eksistensi dan hak-hak orang lain, bahkan lebihdari itu, terlibat dalam usaha mengetahui dan memahami adanya kemajemukan.

Maka diri itu dapat diambil kesimpulan bahwa toleransi adalah sikap menghargai perbedaan dan juga pandangan. Dalam kehidupan sehari-hari perlu adanya sikap toleransi agar manusia dapat hidup berdampingan dan tidak terjadi gesekan-gesekan antar sesama manusia yang berbeda pandanganataupun keyakinan. Namun tidak semua memiliki sikap toleransi, sehingga masih sering terjadi pertikaian antar golongan, ras, ataupun agama.

Dan dalam al-Quran ayat yang menampakkan tentang toleransi dalam beragama yakni : Q.S. Al-Baqarah ayat 256

لَآ إِكۡرَاهَ فِي ٱلدِّينِۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشۡدُ مِنَ ٱلۡغَيِّۚ فَمَن يَكۡفُرۡ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسۡتَمۡسَكَ بِٱلۡعُرۡوَةِ ٱلۡوُثۡقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَاۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ.

Artinya:

Tidak ada paksaan untuk (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barangsiapa ingkar kepada ṫāgūt dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.

Ayat diatas menjelaskan bahwa tidak ada paksaan untuk menganut agama Islam. Sayyid Qutb dalam kitab Tafsir Fi Zhilalil Qur’an mengatakan,

“Akidah adalah masalah kerelaan hati setelah mendapat keterangan dan penjelasan, bukan pemaksaan dan tekanan. Islam datang kepada manusia melalui kemampuan akalnya yang berbicara, intuisi yang berpikir, dan perasaan yang sensitif, serta berbicara kepada fitrah yang tenang. Dengan kata lain, Islam menekankan kepada bukti dan penjelasan yang terang benderang sehingga jelas sudah mana jalan yang benar dan mana yang salah. Karena bukti sudah sedemikian jelas, manusia tidak perlu lagi dipaksa, ditekan, diteror untuk memeluk agama Islam”.

Implementasi Ayat Toleransi Beragama Perspektif al-Qur’an

Adapun bentuk implementasi ayat toleransi beragama sebagaimana yang diuraikan seperti; prinsip kebebasan beragama, penghormatan Islam kepada pemeluk agama lain, dan membangun persatuan dengan persaudaraan. Hal ini telah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad Saw.

Pertama, terkait dengan prinsip kebebasan beragama.

Sikap Toleran Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam terhadap kelompok Yahudi. Agama Yahudi sudah terlebih dahulu ada di beberapa wilayah jazirah Arab khususnya Yasrib/Medinah sebelum Islam datang. Para sejarawan menyimpulkan bahwa komunitas Yahudi yang ada di jazirah Arab atau lebih khusus di Yasrib terdiri dari dua kelompok yaitu; golongan keturunan Yahudi asli, mereka di sana sebagai pendatang; dan Yahudi keturunan Arab yaitu orang Arab yang menganut agama Yahudi.

Setelah orang-orang Yahudi ini datang ke Yasrib hadir pula dua suku Arab yang merupakan migran dari Yaman yaitu Aus dan Khazraj terjadi sekitar tahun 300 M. Setelah Islam datang di Medinah ada di antara orang-orang Yahudi tersebut yang masuk Islam seperti Abdullah bin Salam, namun secara umum mereka tetap beragama Yahudi. Di antara potret hubungan antara Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam dengan orang-orang Yahudi ini yang layak untuk mendapat apresiasi di antaranya: Pada tahun 7 H, Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam menikahi Sāfiyah binti Huyai putri dari salah seorang kepala suku Yahudi Bani Quraidah yang bernama Huyai bin Akhtab.

Sāfiyah masuk Islam dan bahkan kemudian mendapat gelar ummul-Mu'minin, namun orang tuanya masih tetap beragama Yahudi, bahkan sampai meninggal masih belum masuk Islam. Mungkin bagi sementara umat Islam informasi ini cukup mengejutkan bahwa ternyata Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam memiliki seorang mertua Yahudi. Yang perlu mendapat perhatian adalah ternyata Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam tidak memaksa mertuanya untuk masuk Islam. Dapat dibayangkan betapa toleran sikap Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam yang tetap dapat menjalin hubungan kekeluargaan melalui perkawinan meskipun keluarga besar istri masih tetap memeluk agama Yahudi.

Kedua, terkait dengan penghormatan Islam kepada pemeluk agama lain.

Contoh berikut ini interaksi Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam dengan orang-orang Nasrani ketika beliau sudah tinggal di Medinah. Kisah ini bersumber dari sejarawan Muslim terkenal Ibn Ishaq (w. 151 H) yang dikutip oleh beberapa ulama belakangan di antaranya adalah Ibn Sa'ad (w. 230 H) dalam bukunya at-Thabaqāt al-Kubrā dan Ibn Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H) dalam bukunya Zad al-Ma'ād. Cerita ini cukup terkenal, ringkasannya adalah; suatu ketika Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam didatangi oleh serombongan orang-orang Nasrani Najran yang berjumlah enam puluh orang.

