Belajar Mengayuh dan Mengelola Harapan
Eduaksi | 2022-03-26 13:40:33Disuatu sore, tiba-tiba anak saya pamer kalo dia sudah bisa naik sepeda, “Bi lihat deh aku sudah bisa naik sepeda”. Sembari ngajak saya lihat langsung di halaman rumah. Dan memang beneran, dengan terampil dikayuhnya pedal sepeda itu hingga sekira 100 meteran, wajahnya sambil cengar cengir bahagia, walaupun masih agak megal-megol bawanya, ya sudah biarin saja namanya juga baru bisa, pikirku.
Saya yang cukup terkaget melihat peristiwa yang sangat emosional ini, reflek merekam untuk jadi dokumentasi dan siap disharekan ke WA grup keluarga. Ha.ha.
Padahal, sudah sekian purnama yang lalu ini anak sudah disuruh latihan, bahkan sudah diajari naik ke lapangan dulu, sampai banyak drama, dan akhirnya gak kejadian latihan. Pakai nangis pula. Boro-boro bisa naik sepeda sendiri. Tapi tidak dengan sore ini, dia sudah bisa sendiri.
Makin kesini, makin berumur dan beruban, Saya jadi makin banyak tahu kalau proses belajar memang mustinya berasal dari dalam diri pembelajarnya. Mau setengah mati dari eksternal hendak memaksa, kalau pembelajarnya tidak mau, akhirnya akan tetap stuck dan tidak kemana-mana.
Namun tugas kita sebagai orang tua atau guru, adalah memastikan bahwa anak-anak kita tumbuh di lingkungan yang siap mendukung dirinya untuk belajar hal yang baru, senantiasa support, tidak gemar menyalahkan, bahkan siap sedia membantu dibagian apa yang perlu didukung.
Proses menemukan motivasi belajar itu memang unik, baik untuk pembelajarnya juga lingkungannya. Tidak semua orang bisa pada waktu dan tempat yang tepat tiba-tiba menemukan “why” nya.
Kadang-kadang kita sebagai guru atau orang tua, sangat ingin sekali anak kita bisa menguasai A, B dan C dalam sekejap, tapi kita seolah abai terhadap prosesnya, tidak hanya dari internal anak tersebut, namun juga dari mana kita membantu. Yang paling penting adalah kita senantiasa berprasangka baik dan selalu siap bantu, bahwa anak ini sedang pada tahap “belajar”, tak peduli bahkan jika dia sedang pada fase mengelola emosi dan motivasinya. Ekspektasi kita tak boleh padam walau sejenak.
Tentang ekspektasi (harapan), ada pelajaran menarik dari kisah mitologi Yunani, ada seorang pemahat yang bernama Pygmalion, suatu ketika dia berhasil memahat patung wanita yang teramat cantik. Sampai-sampai dia berharap kalau patung ini akan bisa dihidupkan oleh para dewa. Siang malam dia memandangi wajah patung ini. Akhirnya ketika dia kembali dari urusannya untuk pulang ke rumahnya, tiba-tiba dia menemukan ada wanita cantik disana.
Kisah Pygmalion ini melatar belakangi Robert Roshental dan Jacobson dalam Rosenthal (1968), ahli Psikologi dari Universitas California melakukan penelitian tentang bagaimana “harapan” sesungguhnya dapat mempengaruhi usaha seseorang. Pada tahun 1968, Rosenthal melakukan eksperimen dengan cara memilih secara acak 20 % siswa yang diambil dari seluruh kelas disuatu sekolah untuk dikumpulkan disatu kelas. Guru-guru yang mengajar di kelas itu diberikan persepsi bahwa kelas itu merupakan kumpulan siswa-siswa terbaik, yang padahal sesungguhnya tidak.
Dengan persepsi bahwa siswa-siswa disana merupakan orang pilihan, maka guru-guru yang mengajar memiliki harapan yang tinggi, dan akhirnya berpengaruh terhadap effort mengajarnya. Persiapan mengajar dilakukan dengan lebih rijit, media dan metode yang disiapkan juga terbaik, layanan pembelajaran dilakukan dengan semaksimal mungkin. Setelah delapan bulan berselang, kemudian diteliti kembali bahwa perilaku guru ternyata mempengaruhi performa siswa dalam belajar. Yakni nilai-nilai meningkat dan motivasi yang sedemikian naik berlipat-lipat. Akhirnya bagaimana pengaruh harapan ini dinamakan “Pygmalion Effect”.
Dengan melihat gambar dibawah ini, mudah-mudahan makin memudahkan penjelasannya. Coba Anda lihat penomoran warna biru berikut.
(1) Our beliefs. Merupakan kepercayaan kita, bahwa “sesuatu” itu mestinya “begitu”. Sebagai contoh jika sebagai pelatih basket yang tiba-tiba kedatangan pemain baru, kita diberitahukan bahwa portofolio pemain ini adalah prestatif, juara nasional, memiliki banyak teknik dribble. Nah Our beliefs inilah yang mempegaruhi Our actions pada nomor 2.
(2) Our actions. Merupakan tindakan kita. Jika kita meyakini bahwa pemain baru itu prestatif, maka upaya melatih kita juga pasti istimewa. Kalender latihan padat, disiplin waktu, diet ketat, sampai jadwal sparing yang tak kenal lelah. Pada akhirnya, dengan konsistensi yang lebih, akan berpengaruh kepada kepercayaan orang lain (Other beliefs).
(3) Other beliefs. Orang lain yang mengetahui bagaimana “dosis” kesungguhan dan harapan kita, akan merasakan bagaimana tindakan kita lambat laun juga akan membawa kepada beliefs orang lain. Dirinya meyakini bahwa dia pasti bisa, karena harapan dan kepercayaan orang lain linier dengan usaha-usaha keras mereka.
(4) Other actions. Setelah beliefs mereka terbangun bahwa dirinya juga pasti bisa, maka akan berimplikasi kepada tindakan mereka. Pemain baru ini juga akan mengeluarkan effort lebih, berlari lebih kencang, dribble bola lebih jauh, menembak lebih sering tanpa kenal lelah.
Karena Pygmalion Effect ini berbentuk seperti siklus, yang pada akhirnya aksi orang lain (Other actions) ini akan kembali ke kita lagi, sekaligus mengkonfirmasi bahwa aksi orang lain yang sudah luar biasa itu benar, sesuai dengan harapan kita diawal.
Dalam dunia pendidikan, baik sebagai orang tua atau guru, disadari atau tidak, kita selalu meletakkan harapan diawal. Seiring berjalannya waktu, “harapan” itu kita uji dan akhirnya kita validasi kebenaran atau keluputannya diujung jalan. Maka meletakkan harapan terbaik kepada segenap siswa dalam proses pembelajaran adalah langkah paling pertama untuk membaikkan proses belajar mereka.
Semoga “kayuhan” mereka, anak-anak kita, terus melaju lebih kencang dimasa depan sehingga menjadi inspirasi terbaik untuk generasinya kelak.
Daftar Pustaka
Robert Rosenthal; Lenore Jacobson (September 1968). “Pygmalion in the classroom“. The Urban Review. 3 (1): 16–20. doi:10.1007/BF02322211. ISSN 0042-0972. Wikidata Q29544249.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.