Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Windy Tiani

Wanita Bangsawan yang Ranum Hatinya

Agama | 2022-03-30 17:36:15

“Sebaik-baik harta adalah harta yang dimiliki oleh hamba yang shalih.” (Hadits riwayat Ahmad 4/197)

Seorang muslim tidak dilarang untuk menjadi kaya asalkan dengan cara yang baik dalam memperoleh dan mengelolanya. Kaya atau miskin bukanlah faktor penentu beriman atau tidaknya seseorang. Bukan hal yang buruk bila seorang muslim memiliki harta, justru jika ia bisa menggunakan apa yang dimilikinya untuk kemanfaatan agama, tentu akan mewujudkan kebaikan dan keberkahan pada hartanya. Seperti yang disebut pada hadits diatas, bahwa harta yang baik itu jika terletak ditangan orang yang shalih.

Melirik pada pernyataan ini, tidak menutupi kemungkinan bagi seorang perempuan bisa berdaya dengan apa yang ia punya untuk bisa membantu sesama walaupun dengan cara bekerja.

Kita bisa belajar dari Zainab binti Abu Muawiyah Ats Tsaqafiyah Radiyallahu ‘Anha misalnya, salah satu bangsawan wanita kaya raya dari kabilah Bani Tsaqif di Thaif. Beliau merupakan istri dari Abdullah bin Mas'ud Radiyallahu ‘Anhu, seorang yang miskin dan mengalami kesusahan hidup, yang secara fisiknya pun berpotensi menerima ejekan dan bahan tawaan dari orang lain karena postur tubuhnya yang kecil dan kurus namun, islam memuliakan kedudukannya dengan kemampuannya dalam membaca Al-Qur'an, bahkan Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah memujinya karena hal tersebut. Meski berbeda dengan Zainab Radiyallahu ‘Anha dalam sisi duniawi, ia tetap bersedia dinikahi Ibnu Mas’ud Radiyallahu ‘Anhu, karena ia menyadari kekayaan dan kebangsawanannya belum tentu bisa menjamin keselamatannya di akhirat kelak. Zainab Radiyallahu ‘Anha beranggapan bahwa ia berada pada jalur yang tepat agar surga bisa didapat.

Melihat keadaan ekonomi keluarganya yang pas-pasan, Zainab Radiyallahu ‘Anha berinisiatif untuk memulai usaha. Usaha yang dirintisnya pun terbilang cukup sukses hingga ia mampu memperbaiki keadaan ekonomi keluarganya.

Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan bahwa Zainab Radiyallahu ‘Anha pernah mendengar khutbah Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam yang memerintahkan wanita agar bersedekah walau dari perhiasan yang dimiliki. Lalu ia bertanya kepada Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam melalui perantara Bilal Radiyallahu ‘Anhu tentang sedekahnya kepada suaminya. Jawaban Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam pun menyenangkan hatinya, karena apa yang dilakukannya itu bernilai pahala sedekah.

Selain bekerja, Zainab Radiyallahu ‘Anha pun belajar dengan menghadiri majelis-majelis ilmu. Ia belajar langsung dari Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam Bukan hanya belajar, ia pun menyebarkan ilmu yang telah dimilikinya kepada orang lain. Sekitar 16 orang dari kalangan tabi’in, adalah muridnya. Beberapa di antaranya adalah : Amr bin al-Harits, Amir bin Syarahil, Urwah bin Zubair, Kultsum bin Alqamah dan Masruq bin al-Ajda’. Ia juga meriwayatkan hadis dari suaminya, Ibnu Mas’ud Radiyallahu ‘Anhu dan dari Umar bin Khattab Radiyallahu ‘Anhu.

Demikianlah pribadi Zainab binti Muawiyah Radiyallahu ‘Anha, perempuan mandiri yang mampu menghasilkan uang dengan tangannya sendiri, yang mampu membantu peran suami sebagai pencari rezeki.

Dari Ibnu Mas’ud Radiyallahu ‘Anhu kita pun bisa belajar, tidak perlu malu jikalau penghasilan istri bisa melebihi penghasilan suami. Tidak perlu malu jika sang istri berperan lebih besar dalam hal mencari nafkah. Sebab keluarga dibangun atas dasar pengertian, kerja sama dan saling melengkapi satu sama lain.

Islam sendiri tidak menghalangi perempuan untuk mandiri dan menghasilkan uang sendiri. Terlihat jelas bahwa Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam pun begitu mengapresiasi Zainab Radiyallahu ‘Anha. Beliau tidak melarang Zainab Radiyallahu ‘Anha bekerja, beliau justru mengapresiasinya dengan berkata bahwa istri yang menafkahi suami dan anak-anaknya akan mendapat pahala nafkah juga sedekah.

