Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan

Dakwah Nabi Muhammad dan Baiat Aqabah: Strategi Rasulullah Menghadapi Penolakan Suku Quraisy

Khazanah | 2025-02-26 06:42:39
Lokasi Baiat Aqabah dapat ditelusuri jejak sejarahnya dari Masjid Aqabah (Sumber: PWMU.co)

Pendahuluan

Dakwah Islam yang dipimpin oleh Rasulullah Muhammad ﷺ dimulai dari pewahyuan di Gua Hira, yang merupakan tempat yang sangat sederhana. Akan tetapi, ajaran yang beliau bawa mampu mengguncang dan mempengaruhi masyarakat Mekah, terutama para elite dan bangsawan Suku Quraisy.

Pada kajian kali ini, kami akan mengulas temuan Ahmad Mansur Suryanegara dalam buku Api Sejarah Jilid 1[1] yang membahas penolakan para musuh Muhammad ﷺ terhadap ajaran Islam di kampung halamannya sendiri (Mekah), terutama penolakan dari para elite politik dan saudagar Suku Quraisy, seperti Abu Jahal. Hal ini mencerminkan kompleksitas perlawanan terhadap wahyu yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad ﷺ ketika sedang memulai dakwahnya.

Mereka menilai ajaran tauhid yang disampaikan oleh Rasulullah Muhammad ﷺ bertentangan dengan ajaran politeisme yang telah menjadi warisan nenek moyang mereka. Penolakan ini merupakan reaksi dari ketidakpahaman terhadap sejarah dan keyakinan nenek moyang mereka yang telah mengakar kuat. Musuh-musuh Rasulullah ﷺ, baik yang berasal dari keluarganya sendiri maupun mereka yang memiliki kedudukan sosial ekonomi yang mapan, menjadi tantangan besar bagi perjuangan dakwah Islam pada masa awal penyebaran.

Penolakan oleh Kafir Quraisy

Penyebaran ajaran tauhid yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad ﷺ hadir dengan sikap yang menantang keyakinan yang telah ada sebelumnya, yakni politeisme atau penyembahan berhala dan banyak dewa yang menjadi kepercayaan utama masyarakat Mekah. Ajaran Islam yang mengajarkan keesaan Allah dan menentang penyembahan terhadap berhala-berhala tersebut mendapat perlawanan keras dari para pemuka Suku Quraisy.

Bagi mereka, Islam bukan hanya ancaman terhadap keyakinan agama mereka, melainkan juga ancaman terhadap status sosial dan kekuasaan yang telah lama mereka nikmati. Penolakan ini, sebagaimana diungkap oleh Suryanegara, tidak hanya terjadi pada tingkat ideologis, tetapi juga melibatkan tindakan nyata yang bertujuan untuk menghentikan penyebaran ajaran Islam.

Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, setiap usaha dakwah yang membawa perubahan pasti akan mendapatkan perlawanan dan menimbulkan sikap permusuhan. Bahkan, musuh-musuh Rasulullah ﷺ sering kali datang dari kalangan keluarga dekatnya atau mereka yang merasa terancam dengan ajaran yang dibawa Rasulullah ﷺ. Para elite Mekah merasa bahwa ajaran yang disampaikan oleh Rasulullah ﷺ nyata-nyata mengancam kedudukan mereka di tengah masyarakat yang jahiliah dan meruntuhkan struktur sosial yang telah mapan bagi posisinya selama berabad-abad.

Demikianlah (sebagaimana Kami menjadikan bagimu musuh) Kami telah menjadikan (pula) bagi setiap nabi musuh yang terdiri atas setan-setan (berupa) manusia dan jin. Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah sebagai tipuan. Seandainya Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak akan melakukannya. Maka, tinggalkan mereka bersama apa yang mereka ada-adakan (kebohongan). (QS Al-An’ām: 112)[2]

Begitulah, bagi setiap nabi, telah Kami adakan musuh dari para pendosa. Cukuplah Tuhanmu menjadi pemberi petunjuk dan penolong. (QS Al-Furqān: 31)[3]

Rencana Makar terhadap Rasulullah ﷺ

Seiring dengan meningkatnya pengaruh ajaran Islam, kaum kafir Quraisy semakin khawatir dengan semakin bertambahnya pengikut Rasulullah ﷺ. Para pengikut Rasulullah ﷺ ini berasal dari berbagai lapisan masyarakat, termasuk dari kalangan bangsawan dan elite Quraisy.

