Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Mr Jadid

Madrasah dan RUU Sisdiknas

Eduaksi | 2022-03-27 22:52:37
dok.medcom.id

By. Nurjadid

Asbabunnuzul keberadaan Madrasah, sudah ada sejak penjajahan kolonial belanda, dimana pada rezim kolonial tersebut menolak keberadaan Madrasah, karena penjajahan oleh belanda yang popular dimasyarakat disebut-sebut sebagai kompeni yang tidak setuju didalamnya ada unsur agama, dan minimnya pengetahuan umum.

Madrasah juga merupakan suatu Lembaga pendidikan yang lahir dari marwah pesantren yang pada awalnya bermisi pendidikan pesantren dengan sedikit berbeda, dengan kata lain Madrasah merupakan pesantren reborn, pesantren yang berwajah baru, yang disebabkan oleh perlunya pembaharuan karena diantaanya kurang puasnya dalam pembahasan keilmuan dan Pendidikan di pesantren pada saat itu, berikutnya merupakan kesempatan bagi masyarakat +62 yang dulunya Pendidikan merupakan suatu peradaban yang hanya dinikmati segelintir orang, bahkan ras tertentu pada abad ke 20 silam (Juhaedi, 2014).

Berdasarkan UU Nomor 2/1989 disana sama sekali tidak memasukkan madrasah.satuan pendidikan terdiri atas sekolah dan luar sekolah. Secara perlahan, madrasah "berubah" menjadi sekolah. Madrasah disebut sekolah umum berciri khas agama Islam dengan kurikulum 89% studi umum dan 11% studi agama.

Kemudian muncul SKB 3 Menteri tahun 1975, yakni Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri, berisi tentang lulusan madrasah dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dan mutasi ke sekolah. Kurikulum madrasah berubah: 70% agama dan 30% umum.

Setelah itu baru lahir UU Nomor 20/2003. Dimana Madrasah adalah sama dengan sekolah bentuk pendidikan formal. Dari jenjang Pendidikan anak usia dini berbentuk Taman Kanak-kanak (TK), atau sama dengan Raudatul Atfal (RA) atau bentuk lain yang sederajat (pasal 28 [3]). Jenjang Sekolah Dasar (SD) sama dengan Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP) sama dengan Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajat (pasal 17 [2]). Kemudian Pendidikan Menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), sama dengan Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), dan bentuk lain yang sederajat (pasal 18 [3]).

Lebih lanjut, seiring berjalannya waktu, perkembangan Madrasah berdasarkan Dapodik saat ini per mei 2021, terdiri dari 53.929 atau sekitar 19,53 % dari satuan Pendidikan Madrasah atau sekolah yang berjumlah 276.076 (Kemendigbud.go.id).

Yang menjadi persoalan baru-baru ini, mungkin karena kurang cermat atau lainnya, yakni RUU Sisdiknas 2022 terdiri atas XIX bab/155 pasal tersebut Tidak terdapat pasal yang menyebutkan tentang madrasah. Tidak adanya ketentuan tentang madrasah dapat menimbulkan masalah pendidikan yang serius nantinya, asumsi publik secara finansial akan memutus mata rantai dana BOS, kemudian secara negative thinking lainnya akan jauh lebih buruk lagi misalnya isu sensitive agama, untungnya pihak Kemendikbuddikti sudah mengklarifikasi bahwa tidak akan ada pemutus dana BOS untuk Madrasah, dan akan mencantumkan Madrasah disana.

Solusi,

Sebaiknya didalam mengambil kebijakan ataupun keputusan bagi kepentingan publik berhati-hati , cermat, penuh dengan analisis baik buruknya, karena saat ini dataran wacananya sudah bukan tercantum atau tidak tercantum lagi, namun lebih kepada konsentrasi perkembangan untuk mendorong atau “mengeroyok” lebih maju lagi, baik pada jenjang MI/SD , MTs/SMP, dan MA /SMA dengan acuan 8 (delapan) SNP (Standar Nasional Pendidikan) dan SKL (Standar Kompetensi Lulusan), SI (Standar Isi) dan SP (Standar Proses) serta SE (Standar Evaluasi) seluruh jenjang dikoreksi agar menopang , bahu membahu dalam pencapaian tujuan Pembangunan Manusia Indonesia Tahun 2050.

Jadi sekali lagi akan sangat mundur jika topik yang diangkat dalam hal ini Kemendikbuddikti adalah masih pada level tercantum atau tidak tercantum dalam RUU Sisdiknas, namun harus lebih meningkat, selain itu untuk menghindari kegaduhan didunia Pendidikan. Maka sebaiknya sudah saatnya membangun software nya, bukan hanya ramai di RUU yang bersifat administrative belaka, Seperti pemikiran Howard Gardner (5 Minds for The Future, 2011) agar warga sebuah bangsa wajib memiliki nalar agar menumbuhkembangkan “discipline mind” dan seterusnya akan berlanjut ke “creative dan synthetic mind” lalu menjadi “emphatic mind” yang akan menumbuhkan dasar-dasar karakter kemanusiaan (humanisme) sejak dini, ketika keempat minds set ini sudah mendarah daging di usia muda, maka “ethical mind” akan bertumbuh di jenjang selanjutnya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image