Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Memahami Akar Perbedaan, Saling Menghormati dan Tidak Merasa Paling Benar

Agama | 2022-03-26 07:45:03

Umar bin Khattab terkejut mendengar bacaan surat Al-Furqan yang dilantunkan Hisyam bin Hakim bin Hizam. Bacaannya berbeda dengan cara yang biasa ia lakukan.

“Mengapa berbeda? Bukankah surat Al-Furqan yang ia baca sama dengan surat Al-Furqan yang biasa saya baca, dan bukankah surat tersebut sama-sama bersumber dari Rasulullah saw?” Demikian sejumput pertanyaan dalam hati Umar bin Khattab.

Keterkejutan mendengar bacaan Al-Quran Hisyam yang sedang menjadi imam shalat, hampir-hampir saja ia menghentikan ibadah shalat Hisyam, namun ia menahan diri sampai Hisyam menyelesaikan ibadah shalatnya. Setelah melihat Hisyam menyelesaikan ibadah shalat, ia segera menghampirinya dan menanyakan tentang perbedaan bacaan surat Al-Furqan tersebut.

Dialog pun terjadi. Kedua belah pihak mengemukakan alasan masing-masing dan mengklaim, bahwa yang dilakukannya sama-sama bersumber dari Rasulullah saw.

“Agar apa yang kita lakukan dalam membaca surat Al-Furqan ini memperoleh kejelasan kebenarannya, mari kita menghadap Rasulullah saw?” Kata Umar bin Khattab selanjutnya.

“Saya sangat setuju sekali.” Jawab Hisyam.

Umar menuntun Hisyam menghadap Rasulullah saw. Sesampainya di hadapan Rasulullah saw, sambil terus memegang tangan Hisyam, Umar bin Khattab berkata, “Ya Rasulallah saw, aku mendengar Hisyam membaca surat Al-Furqan berbeda dengan cara yang telah kau bacakan kepadaku?”

“Oh, begitu. Lepaskan tangannya, ya Umar! Jawab Rasulullah saw.

Kemudian Rasulullah menyuruh Hisyam untuk membaca surat tersebut. Setelah mendengar bacaannya, Rasulullah saw berkomentar, “Ya seperti itulah bacaan surat tersebut diturunkan”.

Kemudian ia menyuruh Umar bin Khattab membaca surat yang sama dengan cara membaca yang berbeda dengan bacaan Hisyam. Setelah selesai Umar bin Khattab membacanya, komentar yang dilontarkan Rasulullah saw sama persis dengan komentar yang dilontarkan kepada Hisyam.

Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya, al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh dialek, maka bacalah olehmu dialek bacaan yang paling mudah” (H. R. Bukari, Fathul Bari, Juz VIII, hadits nomor 4.803).

Pelajaran yang dapat kita peroleh dari kisah tersebut adalah perbedaan dalam memahami suatu perintah agama sudah ada sejak zaman Rasulullah saw. Ketika kita menghadapi suatu perbedaan dalam memahami dan melaksanakan perintah agama, yang pertama harus kita lakukan adalah mengajukan suatu pertanyaan filosofis “mengapa terjadi perbedaan, bukankah semuanya berasal dari sumber yang sama?”

Setelah mengajukan pertanyaan filosofis, kita harus menggali, mengkaji, dan menemukan jawabannya. Dialog dengan mengedepankan bil hikmah wal mauidhatul hasanah merupakan cara yang terbaik.

Jika dialog dengan orang yang berbeda dengan kita mendapat jalan buntu, cara terbaik adalah mencari orang bijak dan berwawasan keilmuan luas yang dapat memutuskan masalah perbedaan yang tengah kita hadapi. Para ulama yang pada saat ini sudah terlembagakan dalam berbagai organisasi diharapkan mampu memberikan jalan keluar yang bijak terhadap perbedaan yang muncul di kalangan umat Islam.

Sudah sejak lama, umat Islam terjebak dalam berbagai perbedaan pendapat, baik dalam masalah ibadah maupun dalam masalah kehidupan sosial dan politik. Di kalangan umat Islam akar rumput, perbedaan tata cara ibadah yang sebenarnya tidak prinsipil, perbedaan organisasi, atau perbedaan partai politik terkadang membawa perpecahan.

Perbedaan membaca doa qunut dalam shalat shubuh, membaca ushalli dalam ibadah shalat dan beberapa masalah yang tidak prinsipil lainnya, sampai detik ini selalu menjadi duri penghalang bersatunya umat Islam. Padahal ada masalah besar yang harus dihadapi umat Islam yakni serangan berbagai pemikiran, aliran sesat, dan berbagai pelecehan terhadap marwah umat Islam yang siap merusak akidah dan persatuan umat, serta berbagai persoalan sosial politik lainnya.