Hal ini mendorong para elite dan bangsawan Quraisy untuk merencanakan makar yang bersepakat membunuh Rasulullah ﷺ. Namun, upaya makar ini tidak mudah dilakukan oleh mereka, karena Rasulullah ﷺ masih mendapatkan dukungan dari tokoh-tokoh penting di Mekah, seperti Siti Khadijah, Abu Thalib, Hamzah bin Abdul Mutthalib, Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Abu Bakar Ash-Shiddiq, dan Umar bin Khaththab. Dukungan dari tokoh-tokoh ini memberikan perlindungan kepada Rasulullah ﷺ, meskipun beliau menghadapi ancaman serius dari para pemuka Suku Quraisy.

Rencana makar ini mulai dipercepat setelah kematian Siti Khadijah[4] dan Abu Thalib pada 619 M, yang merupakan dua orang yang sangat dekat dengan Rasulullah ﷺ dan memberikan perlindungan kuat terhadapnya. Setelah peristiwa Isra dan Mi’raj pada 622 M, sebagian pengikut Rasulullah ﷺ yang sebelumnya masih ragu-ragu (munafik) mulai meninggalkan Islam, tetapi hal ini tidak menghentikan perjuangan Rasulullah ﷺ.

Pengepungan Rumah Rasulullah ﷺ

Ketika kaum kafir Quraisy mengetahui bahwa mereka tidak bisa lagi menahan kegiatan Rasulullah ﷺ dengan cara biasa, mereka memutuskan untuk mengepung rumah beliau dengan tujuan untuk membunuhnya. Namun, seperti yang dijelaskan dalam sejarah, Rasulullah ﷺ telah diberi petunjuk oleh Allah untuk meloloskan diri.

Saat kaum Quraisy mengepung rumah Rasulullah ﷺ, mereka tidak mendapati beliau di tempat tidurnya. Sebaliknya, mereka hanya menemukan Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang sedang tidur di tempat tidur Rasulullah ﷺ. Keajaiban ini menunjukkan bagaimana Allah melindungi Rasulullah ﷺ dari upaya makar yang dilakukan oleh musuh-musuhnya.

Pengepungan ini mencerminkan betapa seriusnya upaya untuk menghentikan dakwah Islam, tetapi Allah ﷻ selalu memberikan jalan keluar dan perlindungan bagi Rasulullah ﷺ.

Perjalanan Hijrah Rasulullah ﷺ ke Madinah

Setelah upaya makar tersebut gagal, Rasulullah ﷺ dan Abu Bakar Ash-Shiddiq melanjutkan perjalanan hijrahnya menuju Madinah. Namun, untuk menghindari pengejaran, perjalanan mereka tidak langsung menuju utara, tetapi mengambil jalur selatan Mekah dan berhenti sejenak di Gunung Tsur.

Keputusan ini diambil untuk mengelabui musuh yang berusaha mengejar Rasulullah ﷺ dan sahabat dekatnya. Meskipun mereka mengambil jalan yang lebih jauh, keberadaan Rasulullah ﷺ akhirnya terendus juga, tetapi perlindungan Allah ﷻ tetap bersama mereka.

Saat dalam persembunyian, Abu Bakar yang merasa cemas dan takut, diberi penghiburan oleh Rasulullah ﷺ dengan wahyu Allah, “Lā tahzan innallāha ma’ānā”, yang berarti “Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” (QS 9: 40).[5] Kalimat ini menunjukkan kedalaman keyakinan Rasulullah ﷺ bahwa Allah ﷻ selalu melindungi mereka dalam setiap kondisi, bahkan dalam situasi yang sangat genting sekalipun. Ini adalah pesan yang sangat penting tentang keteguhan iman dan tawakkal kepada Allah dalam menghadapi segala ujian.

Perjanjian Ba’iat Aqabah dan Persiapan Hijrah

Sebelum hijrah ke Madinah, Rasulullah ﷺ terlebih dahulu melakukan perjanjian dengan pemimpin-pemimpin Islam di Madinah melalui Ba’iat Aqabah pada tahun 621 M. Perjanjian ini berisi kesepakatan antara Rasulullah ﷺ dan kaum Muslimin Madinah untuk menaati Rasulullah ﷺ sebagai pemimpin mereka dan membantu beliau dalam menyebarkan ajaran Islam.

