Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Robani, S. Pd

Pondasi Sukses Guru

Guru Menulis | Thursday, 31 Mar 2022, 22:38 WIB

Slogan pendidikan sepanjang hayat (long life education) tidak hanya tertuju kepada para peserta didik sebagai kalimat motivatif belaka. Namun bisa bermakna lebih luas kepada siapapun yang berkeinginan maju dalam hidupnya, tanpa kecuali bagi guru. Karena sejatinya guru itu merupakan profesi yang paling bertanggungjawab untuk membelajarkan anak bangsa. Apa jadinya jika guru berkoar-koar agar peserta didik rajin belajar, sementara dirinya sendiri mengalami stagnasi dalam mengejawantahkan kewajiban belajar tiada henti ini. Maka di mana guru masih mengajar, di situlah keniscayaan dirinya untuk terus belajar.

Dan untuk situasi terkini, belajar yang dimaksud tidak terbatas hanya pada bidang yang digeluti dalam proses pembelajaran di sekolah. Meskipun hal itu sangat penting untuk penguasaan kompetensi keilmuan mata pelajaran yang diampu. Disamping itu juga banyak hal yang perlu dipelajari untuk beradaptasi dengan perkembangan jaman. Karena roda waktu berputar diiringi dengan perubahan perilaku masyarakat dalam gaya hidup, cara berkomunikasi, termasuk gaya belajar. Maka mempelajari segala sesuatu yang bisa mendukung kesuksesan hidup sebagai guru menjadi tidak kalah penting dari sebatas penguasaan mata pelajaran yang diampu.

Adanya kemajuan teknologi masa kini memaksa denyut nadi ilmu pengetahuan semakin kencang, maka guru harus bisa beradaptasi dengan kondisi seperti itu. Manajemen perubahan dalam sosok guru hendaklah disiapkan sejak awal bagi setiap insan yang berminat menjadi guru. Karena perubahan sendiri merupakan sebuah keniscayaan.

Meskipun demikian, integritas guru tidak boleh lapuk termakan waktu. Guru tetap menjadi panutan para peserta didik sebagai manusia yang bisa digugu dan ditiru. Dan ini merupakan tantangan yang hakiki. Karena yang dibutuhkan peserta didik tak hanya transfer ilmu pengetahuan dengan aneka metode yang membumbuinya, melainkan rasa nilai pendidikan moral dalam bentuk keteladanan yang baik (uswatun hasanah) dari seorang guru.

Sebagaimana kita ketahui pergeseran nilai telah terjadi akibat dari globalisasi yang melahirkan era digital. Digitalisasi dalam segala lini kehidupan telah melahirkan generasi jempol. Pada umumnya generasi muda usia sekolah dunia mereka telah teralihkan ke dunia maya. Ibu jari atau jempol menjadi anggota badan yang paling sibuk digerakkan dibanding anggota badan lainnya. Konsentrasi mereka mengalami distraksi yang sangat mengkhawatirkan. Dengan kadar kegandrungan tertentu terkadang mereka abai dengan situasi di hadapannya. Termasuk tidak menghiraukan panggilan orang tua atau guru sekalipun, ketika mereka asyik masyuk dalam dunia digitalnya.

Dalam situasi seperti ini guru mesti hadir beradaptasi dengan perubahan perilaku peserta didik. Ada dua kriteria hadir yang mesti dilakukan oleh guru sebagai kompetensi tambahan dalam mengimbangi perubahan tersebut. Pertama guru harus melek digital. Sebagai pendidik dan pengajar bukanlah hal yang tabu jika guru beraktivitas yang berbau IT. Bahkan penguasaan terhadap teknologi kekinian ini mesti ditingkatkan. Kedua, guru mesti berpikir untuk menambah porsi bimbingan akhlak dibanding konten pembelajaran. Karena, di masa kini ilmu pengetahuan itu relatif lebih mudah diperoleh dengan memanfaatkan teknologi mesin pencari di internet.

Dengan demikian boleh jadi peserta didik lebih banyak wawasannya daripada guru. Mereka bisa belajar secara mandiri dengan berbagai mode pembelajaran daring maupun wawasan umum yang bisa diakses kapan saja dan di manapun berada.

Akan tetapi, seluas apapun wawasan ilmu pengetahuan yang dimiliki peserta didik, tetap membutuhkan bimbingan seorang guru. Baik tutorial cara mengeksekusi ilmu yang didapat agar lebih bernilai tambah manfaatnya, maupun bimbingan akhlak yang tak bisa didapatkan dari berselancar secara virtual tersebut. Di sinilah peran penting manusia bernama guru yang tidak bisa digantikan oleh mesin secanggih apapun teknologinya.

Sebagaimana gelombang laut yang mengalami pasang surut, kiprah guru pun demikian. Dulu, kebanyakan orang enggan menjadi guru karena dianggap profesi yang tak bergengsi. Ditambah dengan label gaji kecil yang tentu tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Tidak mudah menemukan anak yang menjawab ingin menjadi guru ketika ditanya cita-citanya apa saat itu.

Lain dulu lain sekarang, kini profesi guru termasuk banyak diminati oleh masyarakat. Salah satu magnet penariknya adalah dengan adanya program sertifikasi guru. Program ini menjadi gerbang kesejahteraan guru semakin meningkat. Dengan adanya program ini tentu pemerintah mengharapkan ada peningkatan signifikan dalam mutu pendidikan dan kualitas para guru secara keseluruhan.

Pada kenyataannya mencapai tujuan mulia itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Seperti halnya petani menanam padi, ilalang pun tumbuh tanpa ditanam. Terdapat banyak persoalan yang mengitari guru efek dari sertifikasi ini. Satu sisi menjadikan guru berbahagia, namun sisi lain masih banyak yang salah kaprah dalam mensyukuri kebahagiaan tersebut. Alih-alih meningkatnya kualitas seorang guru, justru yang nampak adalah perubahan gaya hidup yang kurang produktif untuk dunia pendidikan. Kapitalisasi pendidikan telah merusak sendi-sendi integritas seorang guru.

Tanpa disadari, meskipun tidak bisa digeneralisir semuanya, kesejahteraan itu telah mencipta jiwa materialistis bahkan hedonis. Di mana pemikiran “Pokoknya yang penting saya senang saat ini” telah tumbuh subur mengalahkan etos kerja yang semestinya dilakukan sebagai umpan balik dari kesejahteraan tersebut. Lalu, kalau terjadi begini siapa yang mesti bertanggungjawab? Maka jawabannya kembali instrospeksi diri masing-masing guru, bagaimana seharusnya mengekspresikan rasa syukur yang sesuai dengan prosedur bumi maupun langit. Dan semuanya bermuara pada kejujuran hati nurani seorang guru.

Bukankah para guru lebih tahu, bahwa dalam proses mengajar itu tidak melulu terfokus pada konten materi yang disampaikan. Materi akan sampai kepada sasarannya dengan baik jika ditunjang dengan metode yang terbaik. Akan tetapi sebaik apapun metode yang digunakan, tetaplah akan terasa kering tanpa ditunjang dengan keikhlasan hati sang guru. Jadi, hati guru memegang peran sangat penting dalam kesuksesan proses pendidikan. Karena menyentuh hati peserta didik harus dengan hati lagi. Hati guru adalah puncak sekaligus pondasi untuk mencapai kesuksesan dalam mendidik generasi. Wallahu a'lam

#GuruMasaKini

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image