Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Lisanun muthoharoh

Bakulan Kopi Sambil Belajar dan Mengajar dari Konsumen Kopi

Eduaksi | 2022-04-16 13:28:04

Hampir satu tahun saya menekuni usaha baru yakni warung kopi. Walau demikian di warung kecil ini sediakan tembakau dan counter mobile yang jual pulsa, data internet, dan aksesori smartphone.

Tugas baru ini rupanya selainnya datangkan penghasilan secara ekonomi, datangkan banyak pengetahuan baru untuk saya. Yang pertama terang pengetahuan perdagangan, management, dan ekonomi. Tetapi ada pengetahuan yang lebih bernilai yang saya dapatkan dari warung kopi ini, yakni kemanusiaan. Ini pengetahuan yang kemungkinan susah didapatkan di bangku-bangku sekolah dan kampus-kampus. Karena bahkan juga seorang antropolog itu harus ada di tengah warga supaya mengenali beragam permasalahan sosio-antropologis bukanlah dalam ruangan kelas.

Ya, saya ingat benar saat ngaji filsafat ke seorang guru di Mesir, beliau menceritakan bagaimana filsafat itu tumbuh pertama kalinya di bumi Yunani. Sepanjang ini lebih banyak orang menduga jika filsafat lahir dari kampus-kampus istimewa dan eksklusif di Yunani. Atau lahir dari kelompok cendekiawan yang memakai dasi atau berjubah. Kenyataannya tidak. Filsafat itu lahir dari pasar, warung kopi, tempat kongkow, dan beragam tempat berlangsungnya contact sosial antara manusia di tingkat terendah.

Mengapa filsafat malah lahir dari kelompok bawah? Karena di sanalah ada kemanusiaan yang utama dengan manusia dan semua permasalahan hidupnya berkelindan.

Dari warung kopi berikut pada akhirnya saya mendapati nilai-nilai kemanusiaan, kepribadian, dan religius. Banyak konsumen setia warung kami yang tiba lalu bercerita beragam permasalahan hidupnya. Terkadang mereka tidak perlu jalan keluar, mungkin karena mereka telah mempunyai jalan keluar. Tetapi mereka cuma perlu didengarkan curah hatinya. Ada juga yang tiba bercerita permasalahan hidupnya lalu minta anjuran dari saya. Sebisanya saya beri anjuran, motivasi, dan mungkin saja jalan keluar.

Ada pula beberapa teman dekat yang tiba bawa buku atau kitab untuk minta kontribusi saya mengulas salah satunya sisi buku itu ke saya. Sedapatnya saja menolong mereka membacakan dan meneliti kitab-kitab yang mereka membawa itu. Baca juga

Lama-lama saya banyak belajar hal dari beberapa konsumen setia warung kopi saya ini. Saya mengetahui jika tiap manusia itu punyai permasalahannya masing-masing yang perlu jalan keluar yang berbeda. Saya tersadarkan, jika tiap kita tidak sendirian dalam hadapi permasalahan hidup. Ada milyaran manusia di bumi ini yang bertemu dengan permasalahan hidup. Tetapi umumnya manusia itu terlampau konsentrasi pikirkan jalan keluar, dan lupa akan proses penemuan jalan keluar. Mengakibatkan permasalahan hidup itu menjadi terlihat besar dan susah untuk diperpecahkan. Walau sebenarnya Tuhan itu tidak membuat permasalahan terkecuali Ia sediakan jalan keluarnya.

Lalu kadang terpikirkan oleh saya, kenapa beberapa orang yang berjumpa permasalahan hidup malah lari dari agama? Tidakkah agama itu semestinya jadi jalan keluar untuk permasalahan hidup manusia?

Sesudah saya pikirkan, ini bukanlah salah agamanya. Tetapi golongan agamawan yang tidaklah sampai sentuh kehidupan paling asasi dari manusia.

Agama akhir-akhir ini makin melangit, tetapi mangkir dari problem kehidupan yang paling esensial. Agama seakan tidak datang saat ada suami-istri berkelahi permasalahan dapur, uang sekolah anak, cicilan bank, minyak goreng, BBM, dan sejenisnya. Mengapa begitu? Karena agama dirawat oleh golongan agamawan cuma dalam beberapa rumah beribadah, tetapi tidak tidak di ruang-ruang sosial. Agama tidak didatangkan sebagai napas dari kemanusiaan, tetapi agama terus dibumbungkan ke atas alam malaikat, bukan dibumikan ke alam manusia. Baca juga

Agama ini hari sama apakah yang diberikan golongan sophist di periode Sokrates. Itu kenapa Sokrates pilih jalan menyukai kebijakan (philosophy) lalu dilanjutkan oleh siswanya Plato dan Aristoteles dengan madzhab Peripatosnya. Mereka tidak ikuti tuntunan sophist yang repot dengan pembicaraan langit yang tidak mencapai bumi.

Di warung kopi saya berikut, saya coba membumikan kembali agama. Tidak dengan khutbah atau khotbah, tetapi dengan sentuhan kemanusiaan yang apa yang ada.

Inti kemanusiaan dengan semua kesemrawutan permasalahan hidup ini malah saya dapatkan lewat tumpahan hati beberapa konsumen setia warung kopi saya. Dari warung kopi berikut kemanusiaan yang utama dijumpai dan saya terus belajar mendewasakan diri dengan dengarkan beragam keluhan manusia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image