Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Edu Sufistik

Mengenal Pesantren Lebih Dekat

Agama | 2025-10-22 14:14:45

Oleh: Muhammad Syafi’ie el-Bantanie

(Founder Edu Sufistik)

Dalam tradisi keilmuan pesantren, guru-guru kami mengajarkan jika mau mengkritik sesuatu, pastikan kalian sudah mempelajari dan mendalaminya. Sehingga, kritikmu objektif dan berbasis ilmu pengetahuan. Semasa menempuh studi keislaman di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, saya kemudian berkenalan dengan Imam Al-Ghazali. Seorang ulama, pemikir, cendekiawan, filosof, dan sufi. Dunia Islam menggelarinya dengan hujjah al-Islam dan gelar-gelar lainnya yang menunjukkan kapasitas keilmuannya pada multi disiplin ilmu.

Kita mesti belajar dari Imam Al-Ghazali. Sebelum mengkritik filsafat, Imam Al-Ghazali mendalami dan menekuni filsafat. Kemudian, Imam Al-Ghazali mengkritik filsafat secara elegan dan bekelas dengan menulis kitab tahafut al-falasifah. Inilah teladan dari dunia pesantren. Dalam dunia pesantren, berbeda pendapat dan berdebat secara ilmiah itu biasa. Catatannya berbasis ilmu pengetahuan.

Beberapa waktu lalu, kita ditampilkan dengan tayangan tidak bermutu sebuah stasiun televisi yang meliput sebuah pesantren. Siapapun yang berpikir jernih dan bernalar lurus akan menilai itu tayangan receh, framing, tidak berbasis riset, dan ilmu pengetahuan yang benar.

Bagaimana mungkin reporter yang tidak pernah mesantren, dekat dengan kehidupan pesantren, ngunduh ilmu dari kyai, tetiba membuat tayangan tentang pesantren hanya berdasarkan liputan sesaat dan singkat. Dalam dunia ilmiah, seorang peneliti sampai harus tinggal bertahun-tahun bersama masyarakat yang menjadi objek penelitiannya untuk mendapatkan data yang objektif.

Sebagai contoh, Martin Van Bruinessen rela tinggal puluhan tahun di Indonesia untuk meneliti Islam dan dunia pesantren di nusantara. Barulah kemudian dia menulis buku yang kemudian terkenal, berjudul Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat.

Karena itu, mari kita belajar objektif dalam memandang dan menilai sesuatu. Jika Anda tidak pernah mesantren, tidak pernah dekat dengan kehidupan pesantren, tidak pernah belajar kepada kyai, lebih baik diam. Jangan sok pintar mengomentari pesantren, apalagi sampai memberikan penilaian terhadap pesantren. Anda akan terlihat bodohnya.

Banyak hal dalam dunia pesantren yang tidak kasat mata. Dalam sebuah kesempatan seminar internasional tentang Pendidikan Islam, Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi berujar, “Too many thing can’t write about pesantren.”

Ia hanya bisa dirasakan dengan menyelami dan menghayati kehidupan di dalamnya secara langsung dan intensif. Misalnya, ikatan batin antara kyai dan para santrinya. Saya haqqul yaqin ikatan batin antara kyai dan santrinya tidak sama dalamnya dengan ikatan antara guru dan muridnya dalam sekolah formal. Dalam tradisi pesantren, kyai bukan semata transfer ilmu pengetahuan kepada para santrinya, melainkan juga transfer kualitas ruhani. Salah satu jalannya dengan khidmah kepada kyai.

Sebenarnya, tradisi khidmah kepada guru (baca: kyai) berakar dari tradisi Islam sejak masa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam. Kita membaca dari literatur orangtua Anas bin Malik menitipkannya kepada Rasulullah untuk berkhidmah saat Anas bin Malik berusia sepuluh tahun. Dari sinilah Anas bin Malik memperoleh banyak keberkahan. Salah satunya menjadi perawi hadis terbanyak ketiga setelah Abu Hurairah dan Abdullah bin Umar.