Republika.co.id (Ahad 13 Feb 2022 16:57 WIB) memuat berita Awal Ramadhan 1443 H Berpotensi Ada Perbedaan, jika memang benar-benar terjadi, hal ini merupakan ujian bagi kedewasaan umat Islam dalam menyikapi perbedaan tersebut. Memang idealnya, penetapan awal ibadah puasa Ramadhan itu sama, namun itulah kenyataannya.

Beberapa tahun lalu sudah dibentuk Tim Unifikasi Kalender Hijriyah Indonesia Kementerian Agama (Kemenag) yang salah satu tugasnya adalah menyusun Kalender Hijriah tunggal. Namun upaya unifikasi Kalender Hijriyah Indonesia tersebut belum terwujud.

Kemungkinan salah satu kendalanya adalah sulitnya menyatukan pendapat di kalangan para ulama dan para ahli ilmu falak atau astronomi. Salah satu hal yang sulit disatukan pendapatnya adalah penetapan kriteria munculnya hilal (wujudul hilal) yang masing-masing organisasi Islam dan para ulama memiliki pendapatnya masing-masing.

Kita berharap suatu saat, kita mampu mencapai Unifikasi Kalender Hijriyah Indonesia yang digunakan umat secara bersama-sama, memperkecil perbedaan pendapat dalam penetapan awal pelaksanaan ibadah puasa, sehingga muslim di kalangan akar rumput merasa tenteram dalam melaksanakan ibadah puasa, tidak merasa bingung dengan perbedaan pendapat yang terus menerus berulang hampir setiap akan melaksanakan puasa Ramadhan yang berimbas kepada penetapan Idul Fithri dan Idul Adha.

Para pemimpin organisasi massa Islam, para ulama, para pakar astronomi diharapkan mampu mengemukakan hasil ijtihadnya dengan mengedepankan kepentingan umat, tidak mengedepankan sikap egois dalam berpendapat. Saling menghargai dalam hal perbedaan pendapat harus dikedepankan, terlebih-lebih jika argumen yang dipakai dalil dalam menetapkan awal puasa Ramadhan berasal dari sumber hukum yang sama.

Menjaga marwah Islam dan umatnya di tengah-tengah gencarnya segelintir orang yang mencoba mengutik-ngutik kemulyaan ajaran Islam mutlak harus diutamakan. Jika kita tidak saling menghargai dalam perbedaan pendapat, apalagi jika saling menghujat, saling menjelekkan antar umat Islam, hal ini akan menjadikan mereka yang selama ini membenci umat Islam “bertepuk tangan”. Mereka merasa senang melihat umat Islam yang semakin tidak bersatu.

Sudah saatnya umat Islam bersikap dewasa dan bijak ketika menghadapi perbedaan yang tidak prinsipil. Kembalikan semuanya kepada sumber yang tidak mungkin salah, yakni Al-qur’an dan sunnah Rasulullah saw yang disertai kelapangan hati untuk menerima perbedaan pemahaman dan penfasiran orang terhadap Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw, selama penfasiran itu tidak keluar dari kaidah-kaidah penafsiran yang disepakati oleh seluruh ulama yang mumpuni di bidangnya.

Bagi orang awam dan tidak memahami ilmu astronomi, dalam hal menyikapi perbedaan pendapat dalam penetapan awal Ramadhan, langkah terbaik adalah mengikuti ketetapan pemerintah yang melakukan ijtihad bersama para pakar ilmu falak, para ahli fikih, dan para pakar lainnya. Keputusan pemerintah setidaknya akan mengurangi ruwetnya perbedaan di kalangan umat.

Kaidah Fiqhiyah menyebutkan, “Keputusan pemerintah bersifat mengikat dan menghilangkan perbedaan” (Imam Ash-Shuyuthi, Al Asybah wa Nadhair fil Furu’, halaman 227, Daar el Kutub Ilmiah, Beirut-Libanon).

Kita, umat Islam akan memiliki marwah, manakala kita mampu hidup bersama di tengah-tengah perbedaan. Dalam hal kebersamaan umat Islam, Muhammad Rasyid Ridha berkata, “Marilah kita bekerjasama dalam masalah-masalah yang kita sepakati, dan saling menghargai perbedaan dalam masalah-masalah yang kita perselisihkan.”

Ilustrasi : Wujudul Hilal (www.Republika.co.id)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image