Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image ramilury kurniawan

PERAN OTOKRITIK BAGI PENDIDIKAN DI INDONESIA

Guru Menulis | 2022-03-31 23:16:18

Sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945, dunia pendidikan setidaknya telah merasakan pergantian kurikulum selama 10 kali. Pergantian kurikulum tersebut terjadi pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, dan 2013. Jika Kurikulum Merdeka kedepannya akan diterapkan secara luas, ini berarti kurikulum telah berganti selama 11 kali.Tentu setiap kurikulum yang digunakan tidak bisa terlepas dari berbagai permasalahan yang ada di dalamnya. Permasalahan yang timbul dalam dunia pendidikan akan senantiasa ada dan berkembang sesuai dengan gerak zaman. Permasalahan pendidikan tahun 1990-an misalnya, tidak bisa kita samakan dengan permasalahan pendidikan zaman sekarang. Oleh karena itu, untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam dunia pendidikan, maka harus disesuaikan dengan karakter manusia yang hidup masa zaman tersebut.

Salah satu cara yang dapat dimanfaatkan agar siap menghadapi berbagai permasalahan yang ada dalam dunia pendidikan adalah dengan berani mengadakan otokritik terhadap dunia pendidikan itu sendiri. Otokritik ini penting karena ibarat memposisikan dunia pendidikan di depan cermin sehingga bisa mengerti bagaimana kekurangannya sendiri. Dengan mengetahui kekurangan maka kita akan dapat segera menemukan solusi untuk memperbaiki kekurangan tersebut.

Salah satu contoh hasil karya otokritik yang cukup berpengaruh adalah dari Mochtar Lubis dalam bukunya yang berjudul ‘Manusia Indonesia’. Mochtar Lubis adalah seorang pengarang dan jurnalis legendaris yang pernah dimiliki bangsa Indonesia. Buku ‘Manusia Indonesia’ tersebut sebenarnya pidato kebudayaan yang ditampilkan pada 6 April 1977 dan kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku oleh Yayasan Obor Indonesia. Inti dari buku ini adalah mengungkap sifat-sifat negatif yang dimiliki bangsa Indonesia antara lain munafik, enggan bertanggung jawab, berperilaku feodal, percaya takhayul, artistik, dan lemah watak. Dengan otokritiknya tersebut, Mochtar Lubis mengajak bangsa Indonesia berdiri di atas cermin dan melihat kekurangannya sendiri sehingga tersadar untuk memperbaikinya.

Meskipun buku tersebut menuai pro dan kontra, khususnya mengenai ‘Manusia Indonesia’ mana yang dimaksud, namun otokritik sebenarnya memang perlu untuk memperbaiki suatu kekurangan yang kadang tidak kita sadari (atau kita sadari, namun berusaha kita sembunyikan). Dengan berbagai permasalahan dan perkembangan dalam dunia pendidikan, otokritik ini penting jika memang bangsa Indonesia ingin membangun pendidikan ke arah yang lebih baik. Hal paling penting dari otokritik ini adalah berani jujur terhadap kekurangan diri sendiri.

Usaha untuk melakukan otokritik ini memang berat untuk dilaksanakan. Otokritik memiliki syarat utama yaitu keberanian menerima berbagai macam kekurangan yang dimiliki oleh diri sendiri. Oleh karena itu, yang menerima kritik wajib untuk siap dan bersikap dewasa terhadap setiap kritik yang diberikan. Dengan kesiapan menerima kritik, maka yang menerima kritik tentu juga akan siap untuk memperbaiki kesalahan dari apa yang ada dalam kritik tersebut.

Salah satu hal penting yang dapat menjadi bahan kajian otokritik dalam pendidikan di Indonesia adalah masalah kejujuran. Kejujuran yang dimaksud di sini adalah mengungkapkan sesuatu dengan benar apa adanya, atau tidak ada yang ditutup-tutupi serta dimanupulasi. Hal ini sesuai dengan pengertian kejujuran berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang memiliki arti perbuatan yang tidak berbohong dan tidak curang.

