Bagaimana Cara Memajukan Bank Syariah di Indonesia?
Bisnis | 2021-05-10 23:22:39Keberadaan perbankan syariah di Indonesia sebagai wujud dual banking system berpotensi menyumbang perubahan positif pada roda perekonomian Indonesia. Bagaimana tidak? Di masa pandemi Covid-19, bank syariah telah jelas memiliki kekuatan yang relatif lebih unggul dibandingkan bank konvensional. Presiden RI Joko Widodo menyebutkan dalam rincian laporan kinerja perbankan syariah yang beliau bacakan pada acara peresmian BSI bahwa dari sisi aset, bank syariah mengalami kenaikan tahunan sebesar 10,97% sedangkan bank konvensional yang hanya mencatat kenaikan tahunan sebesar 7,7%. DPK (Dana Pihak Ketiga) bank syariah pun meningkat sebesar 11,56% sedangkan DPK bank konvensional hanya meningkat sebesar 11,49%. Kedua angka tersebut tidak jauh berbeda, namun cukup meyakinkan bahwa akan ada kontribusi yang baik dan signifikan dari bank syariah terhadap perekonomian Indonesia. Kemudian, potensi tersebut dipandang dari sisi nasabah dan calon SDM. Dengan keberadaan penduduk beragama Islam sebagai mayoritas di Indonesia, perbankan syariah memiliki peluang untuk mendapatkan nasabah lebih banyak untuk menggunakan produk-produk keuangan yang tersedia. Selain itu, lembaga-lembaga pendidikan tinggi juga banyak memiliki program studi perbankan syariah sehingga kesempatan bank syariah untuk menggarap calon SDM berkualitas terbuka lebar. Dari ketiga sisi tersebut, semakin kuat keyakinan bahwa bank syariah akan turut andil dalam perubahan ekonomi yang positif. Namun, potensi yang besar tersebut akan sia-sia apabila bank syariah berada di posisi monoton tanpa ada kemajuan.
Salah satu upaya nyata memajukan bank syariah saat ini adalah adanya merger tiga bank syariah yang merupakan bagian dari Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), yaitu Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, dan BRI Syariah. Tiga bank syariah tersebut membentuk sebuah entitas baru bernama Bank Syariah Indonesia (BSI) yang memiliki total aset Rp214,6 triliun dan modal inti lebih dari Rp20,4 triliun. Tujuan dari merger tersebut adalah memperbesar skala bank syariah untuk meningkatkan penetrasi ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia sehingga memiliki daya saing yang kuat.
Namun, apakah misi memajukan bank syariah selesai hanya dengan merger? Tentu tidak. Nyatanya, masih banyak PR yang belum diselesaikan oleh bank syariah pasca-merger ini. Yang paling utama adalah masalah inklusi dan literasi keuangan syariah. Data OJK menunjukkan bahwa literasi keuangan syariah baru mencapai 8,93% dan inklusinya 9,1%. Kedua angka tersebut sangat jauh dari literasi keuangan nasional yang mencapai 38,03% dan inklusi bank konvensional yang persentasenya 76,19%. Permasalahan pada inklusi keuangan di perbankan syariah adalah masyarakat yang ingin hijrah mengalami kesulitan untuk mengakses produk keuangan di bank syariah karena cost yang tinggi. Kemudian, SDM yang memahami seluk-beluk bank syariah saat ini masih sedikit. Bukan hal mudah mencari orang-orang yang ahli dalam perbankan syariah dan cocok untuk memimpin dan mengelolanya. Jika demikian, merupakan suatu keniscayaan bahwa pengelolaan bank syariah tak ubahnya seperti bank konvensional yang dibungkus dengan kata syariah sebagai bumbu penyedap semata, bukan substansinya. Masyarakat pun tidak akan merasakan adanya perbedaan antara bank syariah dan konvensional sehingga keberadaannya hanya percuma.
Maka, literasi perbankan dan keuangan syariah adalah kendala pertama yang harus dibenahi pada tubuh bank syariah sendiri dan masyarakat. Pengadaan program yang dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya transaksi perbankan sesuai prinsip-prinsip syariah merupakan suatu keharusan. Hal itu dapat diwujudkan dengan berbagai cara. Pertama, memperbanyak publikasi jurnal penelitian, karya tulis ilmiah, dan buku bacaan tentang perbankan syariah yang ditulis dengan bahasa yang tidak terlalu rumit sehingga pembaca mudah menemukan poin-poin pentingnya. Kedua, bekerja sama dengan lembaga-lembaga pendidikan untuk mengadakan pelatihan-pelatihan manajemen bank syariah bagi calon SDM yang diisi oleh pakar berpengalaman di bidang hukum Islam atau ekonomi Islam. Ketiga, mengadakan sayembara menulis esai atau karya tulis ilmiah bertema perbankan dan keuangan syariah guna menstimulasi masyarakat untuk memperkaya pengetahuan dan wawasan mereka.
Selain literasi, inklusi keuangan pada perbankan syariah juga harus menjadi perhatian. Merger tiga bank syariah harus menjamin bahwa akses keuangan pasca-merger akan menggapai masyarakat lebih luas sehingga tidak terjadi ketimpangan ekonomi pada lapisan masyarakat. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara: Pertama, bank syariah perlu mengembangkan DPK ke sektor-sektor investasi yang menjanjikan. Nantinya, keuntungan dari investasi tersebut dapat mengurangi biaya yang dibebankan kepada nasabah atas pengelolaan rekening. Kedua, akses masyarakat kepada tabungan hendaknya dipermudah dengan biaya terjangkau dan sesuai kebutuhan. Ketiga, mengingat Indonesia adalah negara agraris, maka pembiayaan modal tani dengan akad syariah kerja sama pertanian seperti mudharabah dan musyarakah perlu digalakkan dan disertai dengan upaya revitalisasi produktivitas masyarakat di perdesaan melalui pelatihan dan penyuluhan usaha. Dengan memanfaatkan potensi atau kemampuan tersembunyi masyarakat tersebut, bank syariah dapat mengharapkan panen keuntungan besar karena profitabilitas yang meningkat dan mendukung likuiditas pembiayaan di masa depan.
Dengan beberapa solusi di atas, tingkat inklusi dan literasi pasca-merger diharapkan meningkat bersamaan dengan minat masyarakat yang bertambah terhadap perbankan syariah. Hal tersebut akan mendukung kemajuan bank syariah di Indonesia untuk unjuk gigi dan bermain peran dalam perekonomian Indonesia.
#retizencompetition
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.