KUASA -cerpen-
Sastra | 2022-03-27 07:27:38Sebelum cangkir coklat ini dingin, aku ingin menuliskannya dulu di buku ini. Aku harap buku ini menjadi peringan dosaku pada Liza; walau aku tahu tak akan terjadi. Namun, aku harus melakukan sesuatu dalam ruangan ini; dan menuliskan ceritaku ini satu-satunya yang aku ingin lakukan.
Ruang dan waktu menjadi suatu diskusi panjang bagi Einstein dan teman-temannya, dan juga junior-juniornya. Apakah waktu bisa dilengkungkan dan kita bisa melakukan perjalanan masa depan atau masa lalu? Dalam semua simulasi terekstrim dan paradoks perjalanan melintasi waktu, aku berharap ada kembali di masa lalu.
Ada yang salah dalam perjalanan masa lalu itu. Aku tahu itu.
Dari sudut pandang mana pun, aku yang punya kuasa. Seluruh keputusan itu adalah kuasaku. Malam itu, aku bisa membelokan RX King hitamku pulang; kembali pada Liza.
Namun, meski telah berhenti sejenak di persimpangan; aku kalah dengan letupan dopamin yang terjadi otakku. Dan aku mengambil jalan berlawanan arah dari rumah. Sebuah jalan yang salah; dan hati kecilku tahu.
Beberapa hari sebelumnya, aku mengakui pada Ferdi hal ganjil yang terjadi padaku. Di coffee shop bersama avocado coffee, aku bercerita padanya bahwa ada bagian diriku yang dulu muncul kembali saat bersama Deasy.
“Aku kembali merasa liar dan brutal. Sesuatu yang telah lama tidak aku rasakan semenjak bersama Liza,” ucapku.
“Kamu selingkuh?”“Belum,”
“Hampir?”
“Aku bingung,”“Jadi saat ini Deasy itu posisinya apa?”
“Dia secara terus terang ingin bersamaku. Entah selingkuh atau yang kedua; asal bersama,”
“Kamu suka?”
“Pada satu sisi aku suka. Terlepas dari keinginannya, di dekat Deasy, Aku merasa menjadi orang yang aku kenal dulu,”
“Setan itu,”
Ya. Aku bisa menerima itu; setan tengah berbisik padaku. Dan imanku tidak cukup kuat untuk melawan hembusannya. Aku mengutuk diriku sendiri akan hal itu.
“Yang kamu miliki saat ini mungkin belum indah, tetapi itu sudah kamu jalani dan mungkin dalam beberapa waktu kedepan akan menjadi indah. Apakah kamu mau mengulangnya dari nol lagi dengan orang lain?”
Semua yang dibilang Ferdi benar. Masa depan dengan Liza mungkin belum terlihat, namun kami telah mulai membangunnya bata per bata. Tidak presisi, akan tetapi mulai terbentuk. Dan dengan menerima kehadiran Deasy, bata-bata itu berantakan karena dia tak ada dalam rancanganku.
Aku mengutuk diriku untuk persimpangan itu.
Selepas malam itu, aku dan Deasy menjadi semakin intim. Aku hilang dalam ganasnya badai listrik yang terjadi di otak. Dan semua listrik itu hanya mengantarkan satu gambaran jelas: Deasy. Liza memudar.
Kegilaan itu lambat laun terkuak. Seperti bau bangkai yang tidak bisa ditutupi lagi.
Pada siang itu, seharusnya aku ada di kantor untuk menyelesaikan finalisasi proyek bersama timku. Namun, telepon Liza membuatku ada di ruang makan di rumah kami.
Dengan amarah dan air mata, Liza meneriakiku. Meneriaki semua pilihan yang aku buat untuk bersama Deasy dibelakangnya. Sesuatu yang tidak aku pungkiri. Aku bajingan, ya aku benar-benar bajiangan. Jadi aku tidak perlu menambahnya dengan berbohong lagi. Yang aku pinta hanya maaf dari dia.
Tetapi, hati kecilku berbisik; apa aku memang minta maaf? Sementara selama dia berteriak, menampar, mencakar dan aku hanya diam; pikiranku tidak ada di sana. Aku merasa aman dan nyaman dengan semua apa yang telah aku lakukan.
Aku salah. Seharusnya seperti umumnya, aku bersimpuh mohon maaf dan membuat seribu janji untuk menenangkan Liza. Apakah itu sekadar bullshit atau benaran; tidak usah dipikirkan. Yang jelas keadaan bisa dikendalikan.
Aku benar-benar salah tidak melakukan itu semua. Aku bergeming pada semua kesalahanku. Dan itu membuat Liza yang telah bersamaku bertahun-tahun menjadi orang yang tidak aku kenal.
Dia berlari dan pergi. Ucapan terakhirnya mengiang di telingaku, “Apa yang tidak bisa kamu hilangkan, akan aku hapus.”
Insting membuatku mengikutinya dengan segera. Aku mengejar city car yang biasa dipakainya. Dan itu mengarah pada apartemen Deasy. Liza yang selama ini aku kenal anggun dan feminim, kini berubah tegas dan ringkas. Gerakannya efektif dan tangkas.
Aku telat.
Saat tiba di ruang tamu tempat biasa aku duduk bersama Deasy, aku sudah melihat Liza dengan tangan berlumur darah dan Deasy yang sungkur dengan tarikan nafas satu-satu. Matanya melihatku muram dan ketakutan.
“Lihat, sebentar lagi yang tidak bisa kamu hindari akan hilang,” ucap Liza padaku. Matanya penuh kesakitan. Dia tersenyum, namun kepedihan ada dalam senyumnya.
Aku menamparnya hingga dia pingsan.
Begitulah cerita itu terjadi. Saat ini, aku pikir aku akan bersimpuh dan memohon maaf pada Liza.
I knew that it made Liza, who has been with me for years, become a person I don't know.
****
“Hei, apa kabar?”
Tidak ada jawaban. Hanya mata kosong yang menyambutnya. Dan dia tidak mengharapkan ada jawaban.
“Ben menitipkan permohonan maaf padamu.”
Tetap tidak ada jawaban.
“Dia baru dimakamkan tadi pagi. Dan dalam suratnya padaku, dia minta dekat makamnya ada bunga lavender dan bunga tulip putih.”
Masih tetap hanya mata yang kosong menyambut kata-kata itu.
“Katanya, kamu suka lavender; jadi dia inginkan itu supaya bisa merasakan kehadiranmu. Dan bunga tulip, katanya sebagai ungkapan maafnya padamu.”
Suara telepon berdering. Ferdi melihat panggilan masuk itu dan menjawabnya,
“Hallo,”
“Hei, masih di pemakaman?”
“Tidak. Pemakaman sudah selesai, aku menjenguk Liza. Ben meminta aku membacakan sebuah surat maaf untuknya.”
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.