Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nazhara Azmi

Membangun Kehidupan dalam Permainan Roleplayer

Curhat | Monday, 24 May 2021, 11:18 WIB
Salah satu tampilan profile roleplayer, anggota Red Velvet (Irene) dalam platform media sosial, Twitter. (Nazhara Azmi)

Roleplayer, memiliki arti bermain peran. Bukan artinya kita harus merombak diri sedemikian rupa agar terlihat mirip secara fisik seperti mereka (para tokoh dan idola). Namun, bermain peran dapat dilakukan melalui salah satu permainan ini.

Roleplayer sendiri pada awalnya bertujuan untuk mengenalkan dan memberikan infromasi serta update tokoh dan idola yang diperankan. Hal tersebut dilakukan tanpa menunjukan identitas asli sosok dibalik pemain itu sendiri.

Roleplayer

Psikolog Endang Budisetianti atau yang akrab dipanggil Esti menanggapi permainan ini. Esti menjelaskan, dalam ilmu psikologi sendiri juga terdapat istilah ‘roleplaying’. Hanya saja seseorang yang ber-roleplaying hanya sebatas memainkan peran sesuai yang dianjurkan dan memiliki batas waktunya untuk berhenti.

“Dia memainkan peran, tapi ada putus dan selesainya. Karena kalau terlalu masuk, bisa membuat dia melupakan identitas dirinya sendiri,” Esti saat memaparkan istilah ‘roleplaying’ dalam ilmu psikologi.

Esti mengatakan, eksistensi seorang manusia ialah dirinya sendiri. Identitas dirinya ialah dirinya sendiri yang tumbuh dari lahir.

“Menurut saya, ketika permainan roleplayer itu menjadi orang lain, itu hanya satu judul film aja istilahnya. Dia memainkan satu peran dalam film dan ketika film itu selesai maka dia kembali menjadi dirinya,” unkap Esti.

Hidup dalam dunia roleplayer

Semuanya memang berangkat dari rasa penasaran yang ada dalam diri manusia. Selain karena permainan roleplayer yang terkenal di kalangan penggemar suatu idola, seperti Aleysha. Aleysha adalah sosok perempuan yang telah menyelam lama di dunia tersebut dari tahun 2013. di mana ia masih menjadi sosok remaja saat itu.

Saat ini Aleysha memerankan salah satu anggota Fromis 9, Seoyeon. Untuk alasannya sendiri, Seoyeon merupakan sosok idola kesukaan di mata Aleysha. 'Aleysha' merupakan nick name yang ia pakai dalam permainan itu.

“Aku sempet leave (pergi) dari dunia roleplayer, tapi aku balik lagi. Selain karena aku gabut, aku merasa punya keluarga baru yang lebih peduli dibandingkan keluarga yang ada di kehidupan nyata aku,” jelas Aleysha.

Berbeda dengan Aleysha, Ebi baru saja bermain roleplayer dari tahun 2017. Ia pernah berperan menjadi dua anggota perempuan idol group asal Korea Selatan.

Yang pertama, Ebi berperan menjadi salah satu anggota Red Velvet, Irene dan disusul menjadi anggota Weki Meki, Doyeon. Pilihan Ebi untuk memerankan keduanya pun bukan tanpa alasan.

“Gue ngerasa kalau di kehidupan nyata sifatnya mirip-mirip Irene. Sering diem suka dibilang jutek sama orang, padahal nggak. Kalau waktu jadi Doyeon gua kayak search dulu dan kepo-in tentang dia, Doyeon kepribadiannya hangat dan humble, nah gue pengen kayak gitu biar bisa mahamin orang lain,” jelas Ebi.

Ebi mengatakan, ia belum sepenuhnya berhasil untuk mengubah dirinya menjadi sosok Doyeon. Walaupun begitu, usahanya tidak terbuang sia-sia. Dalam beberapa kesempatan, Ebi sudah mengurangi sikap diam dan juteknya ke beberapa teman-temannya.

Dari sana, Esti menjelaskan. Pada masa remaja terdapat tahap perkembangan bernama Ego Identity dan Role Confusion. Tahap tersebut terjadi dari usia 12 tahun. Di mana remaja mengeksplorasi dan mereka mencari identitas kebermaknaan diri mereka sendiri.

Esti menambahkan, bersamaan dengan itu terjadi kebingungan peran pada individu remaja. Seperti halnya kebingungan yang tidak dianggap oleh lingkungannya. Membuat remaja melakukan hal tertentu agar orang lain melihat eksistensi dirinya.

Faktor lain yang dapat memicu seseorang dalam bermain roleplayer, ialah para pemain menjadikan dunia roleplayer menjadi tempat pelarian dari kehidupan nyata. Salah satunya untuk alasan yang menyakitkan. Sehingga mereka memilih untuk bertahan di dunia itu tambah Esti.

