Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Ilfan Zulfani

Ready Player One, Kritik terhadap Masyarakat Era Absurd

Gaya Hidup | Friday, 25 Mar 2022, 21:00 WIB

Kalau Antum bertanya film apa yang sangat berbekas dalam benak saya tentu saja saya tidak akan menyebut judul film naga-nagaan ala Indosiar. Menyebut itu sama saja dengan meruntuhkan nasib saya di jutaan pembaca tulisan ini (yang kebetulan hanya beberapa orang saja dari jutaan itu yang ditakdirkan bertemu artikel ini). Padahal ya, saya juga dulu penikmat film dengan aktor-aktor yang entah siapa namanya itu, kagak pernah nongol di infotainment.

Saya ulangi ya. Kalau Antum bertanya film apa yang sangat berbekas dalam benak saya, tentu saja saya akan bangga menyebut rentetan nama-nama film berkelas semisal Shutter Island, Shawshank Redemption, 3 Idiots, American Beauty, Mystic River, The Blind Side, Hugo, Coach Carter, Laskar Pelangi dan film-film cukup baru yang juga berkelas seperti Parasite, Knives Out, Perempuan Tanah Jahanam, Jojo Rabbit, Penyalin Cahaya. Masih banyak lagi. Anda tidak akan mendapat jawaban sedikit.

Seharusnya Anda bertanya seperti ini: film apa saja yang saya tidak bosan untuk mengulanginya berkali-kali? Barulah Anda hanya akan mendapat beberapa judul saja, salah satunya yang pasti saya sebut adalah film Ready Player One (2018) yang disutradarai oleh Steven Spielberg.

Ada beberapa sebab mengapa saya suka film ini. Pertama, saya melihat film ini sebagai karya yang memiliki kritik sangat tajam terhadap masyarakat dunia di era sekarang. Kedua, tidak ada. Dan dua hal ini jugalah yang akan menuntun tulisan ini mau kemana (tentu saja bukan mau ke depan Istana Presiden, lagian emang presidennya mau nyamperin? wkwk). Maka, setidaknya ada beberapa hal yang menjadi catatan dari saya terkait film ini. Tentu saja ini menurut saya, Anda tidak perlu mengonfirmasi kepada Spielberg soal kevalidannya.

Pertama, saya mau mengangkat soal OASIS, sebuah dunia realitas virtual yang James Halliday buat bersama temannya yang bernama Ogden Morrow. OASIS adalah tempat bermain game daring simulasi. Di tahun 1945, situasi dunia buruk terjadi seperti kerusuhan dan kekeringan yang amat parah. Penduduk bumi telah berhenti untuk memperbaiki masalah. Maka, OASIS menjadi tempat pelarian banyak orang.

Do you realize something? Ini sebenarnya sama dengan internet pada zaman sekarang. Meskipun kita belum menemukan dunia realitas virtual semacam OASIS yang memungkinkan siapa saja dapat melakukan dan menjadi apa saja. Dalam intensitas yang lebih kecil, fenomena semacam OASIS terjadi di dunia kita. Pakar perilaku bilang bahwa internet telah menjadi dunia lain bagi individu yang “dia menjadi orang lain di sana”, medsos adalah tempat spesifiknya.

Di medsos seperti Instagram, seorang yang sangat kesepian dapat menunjukkan dirinya seperti sangat punya banyak teman lewat foto yang ia kirimkan. Anda juga bisa saja menjadi seolah-olah seorang kutu buku di Instagram, dengan sering mengirimkan foto kutipan-kutipan yang ada dalam buku. Padahal ya Anda baca satu dua halaman saja, langsung sibuk scroll scroll siapa aja yang nge-like atau nge-read kiriman Anda. Absurd tenan! Medsos telah menjadi pelarian dari kepahitan realitas hidup. Sialnya, ada juga yang pahit dalam realita, pahit juga dalam dunia maya (di-bully warganet misalnya). Untuk ada yang begitu, banyak-banyak istighfar!

