Idul Fitri dan Maknanya
Agama | 2021-05-09 08:42:23Sebagai puncak pelaksanaan ibadat puasa, hari raya Idul Fitri memiliki makna yang berkaitan erat dengan tujuan yang akan dicapai dari kewajiban berpuasa itu sendiri. Idul Fitri secara etimologi (kebahasaan) berarti hari raya Kesucian atau juga hari raya Kemenangan, yakni kemenangan mendapatkan kembali, mencapai kesucian, fitri.
Adapun kata 'd dalam bahasa Arab diambil dari akar kata 'ayn-alif-dl, yang memiliki banyak arti, diantaranya, sesuatu yang terjadi berulang-ulang. Kata 'd juga berarti kebiasaan, dari kata 'dah. Kata 'd juga memiliki arti kembali, ke asal, dari kata 'awdah semua itu dapat dipelajari dalam ilmu sharf, yang antara lain membahas perubahan- perubahan kata dalam bahasa Arab.
Dari pengertian yang terakhir, Idul Fitri atau kembali ke asal adalah pengertian yang sangat relevan dengan makna yang akan dicapai dalam pelaksanan ibadat puasa. Ibadat puasa merupakan sarana penyucian diri, tentu saja apabila dijalankan dengan penuh kesungguhan dan ketulusan serta disadarinya tujuan puasa itu sendiri sense of objective.
Hal ini sebagaimana yang diajarkan Rasulullah saw berkaitan dengan asal kejadian manusia. Dikatakan dalam hadits Rasulullah saw bahwa setiap anak yang lahir adalah suci. Penegasan yang berkenaan dengan kesucian bayi yang baru lahir juga dinyatakan dalam sebuah hadis lain yang mengatakan bahwa seorang bayi apabila meninggal, maka ia dijamin akan masuk surga.
Manusia dengan kesucian asalnya, primordial, terkadang mudah terjerumus dan tergelincir ke dalam dosa sehingga menjadikan dirinya tidak suci lagi. Meminjam istilah sastrawan terkenal Dante, kesucian itu diistilahkan dengan surga atau paradiso, suasana jiwa tanpa penderitaan. Sedangkan dosa, sebagai kondisi jiwa yang tidak membahagiakan diistilahkan dengan inferno atau neraka. Dan bulan Ramadan yang berarti penyucian diistilahkan dengan purgatorio atau penyucian jiwa. Orang yang menjalankan ibadat puasa sesuai dengan tuntunan, dengan sendirinya akan dapat mengembalikan jiwanya kepada kesucian atau paradiso, yakni kebahagiaan karena tanpa dosa.
Setelah berhasil menjalani ibadat puasa dengan baik, orang beriman kemudian oleh al- Qur'an dianjurkan untuk bertakbir (takbr) atau mengagungkan asma Allah swt sebagaimana disebutkan: "...Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur," (Q 2:185).
Dengan anjuran takbiran tersebut, sepertinya seorang Muslim yang telah menjalankan ibadat puasa diasumsikan berada dalam kemenangan atau kesucian sehingga yang ada hanya Tuhan dan yang lain dianggap tidak berarti apa-apa. Allah-u Akbar, Allah Mahabesar.
Adapun hal unik yang berkaitan dengan takbir adalah susunan lafaz takbir. Takbir yang biasanya dalam shalat dibaca sesudah tahmid (tahmd, menyucikan nama Allah swt), dibalik susunannya pada saat takbir hari raya, tahmid dibaca sesudah takbir.
Asumsi atau anggapan yang muncul adalah karena dengan menjalankan puasa yang baik, sesuai dengan tuntunan dan telah berhasil melewati tingkatan-tingkatan dari lahiriah, nafsaniah, hingga ruhaniah atau spiritual, maka seseorang dinyatakan telah mencapai kesucian. Segala sesuatunya dianggap sudah beres, artinya manusia telah kembali kepada asalnya, yakni kesucian atau fitri. Itulah sebabnya, yang diperlukan kemudian hanyalah mengagungkan nama dan kebesaran Allah swt.
Sesuai hukum fiqih formal, anjuran bertakbir dimulai pada hari tenggelamnya matahari pada akhir Ramadan sebagaimana tertulis dalam al-Qur'an, "... Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah ...," (Q 2:185).
Dan perlu disinggung di sini berkenaan dengan yang terjadi di masyarakat kita pada malam hari raya tiba. Sudah membudaya takbir keliling yang sesungguhnya merupakan manifestasi atau ungkapan kebahagiaan setelah berhasil memenangkan ibadat puasa. Dan takbir yang juga merupakan sarana meluapkan kebahagiaan setelah berpuasa itu juga identik dengan semangat zakat fitrah, yang intinya adalah memberikan kebahagiaan kepada orang yang tidak berpunya. Dalam ungkapan lain, lewat gerakan zakat fitrah, pada hari raya Idul Fitri jangan sampai ada orang yang bersedih dan jangan sampai ada orang yang meminta-minta. Ini hari kebahagiaan. Itulah sebabnya, mengeluarkan zakat fitrah sebagi zakat pribadi juga ditegaskan oleh hadis Rasulullah saw, harus dilaksanakan sebelum shalat Idul Fitri.
Dengan memahami hakikat ibadat puasa sebagai proses penyucian diri serta diiringi melaksanakan kewajiban zakat fitrah yang tentunya juga dianjurkan untuk diikuti dengan zakat-zakat dan amal-amal sosial yang lain maka makna sesungguhnya Idul Fitri adalah kembali kepada kesucian. Dan inilah hakikat kebahagiaan yang sejati: kembali kepada kesucian, fitri tanpa dosa yang menjadi sumber segala penderitaan setiap anak manusia.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.