Membangun kehidupan, seperti kehidupan nyata

Layaknya membangun kehidupan dalam kota The Sims, hal serupa juga dijalani oleh para pemain roleplayer. Hanya saja, salah satu perbedaannya terletak pada platform yang digunakan.

Membangun kehidupan serta memiliki keluarga, sahabat, dan kekasih. Bahkan melakukan pernikahan dan memiliki anak juga dapat dilakukan dalam dunia roleplayer. Tentunya hal-hal tersebut menjadi ‘improvisasi’ dalam dunia virtual itu. Karena tidak seluruh tokoh dan idola yang asli turut memiliki seluruh kehidupan tersebut.

Roleplayer tetap menjadi dunia yang virtual (tidak nyata), namun dengan aktivitas yang terasa dan seakan nyata.

Aleysha mengaku ia pernah memiliki kekasih dan menikah, bahkan ia juga sempat memiliki anak bersama kekasihnya. Tentu saja, semua dilakukan secara virtual.

“Aku punya anak waktu itu, aku punya empat anak,” jawab Aleysha.

Sebagaimana orangtua yang memberikan nama untuk anak mereka, Aleysha juga melakukannya bersama pasangannya. Hanya saja untuk gambaran atau foto yang digunakan, Aleysha mengambil dari platform media sosial lain.

Tak dapat dipungkiri, perasaan kasih dan sayang pun tercipta secara nyata bagi sosok diri Aleysha yang asli. Aleysha mengaku rasanya seperti memiliki anak yang nyata.

“Iya kerasanya kayak punya anak beneran, gemes banget lihat interaksi sama ayahnya (pasangan Aleysha). Apa lagi waktu jadi bumil (ibu hamil), apapun diturutin,” tambah Aleysha.

Berbeda dengan Ebi, jika Aleysha pernah memiliki buah hati, Ebi pernah menjadi seorang anak dan memiliki ayah. Tidak hanya sekali, Ebi pernah memiliki beberapa ayah sepanjang ia bermain dunia virtual itu.

“Mereka (yang menjadi ayah Ebi) yang minta. Waktu itu gue ngerasa kayak punya bapak beneran dan gue beneran jadi anak dia,” ungkap Ebi mengungkapkan perasaannya.

Bukan tanpa alasan, Ebi merasa diperlakukan seperti anak secara nyata oleh sosok sang ayah. Sehingga timbul rasa nyaman dan perasaan bahagia.

Pintu keluar

Berbagai faktor dapat menjadi alasan mengapa seseorang bergelung nyaman dalam dunia roleplayer. Selain latar belakang kisah kehidupan nyata yang dialami oleh sosok para pemain, faktor lingkup keluarga, sosial, hingga ekonomi juga dapat mempengaruhi sebagaimana djelaskan oleh Esti.

Ebi dan Aleysha mengaku nyaman dan bahagia hidup dalam dunia roleplayer-nya. Namun belum lama ini, Ebi sendiri memutuksan berhenti bermain roleplayer. Ebi merasa, hal-hal yang ia dapatkan di roleplayer bukanlah hal yang nyata dan tidak bertahan lama. Ada perasaan lelah ketika Ebi secara terus menerus ditinggalkan oleh keluarga hingga teman-temannya di sana.

“Kemarin itu gue kayak capek banget, kayak di sana gue benar-benar akting. Gue ngerasa dari akting itu bukan diri gua banget, ada perasaan kosong karena saking seringnya ditinggal leave sama mereka,” Ebi menjelaskan.

Meskipun begitu, tidak semua pemain memiliki pemikiran seperti Ebi. Jika diperhatikan lebih jauh, masih terdapat banyak pemain yang enggan meninggalkan dunia virtual tersebut.

“Dia (pemain roleplayer) bisa lepas dari rasa nyaman dalam permainan tersebut. Tapi biasanya harus ada sesuatu yang entah hal menyakitkan atau hal yang luar biasa menyenangkan sehingga bisa mengalihkan dirinya dari permainan roleplayer dan kembali ke dunia nyata,” ucap Esti.

Tentunya apa yang dijelaskan oleh Esti tidak dapat dilakukan sebatas ucapan saja. Esti menambahkan, harus ada hal-hal yang menyentuh. Sedangkan untuk hal-hal menyentuh hanya dapat dirasakan secara individual. Mereka harus menunggu hingga sadar.

Bermain dalam dunia roleplayer memang menyenangkan, terdapat sisi positif yang didapatkan. Mendapat kesenangan, pengalaman baru, hingga keluarga dan teman baru yang seluruhnya mungkin tidak bisa didapatkan di kehidupan nyata. Meskipun begitu, senyaman apapun kita bergelung di kehidupan yang tidak nyata, kita harus tetap kembali ke dunia nyata.

"Jangan sampai kita kehilangan identitas dan makna diri kita sendiri," tutup Esti. (NA)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image