Wajah Pendidikan Kita di RUU Sisdiknas
Edukasi | 2022-12-05 21:25:11Upaya Kemendikbudristek menggolkan RUU Sisdiknas ke Parlemen tidak semudah yang dibayangkan. Saat ini, Pemerintah telah menyusun draft naskah RUU dan menuai polemik di masyarakat. Berbagai pihak melayangkan protes, salah satunya PGRI. Menurut organisasi ini, poin tunjangan guru tidak boleh hilang. Meski Menteri Nadiem menjamin tunjangan guru tetap ada, namun PGRI meragukan jaminan tersebut. Jika rezim berganti dan menteri pun berubah, maka penghilangan nomenklatur tunjangan guru dalam revisi undang-undang berikutnya akan semakin mudah.
Problem RUU Sisdiknas bukan hanya soal tunjangan guru. Ada banyak pemikiran Nadiem yang mendapat reaksi di masyarakat. Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) adalah ketidakjelasan apakah dia bagian dari pemerintah atau nonpemerintah. Tahun lalu, Nadiem membubarkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang oleh menteri sebelumnya dijadikan sebagai lembaga penjaminan mutu penyelenggaraan pendidikan. Pembubaran ini pun menuai polemik. Kekhawatiran keterlibatan asing dalam LAM pun mencuat dan menjadi ancaman bagi eksistensi penyelenggaraan pendidikan nasional.
Apakah RUU Sisdiknas ini antitesis dari UU Sisdiknas sebelumnya? Ketika NKRI terancam dengan western worldview di dalam RUU ini? Tentunya hanya Nadiem yang selayaknya menjawab. Dari draft RUU sisdiknas memang kecurigaan publik mencuat.
Kecurigaan lainnya adalah tidak menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pendidikan. UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 secara jelas, dalam pasal 33 bab IV, menyebutkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Namun, dalam draft RUU pasal tersebut hilang. Pasal 81 dalam draft hanya menyebutkan bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran muatan wajib, namun tidak mempertegas keberadaannya sebagai bahasa pengantar pendidikan.
Ketiadaan Sistematisasi Pendidikan Nasional
Wajah pendidikan kita menunjukkan tidak adanya sistem dan korelasi berjenjang di lembaga pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan mulai dari PAUD hingga perguruan tinggi tidak tersistem dengan optimal. Peserta didik yang mengikuti rangkaian pendidikan di perguruan tinggi tidak sinkron di tingkat menengah, dasar hingga anak usia dini.
Problem tersebut yang kemudian melahirkan RUU Sisdiknas yang diupayakan oleh Kemendikbud Ristek saat ini. Bisa dibilang, RUU ini menggabungkan beberapa UU seperti UU Sisdiknas, UU Dikti dan UU Guru dan Dosen. Sayangnya, menggabungkan tiga UU tersebut menimbulkan konsekuensi serius di sejumlah Kementerian, misalnya Kemendagri dan KemenPAN-RB. Bagaimana nasib guru-guru ASN di daerah. Atau, bagaimana lembaga-lembaga pendidikan negeri dan status pengajar yang ada di bawah Kemendagri.
Upaya Nadiem untuk menjadikan RUU Sisdiknas seperti Omnibus Law sebenarnya layak diapresiasi. Problem utama undang-undang pendidikan di Indonesia karena ruwet dan banyak undang-undang yang mengatur pendidikan. Artinya, banyak lembaga dan kementerian yang terlibat. Saling tumpang tindih, ketidaksinkronan pendidikan, terlalu birokratis adalah wajah pendidikan kita sekarang ini.
UU Perguruan Tinggi seperti berjalan sendiri yang tidak sinkron dengan pendidikan dasar. Dengan adanya RUU ini, Pemerintah ingin membuat terobosan baru. Namun, hal ini menjadi sulit karena di lapangan berbagai protes dilayangkan masyarakat.
Sayangnya, Kemendikbud Ristek tidak menyadari sistem tata kelola pendidikan sesungguhnya berkelindan dengan banyak kementerian lain. Sejatinya, lingkup pendidikan tidak hanya sektor Kemendikbud Ristek tetapi juga menyangkut Kementerian Keuangan.
Mencari Solusi Bersama
Pemerintah tentu harus menyerap lebih banyak lagi aspirasi publik. Suara penolakan harus disikapi dengan bijak. Duduk bareng, berdiskusi dan mencari solusi bersama adalah jalan terbaik. Tidak masuknya RUU ini dalam Prolegnas 2022 menjadi kesempatan untuk memperbaiki sejumlah pasal yang menjadi kontroversi di masyarakat.
Hal paling penting adalah meninggalkan ego sektoral, apalagi hidden agenda yang menimbulkan kecurigaan. Kita tentu sangat berharap Pemerintah bersungguh-sungguh melakukan tata kelola pendidikan nasional yang selama ini memang senantiasa menghadapi banyak tantangan. Perubahan zaman harus dilihat sebagai peluang meraih kebaikan dan mengubah nasib bangsa dan negara untuk menjadi lebih baik di masa mendatang. (*)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.