
SELENDANG PERKASA
Sastra | Sunday, 10 Apr 2022, 13:58 WIB
Aku duduk terdiam di pinggir dangau sawah melihat serombongan pipit terbang sambil bersiual. Aku terlena oleh buaian bayu senja ini. Serasa nikmat yang menembus sampai ke ubun-ubun. Sudah lama aku tak pernah merasakan hal seperti ini. Ya, semenjak aku melangkah kaki menuju bangku kuliah. Saat itu semakin sulit bagiku untuk menginjakkan kaki di sawah warisan satu-satunya dari orang tuaku.
“ Alhamdulillah, sejuk sekali angin senja ini,”gumamku dalam hati.
Perasaan seperti ini jarang aku rasakan. Pengembaraanku di bangku kuliah membawaku pada dunia yang berbeda dengan sebelumnya. Aku mulai sangat sibuk dengan tugas kuliah. Aku berdesak-desakan dengan waktu hingga aku bisa selesai studi. Sungguhpun dalam waktu lima tahun. Selesai dalam waktu lima tahun menurutku adalah hal yng singkat dan wajar. Akan tetapi, sebagian rekanku mengolokku dan memberiku gelar MAPALA (mahasiswa paling lama). Aku tak peduli, yang pasti aku sudah menyandang gelar kebangganku. Namaku yang singkat kini sedikit panjang karena perjuanganku yang lima tahun lamanya.
Tak terasa gerimis datang. Butir-butir airnya, jatuh ke mukaku terbawa angin. Rasanya sangat nikmat. Aku semakin tengadah menghadapkan wajahku pada arah gerimis, berharap butirannya menyejukkan perasaanku. Aku berhadap terpaan gerimis ini akan memupuskan kerinduanku pada masa lalu bersama mama yang menjadi pahlawan kemanusiaanku.
“Sejuk sekali,” gumamku.
“ Mama , aku merindukanmu” bisikku dalam hati.
Ya, satu persatu kenangan itu mengalir dalam pikiranku seperti aliran anak sungai. Aku ingat mama yang sudah berjuang setengah mati membiayai kehidupanku dan kuliahku. Mama yang menjadi tulang punggung keluarga menyingkapkan kebaya dan selendangnya hanya untuk mencari sesuap nasi buat kami semua semenjak ayah memilih hidup dengan wanita idamannya.Saat itu, mama, ibu menjadi ayah sekaligus ibu buat kami bersaudara. Kami ada 4 masih sangat kecil , ketika ayah memilih hidup di kampung orang dengan wanita idamannya. Itu adalah awal karang derita keluarga kami. Kami anak- anaknya menjadi hidup dalam garis pantai derita yang panjang, yang tak bisa kubayangkan kapan kan berakhir.
Terbayang ibu yang sedang ke sawah ini mengumpulkan sayuran di pematang, hasil jerih payahnya selama musim penghujan menanam dan merawat dan memetik hasilnya. Kemudian mama membawanya ke pasar menawarkan ke orang-orang berharap sayuran ini bisa menjadi recehan rupiah, kelak untuk kami belikan lauk sekaligus menyisihkan untuk dana pendidikanku.
Mama sangat tegar, wanita tangguh yang kutemui dalam hidupku. Mama juga terkadang harus berjuang turun ke empang menjala ikan mujair, gabus dan lainnya untuk kami jadikan santapan makan bersama ketiga orang kakakku. Inilah santapan ikan terlesat yang aku rasakan sebagai karya dari tangan wanita tangguhku.
Kala subuh hari mama telah bergegas mengenakan kebaya, dan bawahan sarung serta selendang, bergegas ke pasar menjual sayuran dan apa saja yang bisa menjadi uang untuk kami semua. Suatu ketika mama mengetuk pintu kamarku.
“ Wati, apakah kamu sudah bangun?” tanyanya sambil mengetuk pintu kamar.
Perlahan aku mendengar suatra mama yang lembut,
“ye mama” sahutku.
“saya sudah bangun, Mama, dan sebentar lagi subuh tiba, kan?” sahutku”
“Ayo temani mama bawa beras dan sayuran ini, karena sebentar lagi tukang becaknya datang,” pinta mama.
Aku segera membuka pintu menuju ke arah mama, mama sudah siap dengan pakaian seperti biasanya baju kebaya, bawahan sarung dan selendang terlilit di lehernya, pertanda mama sudah siap bertarung melawan kehidupan di subuh buta ini.
Sebagai anak paling bungsu aku sangat peduli dan iba melihat mama. Hampir setiap subuh aku mengantarkan jualan mama ke pinggir jalan menunggu tukang becak setia yang menjadi langganan mama ke pasar.
Itulah yang menjadi kesibukan mama sebagai upaya untuk bertahan dalam gelombang kehidupan yang besar. Hidup dalam derita dan perjuangan yang keras sebagai seorang ibu dengan tanggung jawab yang luar biasa.
Perjuangan itu pulalah yang mendukungku melangkah ke bangku kuliah, hingga aku selesai sungguh dengan julukan MAPALA.
Hingga akhirnya hidupku perlahan berubah. Lamaran CPNS ku diterima. Aku lalu menjadi guru di desa kecil di kampungku. Perlahan semua berubah. Tak selang beberapa lama ketika aku telah menikah dan melahirkan anak keduaku, mamapun dipanggil Ilahi. Mama telah berlalu bersama deritanya. Yang Kuasa telah mengambil derita mama, menempatkan mama dalam pangkuan-Nya..
Sebagai anak yang terlahir dari rahimnya, kenangan panjang bersama menjadi menjadi sesuatu yang indah yang memberikan pajanan pengalaman hidup. Hingga kini di dangau ini aku masih menelisik satu satu perjalanan hidupku yang mungkin juga sebentar lagi akan berakhir, seiring dengan kembalinya rombongan pipit ke peraduannya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.