Najran adalah satu wilayah yang berdekatan dengan Yaman. Mereka dipimpin oleh Pendeta Abu al-Haris\ah bin 'Alqamah. Mereka masuk masjid untuk menemui Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam, dimana saat itu Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam sedang bersiap untuk salat Asar bersama para sahabat. Melihat hal tersebut rombongan Nasrani itu juga ingin melaksanakn kebaktian di masjid dan menghadap ke arah timur.

Melihat gelagat tersebut para sahabat hendak melarang mereka, namun Nabi shallallāhu ‘alaihi wa salam memberi isyarat untuk membiarkan mereka melakukan kebaktian di masjid. Setelah itu mereka berdiskusi bersama Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam tentang seputar masalah keimanan, dan akhirnya mereka berpamitan, tanpa ada satu pun anggota rombongan tersebut yang masuk Islam. Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam tidak memaksa mereka untuk masuk Islam.

Dari kisah inilah kemudian Ibnu Qayyim al-Jauziyah menarik kesimpulan bahwa orang-orang ahli kitab boleh masuk di masjid-masjid kaum Muslimin. Kaum Ahli Kitab juga diperbolehkan untuk melakukan ibadah menurut ritual mereka di masjid di hadapan kaum Muslim apabila hal itu bersifat spontan dan tidak dilakukan secara rutin.

Ketiga, terkait dengan membangun persatuan dengan persaudaraan.

Masih tentang sikap toleransi dengan kaum Nasrani; Berikut ini adalah kisah yang terjadi pada tahun kelima kenabian, tepatnya di bulan Rajab tahun 615 M. Ketika suasana Mekah sudah tidak kondusif lagi bagi kaum Muslim yang berjumlah masih sangat sedikit saat itu, Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kaum Muslimin yang berjumlah 16 orang untuk hijrah ke Habasyah (Abbsenia).

“Di sana ada seorang penguasa yang tidak pernah berbuat zalim kepada siapa pun” begitu argumen Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Rombongan kaum Muslim tersebut tinggal di Habasyah kurang lebih dua bulan. Setelah mendengar informasi bahwa situasi Mekah sudah aman mereka memutuskan kembali ke Mekah. Ternyata informasi tersebut keliru, situasi Mekah belum aman. Akhirnya Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kaum Muslimin untuk hijrah kedua kalinya dengan jumlah rombongan yang lebih besar terdiri dari 83 laki-laki dan 11 perempuan.

Mereka mendapat perlakuan yang sangat baik dari penguasa Habasyah saat itu an-Najasyi. Rombongan kaum Muslimin tinggal di Habasyah cukup lama sampai ada berita bahwa Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Medinah, barulah beberapa tahun kemudian mereka memutuskan pulang dan mengikuti Nabi untuk berhijrah ke Madinah.

Dari peristiwa sejarah di atas dapat dipetik hikmah bahwa kaum Muslimin dapat hidup berdampingan dengan mayoritas Nasrani dan bahkan mereka diperlakukan secara baik, meskipun status mereka adalah pendatang. Catatan yang perlu diberikan adalah bahwa masing-masing kelompok tersebut yaitu kaum Muslimin dan kaum Nasrani tetap dalam akidah mereka masing-masing; tidak terdengar dalam sejarah bahwa salah satu pihak telah memaksakan keyakinan agamanya kepada pihak lain.

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa konsep toleransi beragama yang dijelaskan dalam al-Qur’an yaitu ada 3 hal; prinsip kebebasan beragama, penghormatan kepada agama lain, dan prinsip persaudaraan. Prinsip kebebasan beragama dapat dijabarkan.

Pertama, kebebasan dan kemerdekaan memilih agama sesuai keyakinan adalah hak asasi manusia yang paling asasi, maka manusia –termasuk pemerintah- harus menghormati hak tersebut. Sebab keimanan dan kekafiran itu merupakan hak atau anugerah dari Allah yang tidak bisa dilanggar dengan paksaan oleh manusia terhadap manusia yang lain.

Kedua, manusia atau bahkan nabi sekali pun hanya berhak untuk mengajak dan memberikan peringatan tanpa paksaan, tidak diperkenankan terlalu berlebihan apalagi sampai mencelakakan diri sendiri. Ketiga, dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang dilandasi nilai-nilai Al-Qur’an, maka kemerdekaan dan kebebasan beragama adalah prinsip yang harus dijunjung tinggi atau sebagai pilar utama, sebagaimana yang telah dilakukan nabi ketika di Madinah.

Sedangkan penghormatan terhadap agama lain yang dimaksud adalah pertama, menghormati praktek dan simbol-simbol agama lain sebagai langkah untuk mencari kemaslahatan agama dalam kehidupan bermasyarakat, tetapi tidak dengan tujuan untuk menyamakan atau mengakui kebenaran semua agama. Kedua, bentuk penghormatan tersebut harus diimplementasikan dalam kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat dengan tidak mencampuradukan akidah masing-masing.

Selanjutnya, prinsip persaudaraan diuraikan dalam persaudaraan dengan sesama Muslim dan non-Muslim. Pertama, dengan persaudaraan tersebut sesama anggota masyarakat dapat melakukan kerjasama sekalipun warganya terdapat perbedaan prinsip dalam akidahnya.

Kedua, perbedaan perbedaan yang ada bukan dimaksudkan untuk menunjukkan superioritas masing-masing terhadap yang lain, melainkan untuk saling mengenal dan menegakkan prinsip persatuan, persaudaraan, persamaan dan kebebasan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image