Hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Jiwa
Agama | 2022-03-17 11:33:40Dalam percakapan sehari-hari, orang banyak mengaitkan tasawuf dengan unsur kejiwaan dalam diri manusia. Hal ini cukup beralasan mengingat dalam substansi pembahasannya, tasawuf selalu membicarakan persoalan yang berkisar pada jiwa manusia. Hanya saja, jiwa yang dimaksud adalah jiwa manusia muslim, yang tentunya tidak lepas dari sentuhan-sentuhan keislaman.
Dari sinilah tasawuf kelihatan identik dengan unsur kejiwaan manusia muslim. Mengingat adanya hubungan dan relevansi yang sangat erat antara spiritualitas (tasawuf) dan ilmu jiwa, terutama ilmu kesehatan mental, kajian tasawuf tidak dapat terlepas dari kajian tentang kejiwaan manusia itu sendiri.
Dalam pembahasan tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan. Tujuan yang dikehendaki dari uraian tentang hubungan antara jiwa dan badan dalam tasawuf adalah terciptanya keserasian antara keduanya. Pembahasan tentang jiwa dan badan ini dikonsepsikan para sufi dalam rangka melihat sejauh mana hubungan prilaku yang dipraktekan manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu dapat terjadi.
Dari sini baru muncul kategori-kategori perbuatan manusia, apakah dikategorikan sebagai perbuatan buruk atau perbuatan baik. Jika perbuatan yang ditampilkan seseorang adalah perbuatan baik, ia disebut orang yang berakhlak baik. Sebaliknya, jika perbuatan yang ditampilkannya jelek, ia disebut sebagai orang yang berakhlak buruk. Dalam pandangan kaum sufi, akhlak dan sifat seseorang bergantung pada jenis jiwa yang berkuasa atas dirinya. jika yang berkuasa adalah nafsu insani, yang tampil adalah prilaku insani pula.
Kalau para sufi menekankan unsur kejiwaan dalam konsepsi tentang manusia, berarti bahwa hakikat, zat dan inti kehidupan manusia terletak pada unsur spiritual dan kejiwaannya. Ditekankannya unsur jiwa dalam konsepsi tasawuf tidaklah berarti bahwa para sufi mengabaikan unsur jasmani manusia.
Unsur ini juga mereka pentingkan karena rohani sangat memerlukan jasmani dalam melaksanakan kewajibannya beribadah kepada Allah dan menjadi khalifah-Nya di muka bumi. Seseorang tidak akan mungkin sampai kepada Allah dan beramal dengan baik dan sempurna selama jasmaninya tidak sehat. Kehidupan jasmani yang sehat merupakan jalan kepada kehidupan rohani yang baik.
Pandangan kaum sufi mengenai jiwa berhubungan erat dengan ilmu kesehatan mental, yang merupakan bagian dari ilmu jiwa (psikologi). Ahli-ahli di bidang perawatan jiwa, terutama di negara-negara yang telah maju, memusatkan perhatiannya pada masalah mental sehingga mampu melakukan penelitian-penelitian ilmiah yang menghubungkan antara kelakuan dan keadaan mental.
Mereka telah menemukan hasil-hasil yang memberikan kesimpulan tegas, yang membagi manusia menjadi dua golongan besar, yakni golongan yang sehat dan golongan kurang sehat. Orang yang sehat mentalnya adalah orang yang mampu merasakan kebahagiaan dalam hidup. Orang-orang inilah yang dapat merasakan bahwa dirinya berguna, berharga dan mampu menggunakan segala potensi dan bakatnya semaksimal mungkin dengan cara yang membawa dirinya dan orang lain pada kebahagiaan.
Di samping itu, ia mampu menyesuaikan diri dalam arti yang luas sehingga terhindar dari kegelisahan dan gangguan jiwa, dan moralnya pun tetap terpelihara. Pada perilaku yang sehat mental tidak akan tampak sebuak sikap yang ambisius, sombong, rendah diri dan apatis. Sikapnya terkesan wajar, menghargai orang lain, merasa percaya kepada diri dan selalu gesit. Setiap tindak-tanduknya ditujukan untuk mencari kebahagiaan bersama, bukan kesenangan dirinya sendiri.
Kepandaian dan pengetahuan yang dimilikinya pun digunakan untuk menfaat dan kebahagiaan bersama. Kekayaan dan kekuasaan yang ada padanya bukan untuk bermegah-megah dan mencari kesenangan sendiri, tanpa mengindahkan orang lain, tetapi digunakan untuk menolong orang miskin dan melindungi orang lemah. Sebaliknya, golongan yang kurang sehat mentalnya sangat luas, mulai yang paling ringan sampai yang paling berat. Dari orang yang yang merasa terganggu ketentraman hatinya sampai orang yang sakit jiwa.
Berbagai penyakit tersebut sesungguhnya akan timbul pada diri manusia yang tidak tenang hatinya, yakni hati yang jauh dari Tuhannya. Ketidak tenangan itu akan memunculkan penyakit mental, yang pada gilirannya akan menjelma menjadi perilaku yang tidak baik dan menyeleweng dari norma-norma umum yang disepakati. Harus diakui, jiwa manusia seringkali sakit. Ia tidak akan sehat sempurna tanpa melakukan perjalanan menuju Allah dengan benar. Jiwa manusia juga membutuhkan prilaku (moral) yang luhur sebab kebahagiaan tidak akan dapat diraih tanpa akhlak yang luhur, juga tidak dapat menjadi milik tanpa melakukan perjalanan menuju Allah.
Bagi orang yang dekat dengan Tuhannya, kepribadiannya tampak tenang dan prilakunya pun terpuji, semua ini bergantung pada kedekatan manusia dengan Tuhannya. Pola kedekatan manusia dengan Tuhannya inilah yang menjadi garapan dalam tasawuf. Dari sinilah tampak keterkaitan erat antara ilmu tasawuf dan ilmu jiwa atau ilmu kesehatan mental. (Red/Rb).
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.