Konsep pembelajaran tuntas yang kemudian diadaptasi dalam sekolah formal juga berasal dari tradisi pesantren. Dalam sistem pesantren yang murni, seorang santri tidak diizinkan naik mengkaji kitab level selanjutnya sebelum dinyatakan tuntas mempelajari kitab dasar. Misalnya, dalam bidang tata Bahasa Arab, seorang santri harus tuntas dulu mengkaji kitab al-ajurumiyah, baru bisa melanjutkan mempelajari kitab mutammimah al-ajurumiyah atau alfiyah Ibnu Malik.

Dengan model pembelajaran seperti ini, maka naik tingkat dan kelulusan santri tidak sama. Seorang santri yang cepat capaian belajarnya bisa selesai dan lulus lebih dulu daripada santri lainnya. Barangkali model pembelajaran khas pesantren ini kemudian diterapkan utuh dalam jenjang perguruan tinggi dengan sistem kredit semester (SKS).

Selain pada tradisi ilmu pengetahuan, pesantren juga menjadi model dalam proses internalisasi iman, penanaman akhlak, dan peran kehidupan. Pesantren adalah miniatur kehidupan sosial kemasyarakatan. Para santri belajar kehidupan sosial secara riil selama 24 jam sehari semalam. Pada aspek pengembangan diri secara individual, para santri belajar kemandirian, kedisiplinan, manajemen waktu, dan ketekunan. Pada aspek pengembangan diri secara sosial, para santri belajar berorganisasi dan kepemimpinan.

Dalam dunia pesantren, kyai menjadi figur dan teladan para santri. Poin ini terkadang yang sulit sekali didapatkan dalam dunia sekolah formal. Dalam kesehariannya, kyai lebih dari sekadar menerapkan standar fiqh, melainkan akhlak. Karena, di atas fiqh ada akhlak. Sebagai contoh, dalam hal berpakaian, kyai menunjukkan muru’ah, bukan sebatas memenuhi standar fiqh.

Kyai kami pernah menasihati, “Kamu jadi ustadz itu yang wara’. Jangan keluar rumah menggunakan kaos. Jangan mengimami shalat mengenakan kemeja lengan pendek. Itu nggak pantes.”

Dalam dunia pesantren, para santri terbiasa hidup bermasyarakat. Pada pesantren salafiyah, para santri terbiasa mendampingi kyai menghadiri kegiatan-kegiatan keislaman, seperti peringatan Maulid Nabi dan tahlilan. Dari sini para santri melihat langsung bagaimana kyai-nya berinteraksi dan berbaur dengan masyarakat.

Sementara itu, kita mendapati pada sekolah formal, ada guru yang terasing dari masyarakatnya. Tidak terlihat shalat berjama’ah di masjid. Tidak terlihat saat ada kerja bakti warga jelang Ramadhan. Pada sistem sekolah formal, guru semisal itu tidak memperoleh sanksi. Ia tetap bisa mengajar di sekolahnya. Jangan coba-coba hal yang sama dilakukan oleh guru di pesantren.

Pesantren adalah aset penting dan berharga bangsa dan negara Indonesia. Emha Ainun Najib, yang akrab disapa Cak Nun, di hadapan ribuan jama’ah di Pondok Pesantren Al-Qur’an Al-Muayyad Al-Maliky, Kudus, pada selasa 5 Desember 2017, pernah berujar,

“Indonesia akan kuat dengan pesantren. Pendidikan pesantren merupakan warisan para wali yang menyebarkan Islam di nusantara. Ilmu-ilmu yang diajarkan telah membentuk karakter bangsa ini. Kita jangan minder dengan Barat. Dunia akan berkiblat ke pesantren.”

Selamat Hari Santri Nasional, 22 Oktober 2025. Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image