Kejujuran ini sangat penting karena tanpa adanya kejujuran, maka apapun sistem pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia tidak akan dapat dijalankan sesuai dengan tujuan. Tanpa adanya kejujuran akan muncul laporan-laporan palsu, nilai-nilai palsu, dan hasil-hasil pembelajaran palsu. Tanpa disadari kita akan menganggap hasil dari sebuah pendidikan yang dialami peserta didik selama ini mengalami kemajuan setiap tahunnya, padahal masalah-masalah dasar yang sebenarnya terjadi dari tahun ke tahun jarang terungkap.

Sarana otokritik juga harus dibuka seluas-luasnya, baik melalui media massa, artikel ilmiah, maupun dari saluran-saluran lainnya. Ide otokritik yang diberikan wajib hukumnya untuk dapat dipertanggungjawabkan dan bersifat membangun. Masalah apapun dalam dunia pendidikan dapat diangkat sebagai tema otokritik. Sebagai contoh, apakah benar nilai-nilai peserta didik dalam rapor setiap tahunnya selalu di atas kriteria ketuntasan minimal (KKM). Jangan-jangan KKM memang sudah tersistem agar prestise sekolah tetap terjaga. Apalagi nilai rapor masih digunakan sebagai pertimbangan utama peserta didik melanjutkan ke jenjang setelahnya.

Pada nilai rapor juga terdapat deskripsi mengenai sikap peserta didik, maka perlu juga dilakukan penelitian secara kritis, apakah memang benar pendidikan karakter yang membentuk watak dan sikap peserta didik selama ini selalu berhasil dilaksanakan? Ataukah nilai yang diberikan guru kepada peserta didik sebenarnya hanya belas kasih guru meskipun peserta didik tersebut berkarakter kurang baik? Sekali lagi masalah-masalah seperti ini perlu dikaji lebih mendalam sebagai bahan otokritik dalam dunia pendidikan di Indonesia.

Meskipun kurikulum telah berganti selama 10 kali dan penerapan teknologi dalam dunia pendidikan semakin baik, namun masalah keberanian untuk jujur menggambarkan bagaimana kekurangan dalam setiap kurikulum yang diterapkan dalam dunia pendidikan jarang dibahas. Kajian-kajian yang dilakukan kebanyakan hanya bersifat parsial dan tidak menyeluruh. Praktik-praktik kecurangan dan kebohongan dalam dunia pendidikan pada setiap kurikulum tersebut kurang tergambar dengan baik. Hal ini membuat kita berpikir bahwa seolah-olah sistem pendidikan yang kita lakukan selama ini baik dan benar serta selalu membawa keberhasilan. Akibatnya sulit untuk memperbaiki berbagai macam permasalahan dalam pendidikan kita.

Sesuai dengan pendapat dari Mochar Lubis di atas, jangan sampai dunia pendidikan di Indonesia jatuh ke jurang hipokrit atau kemunafikan. Jangan sampai bangsa Indonesia menjadi terbiasa mengatakan siap walau sebenarnya tidak siap, mengatakan baik walau sebenarnya tidak baik. Semua kebohongan yang dilakukan dilandasi dasar untuk tetap bisa survive dan mendapat sanjungan dari atasan (sistem ABS, Asal Bapak Senang).

Dalam dunia pendidikan, sikap tidak berani jujur lalu memilih melaporkan yang baik-baik saja walaupun aslinya tidak, tentu sangat berbahaya. Jika kita hanya mengetahui laporan yang baik-baik saja, pembuat kebijakan tidak akan pernah tahu apa kekurangan dari kebijakan yang mereka buat. Akhirnya yang terjadi hanya sebatas ‘kebekuan inovasi’, yaitu seolah-olah banyak inovasi yang diterapkan, padahal inovasi tersebut belum tentu membawa manfaat yang besar bagi pendidikan di Indonesia. Tentu kita tidak ingin kemajuan pendidikan di Indonesia hanya sekedar laporan. Lebih baik mengetahui kekurangan diri sendiri lalu memperbaikinya daripada terlalu bangga pada diri sendiri padahal aslinya rapuh di dalamnya.

#GuruMasaKini

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image