Tepat pada tahun ke-12 kerasulan (621 Masehi) ketika memasuki masa haji, 5 orang yang menemui nabi semasa pra aqabah kembali membawa 7 orang lainnya dan berjumpa kembali di bukit Aqabah. Rombongan ini terdiri dari 10 orang dari Suku Khazraj dan 2 orang dari Suku Aus. Pertemuan Aqabah Pertama berisi dakwah yang disampaikan oleh Rasulullah ﷺ. Hal ini disambut oleh 7 orang yang baru datang dalam pertemuan ini dengan menyatakan masuk Islam.[6]

Isi dari perjanjian aqabah pertama, antara lain:

a) Pernyataan tidak akan menyekutukan Allah ﷻ.

b) Pernyataan setia kepada Nabi Muhammad ﷺ.

c) Pernyataan rela berkorban harta dan jiwa.

d) Bersedia ikut menyebarkan ajaran Islam yang dianutnya.

e) Pernyataan tidak akan membunuh.

f) Pernyataan tidak akan melakukan kecurangan dan kedustaan.

Selanjutnya pada tahun ke-13 kerasulan (622 Masehi) ketika memasuki masa haji, datang lagi 73 orang dari rombongan haji dari Yastrib (nama sebelum Madinah) kembali menemui Nabi Muhammad ﷺ. Pertemuan ini dikenal dengan peristiwa Aqabah Kedua. Peristiwa ini dilaksanakan di pertengahan hari-hari tasyriq (11, 12, dan 13 Zulhijah) setelah sepertiga malam.[7]

Isi perjanian Aqabah Kedua adalah sebagai berikut:

a) Pernyataan sami’na wa atha’na (mendengar dan mematuhi) Rasulullah ﷺ baik dalam keadaan sibuk maupun lapang.

b) Berinfak, baik semasa susah maupun senang.

c) Menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.

d) Berjuang karena Allah tanpa memedulikan ancaman dari orang.

e) Mendukung Rasulullah ketika tiba di Yastrib, menjaga Nabi sebagaimana menjaga diri dan anak-istri, dengan balasan surrga Allah di akhirat nanti.

Setelah pelaksanaan proses baiat pada aqabah kedua, Nabi Muhammad menunjuk 12 orang dari rombongan Yastrib untuk menjadi Naqib. Naqib ini memiliki tugas untuk merealisasikan perjanjian yang telah ditetapkan. 9 Naqib berasal dari Suku Khazraj dan 3 lainnya merupakan Suku Aus.[8]

Ba’iat Aqabah dalam hal ini merupakan titik balik penting dalam sejarah dakwah Islam, karena dari sinilah dimulai proses hijrah Rasulullah ﷺ ke Madinah, yang kemudian menjadi pusat kekuatan Islam yang baru.

Kesimpulan

Perjuangan dakwah Rasulullah ﷺ menghadapi musuh-musuh yang datang dari kalangan keluarga, masyarakat, dan kekuasaan Suku Quraisy yang mapan menunjukkan betapa besar tantangan yang harus dihadapi oleh seorang pemimpin dakwah. Musuh-musuh ini tidak hanya menentang ajaran Islam, tetapi juga berusaha untuk menghalangi perubahan yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ.

Meskipun berbagai upaya makar dilakukan, Allah ﷻ senantiasa memberikan perlindungan dan petunjuk kepada Rasulullah ﷺ, sehingga dakwah Islam terus berkembang dan menyebar. Perjalanan hijrah Rasulullah ﷺ ke Madinah, bersama dengan Ba’iat Aqabah, menjadi tonggak penting dalam sejarah Islam, yang menunjukkan bahwa dakwah Islam tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang menjadi kekuatan yang mengubah tatanan dunia.

Referensi

[1] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah 1: Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, ed. oleh Nia Kurniawati, Anni Rosmayani, dan Rakhmat Gumilar, Rev., Api Sejarah (Bandung: Suryadinasti, 2014), https://books.google.co.id/books?id=0AMxDwAAQBAJ.

[2] Kementerian Agama Republik Indonesia, “Qur’an Kemenag,” dalam Qur’an Kemenag (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2022), https://quran.kemenag.go.id/.

[3] Ibid.

[4] Pernikahan Rasulullah ﷺ dengan Siti Khadijah memberikan Nabi Muhammad ﷺ 6 putra-putrinya, yaitu: Al-Qasim dan Tahir (wafat ketika masih bayi), Fatimah (satu-satunya putri Nabi yang hidup dan menikah dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, berputra Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein), Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum (nikah tapi tidak berputra, wafat 630 M). Dari pernikahan Rasulullah dengan Mariyah Al-Qibtiyah, wanita dari Mesir, lahir putra bernama Ibrahim tapi wafat ketika masih bayi.

[5] Ibid.

[6] Syamsul Dwi Maarif, “Perjanjian Aqabah 1 dan 2: Latar Belakang, Sejarah, dan Isi,” Tirto.id, 9 Februari 2022, https://tirto.id/perjanjian-aqabah-1-dan-2-latar-belakang-sejarah-dan-isi-goqt.

[7] Ibid.

[8] Ibid.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Komentar

Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image