Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ikhsan Ababil

Fenomena Klarifikasi di Podcast dan Tantangan Kepercayaan terhadap Institusi

Agama | 2025-12-05 20:59:24

Di Senayan, ruang rapat DPR identik dengan kewibawaan negara: prosedur, pasal, dan tata krama institusional. Namun ketika muncul isu dugaan joget-joget di ruang rapat, klarifikasinya justru tidak datang melalui konferensi pers resmi. Dua anggota DPR, Eko Patrio dan Uya Kuya, memilih tampil di kanal YouTube Denny Sumargo bukan lewat dokumen resmi, bukan lewat juru bicara lembaga, melainkan melalui cerita, ekspresi, dan gestur manusiawi.

Publik pun merasa lebih paham setelah menonton podcast tersebut daripada membaca rilis resmi.

Baru-baru ini, fenomena serupa terulang ketika Zulkifli Hasan Ketua Umum PAN sekaligus Menteri Perdagangan memilih menjelaskan isu-isu sensitif, mulai dari dinamika politik hingga tudingan publik, melalui podcast Denny Sumargo. Lagi-lagi, publik lebih ramai menonton dan membahas versi podcast dibanding tanggapan institusional yang dikeluarkan kementeriannya.

Dari dua kasus itu, pertanyaan yang menggelitik muncul: mengapa kebenaran terasa lebih hidup di podcast dibanding di institusi? Apakah publik kini lebih percaya pada influencer daripada lembaga negara? Atau kita sebenarnya sedang menyaksikan pergeseran yang lebih dalam: dari “validasi hukum” menuju “validasi emosi”?

Fenomena ini kini berulang di banyak konteks. Dari konflik artis, kasus kekerasan, perselingkuhan, hingga dugaan penyalahgunaan wewenang, semakin banyak aktor publik bahkan yang punya akses penuh ke mekanisme formal lebih memilih hadir di podcast ketimbang berbicara lewat panggung resmi.

Podcast bukan ruang sidang. Host bukan pejabat publik. Obrolannya pun tidak tunduk pada prosedur. Namun di sanalah publik menilai karakter, membaca bahasa tubuh, dan memutuskan siapa yang layak dipercaya.

Ini bukan semata soal podcast lebih populer; ini tentang bagaimana kebenaran emosional (feel truth) sering kali terasa lebih meyakinkan dibanding kebenaran prosedural (legal truth).

Institusi Bicara Fakta, Podcast Bicara Manusia

Secara formal, institusi negara memiliki seluruh perangkat untuk menjelaskan kebenaran: konferensi pers, dokumen, rekaman sidang, notulen, hingga mekanisme etik. Semua rapi, terekam, dan valid secara hukum.

Masalahnya, publik zaman sekarang tidak hanya ingin tahu apa yang terjadi. Mereka ingin tahu siapa di balik peristiwa itu.

Mereka ingin melihat ekspresi seseorang ketika menjelaskan kontroversi. Mereka ingin mendengar bagaimana seseorang tertawa canggung atau tampak kesal. Mereka ingin menilai kejujuran bukan dari data, melainkan dari gestur.

Singkatnya :

  • Institusi memberi informasi, Podcast memberi relasi.

Dan dalam ekosistem atensi hari ini, relasi sering terasa lebih penting daripada informasi itu sendiri.

Empat Alasan Mengapa Klarifikasi Pindah ke Podcast

Fenomena ini bukan sekadar tren digital. Ada empat alasan sosiologis yang membuat kursi podcast lebih menggoda daripada podium institusi.

1. Podcast menyediakan ruang cerita

Institusi bekerja dengan dikotomi: benar salah, melanggar tidak melanggar, ada bukti tidak ada bukti. Podcast menyediakan ruang yang lebih lentur: konteks, pengalaman personal, dan sisi manusiawi.

Di institusi, seseorang diperiksa. Di podcast, seseorang didengarkan.

2. Narasi dapat dikendalikan

Dalam forum resmi, figur publik hanya menjawab pertanyaan. Di podcast, mereka bisa mengatur ritme, memilih angle, mengatur gestur, bahkan memutuskan kapan harus tampak humoris atau emosional.

Ini bukan sekadar membela diri ini adalah panggung pembentukan citra.

3. Podcaster menjadi penerjemah emosi

Institusi berbicara dengan logika hukum: pasal, mekanisme, SOP. Publik tidak selalu punya literasi hukum untuk memahaminya.

Host podcast hadir sebagai interpreter sosial menerjemahkan isu rumit ke bahasa emosional yang mudah dicerna.

Denny Sumargo, misalnya, membiarkan tamunya bercerita panjang dengan cara yang lebih raw, lebih “apa adanya”, sehingga publik merasa ikut memahami nuansa emosionalnya.

4. Podcast membangun rasa kedekatan

Kepercayaan institusi lahir dari bukti dan prosedur. Kepercayaan terhadap influencer lahir dari kedekatan.

Publik bisa merasa “kenal” dengan figur publik setelah menonton mereka satu jam bercerita tentang masa kecil, ketakutan, atau kegagalan hidup. Kedekatan semacam ini tidak mungkin terjadi dalam konferensi pers 15 menit.

Krisis Kepercayaan atau Transformasi Cara Mendengar?

Mudah menyimpulkan bahwa fenomena ini adalah bukti menurunnya kepercayaan publik terhadap institusi. Namun mungkin ada keterangannya yang lebih mendalam:

kita hidup di era ketika manusia mendahulukan afeksi daripada prosedur.

Kebenaran tidak lagi hanya diukur dari apa yang akurat, tetapi dari apa yang terasa autentik. Institusi menawarkan akurasi. Podcast menawarkan keaslian.

Dan dalam pertarungan di ruang publik, keaslian sering menang meski belum tentu lebih benar.

Penutup: Pertarungan Legitimasi Baru

Kita sedang memasuki masa ketika kebenaran tidak hanya diproduksi oleh lembaga, tetapi juga oleh narasi personal. Institusi berbicara dengan bahasa kewenangan; podcast berbicara dengan bahasa pengalaman.

Pertanyaannya bukan lagi “mengapa figur publik lebih memilih podcast?”, tetapi:

apakah institusi siap merombak cara komunikasinya, agar masyarakat tetap menemukan sisi manusia dalam lembaga?

Selama institusi hanya berbicara lewat protokol, publik akan terus mencari kebenaran di ruang yang terasa lebih hangat meski tidak selalu lebih akurat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image