Bagaimana dengan perempuan di zaman ini? Kita telah menyaksikan di luar sana khususnya di perkotaan banyak perempuan bekerja tapi tidak menghormati suami. Merasa diri lebih tinggi karena gaji yang sudah didapati. Suami hanya bisa duduk meratapi diri yang belum bisa menandingi gaji sang istri. Bahkan dalam suatu film pada salah satu stasiun televisi pun memperlihatkan, para suami beralih profesi mengerjakan pekerjaan sehari-hari lalu sang istri yang berperan menafkahi. Bukan hal buruk jika sang istri juga bekerja untuk membantu keadaan ekonomi, namun yang jadi masalah adalah saat istri lupa akan kodratnya yang asli.

Islam sendiri telah mengatur bagaimana seharusnya perempuan dalam menyikapi hal ini. Seorang perempuan boleh bekerja jika mendapatkan izin dari suami, dan hanya dalam kondisi tertentu saja, saat ekonomi keluarga menurun misalnya atau untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Perempuan bekerja itu mubah dalam agama bahkan untuk profesi tertentu bisa jadi fardhu kifayah hukumnya, contohnya menjadi seorang dokter, perawat, bidan, pengajar dan lain sebagainya, selama seorang perempuan bisa menjaga diri dari fitnah, tidak adanya ikhtilat dan tetap menaati syarat sebagai seorang istri.

Dari sosok Zainab Radiyallahu ‘Anha kita melihat ketulusan dan kebeningan hati sejati. Bagaimana seorang perempuan dengan kedudukan tinggi mau dinikahi oleh lelaki yang bisa dikatakan jauh dari glamor duniawi, yang lebih kaya dan lebih tampan dari Ibnu Mas’ud Radiyallahu ‘Anhu pada saat itu tentu lebih banyak, tapi dari sini kita lihat bahwa Zainab Radiyallahu ‘Anha lebih memilih keuntungan ukhrawi dan meninggalkan keindahan duniawi yang hanya sebatas ilusi.

Perempuan saat ini tentu akan memilih lelaki yang lebih darinya dari tiap sisi. Hartanya, parasnya dan semuanya. Bahkan tak jarang, perempuan tertarik dari sisi materi dan tidak melihat dari sisi religi sama sekali, langsung terima lamaran meski yang datang adalah seorang fasik dan tak mengerti kalam Ilahi.

Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam memeringatkan umatnya untuk berhati-hati dan tidak sembarangan memilih pasangan hidup. Beliau mengingatkan agar dalam perkawinan tidak hanya mencari kepentingan-kepentingan yang bersifat fisik semata, tetapi terlebih dulu memperhatikan persyaratan dari sisi keagamaan. Lantaran dengan agama seseorang dapat dibimbing akal dan jiwanya.

Kendati demikian, pada hari ini juga kita masih bisa mendapati perempuan-perempuan yang memiliki kemurnian dan ketulusan hati yang tinggi. Bekerja untuk membantu perekonomian keluarga atau dengan suami merintis usaha bersama. Di beberapa tempat seperti di perdesaan misalnya, masih bisa kita temukan perempuan yang giat bekerja dan tak kenal lelah mencari nafkah karena kondisi suaminya yang lemah akibat penyakit yang diderita, mereka melakukannya dengan ikhlas dan semangat. Namun, frekuensi mereka memang lebih sedikit kita temukan pada zaman yang serba terbalik seperti saat ini.

Dalam kehidupan berumah tangga, kesetaraan laki-laki dan perempuan dapat diwujudkan dengan kerja sama antara suami dan istri. Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wata’ala yang berbunyi "Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain...." (Qur’an Surah Ali Imran [3]: 195).

Dari ayat diatas kita dapat mengetahui bahwa Allah Subhanahu Wata’ala tidak membedakan perlakuan-Nya terhadap laki-laki dan perempuan, karena Allah memberikan ganjaran atas setiap kebaikan yang telah dilakukan.

Referensi

Haidar, Abdullah. (2005). Kisah Wanita-Wanita Teladan. Riyadh: Kantor Dakwah dan Bimbingan Bagi Pendatang

https://akurat.co/kisah-zainab-ats-tsaqafiyah-wanita-kaya-raya-dan-istri-abdullah-bin-masud-yang-sederhana diakses pada Jumat, 17 September 2021 Pukul 22:32 WIB.

https://www.portal-islam.id/2021/10/ibnu-masud-sahabat-miskin-yang-punya.html diakses pada selasa, 05 Oktober 2021.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image