Kedua, kita akan bicara soal Wade Watts, sang tokoh utama sekaligus si jagoan di film ini. Dia bilang begini di awal-awal film, “These days, reality is a bummer. Everyone is looking for a way to escape.” Akan tetapi, meskipun Wade Watts adalah seorang penggemar fanatik OASIS sekaligus Halliday, Ia adalah karakter yang menyadari banyak hal soal realitas dan fantasi. Wade menemukan cintanya di OASIS, bernama Samantha Cook. Samantha menolak Wade yang hendak menemuinya di dunia nyata. Samantha bilang, Wade akan kecewa kalau melihat wujud aslinya di luar OASIS. Wade bilang kalau dia tidak peduli. Dia menyukai Samantha.

Ya, pada akhirnya mereka bertemu. Samantha ternyata memiliki tanda lahir yang lumayan besar di wajahnya. Dia menutupi tanda lahir itu dengan rambutnya. Terus kata Wade, “You have a birthmark, so what? Why would that scare me?” sambil dengan lembut menyisir rambut Samantha. Cieeee, jatuh cinta berjuta rasanya, biar siang, biar malam, terbayang wajahnya (bacanya pakai nada lagu Titiek Puspa) ~

Pada akhir kisah, Wade memenangkan tantangan yang dibuat Halliday (tantangan muncul setelah Halliday mengumumkan kematiannya) di dalam OASIS yaitu menemukan easter egg yang disembunyikan di dalamnya. Atas dasar itu, Wade punya hak milik penuh atas OASIS, sebuah harta yang tentu saja membuat dia menjadi kaya raya.

OASIS tetap beroperasi. Akan tetapi, Wade membuat ketentuan baru bagi OASIS. Salah satu peraturan tersebut adalah menutup OASIS setiap hari Selasa dan Kamis. Dengan mengutip perkataan Halliday (realitas virtual) yang Wade temui setelah memenangkan tantangan, “Reality is the only thing thats’ real.”, Wade ingin orang-orang menghabiskan waktu yang lebih banyak di dunia nyata.

Ketiga, kita akan membahas si James Halliday. Perlu diakui, akting Marx Rylance betul-betul jago. Rylance berhasil memerankan Halliday sebagai ilmuwan yang betul-betul culun atau nerd. Bicaranya kaku, gesturnya pelan, sorot matanya seperti tak terbiasa berkomunikasi dengan orang lain. Sangat sempurna untuk menunjukkan Halliday sebagai orang yang tidak bahagia hidup di dalam realitas.

Pada bagian akhir ketika Halliday yang berupa realitas virtual menemui Wade sang pemenang, dia bercerita alasannya membuat OASIS, “I... I created the OASIS because I never felt at home in the real world. I just didn’t know how to connect with the people there. I was afraid for all of my life. Right up until the day I knew my life was ending. Now, that... That was when I realized that, as terrifying and painful as reality can be, it’s also the only place that you can get a decent meal. Because reality is real.”

Dengan patah-patah, Halliday menjelaskan bahwa dirinya adalah seorang yang kesepian, alasan mengapa OASIS diciptakan. Tetapi juga dia akhirnya menyadari bahwa bagaimanapun realitas adalah satu-satunya yang nyata, “tempat kita dapat menyantap makanan lezat.”

Ada banyak cerita lain soal Halliday yang kikuk ini. Sepanjang film dan sepanjang Wade berpetualang menemukan easter egg, cerita berlangsung. Tentu saya tidak akan menceritakan seluruhnya, kasian sutradara Spielberg kalau saya sampaikan semua di sini. Tontonlah sendiri.

Ya begitulah, catatan saya soal film ini. Ini bukan review pada umumnya, saya hanya bercerita tentang apa yang menarik bagi saya. Film in menarik bagi saya karena sejatinya adalah alegori kehidupan manusia sekarang. Tentu, ada banyak hal menarik lain soal Ready Player One yang tidak saya ceritakan di sini. Sekali lagi, biar Anda menontonnya sendiri!

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image