Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Aisiyah Afifah

Kerlip Mutiara di Zaman yang Berlumpur

Agama | Wednesday, 16 Mar 2022, 17:20 WIB
Sumber Gambar: 7083c930062cb1eecdd11f1099012baf

Muslimah, identitas yang diberikan oleh Allah ‘azza wa jalla untuk setiap wanita di muka bumi ini. Wanita, adalah pemegang ujung tombak generasi penerus bangsa di masa mendatang. Dari Rahim merekalah lahir para mujahidin dan mujahidat yang bermartabat dan berkarakter dengan kepiawaian bimbingan madrasah uula. Seiring berkembangnya zaman, peran muslimah semakin berat dengan meningkatnya syubhat dan fitnah dimana-mana. Muncul berbagai ideologi dan gerakan sosial yang digemborkan atas nama pembelaan terhadap wanita, salah satunya, feminism. Didefinisikan bahwasannya ia adalah bentuk kesetaraan gender antara wanita dan pria di lingkup politik, ekonomi, dan sosial. Hingga, hal ini menjadi bentuk hancurnya batas-batas pembeda antara dua gender dalam peran mereka di masyarakat. Namun dengan demikian, tidak menjadikan tabiat mereka sama, karena pada dasarnya mereka adalah dua makhluk dengan fitrah berbeda yang diciptakan oleh Allah untuk mewarnai perbedaan di dunia ini.

Kini, wanita sibuk mencari pekerjaan untuk menggantikan posisi suami sebagai penanggung jawab keluarga. Tidak sedikit dari mereka yang akhirnya rela membiarkan anak-anaknya dibimbing oleh tangan perempuan lain, meskipun kenyataannya dialah murobbiyah yang diperlukan oleh tangan mungil yang merindu kasih sayang seorang ibu. Wanita yang menjadi ibu rumah tangga seperti tidak memiliki tempat istimewa di mata masyarakat, dengan alasan tidak dapat menghasilkan uang. Padahal, materi akan habis dimakan oleh waktu, tidak dengan tangan kecil yang akan mebuka gerbang keemasan untuk Indonesia.

Contohnya, anak yang lahir dari keluarga terpandang dan kaya raya tetapi kedua orang tuanya sibuk bekerja dengan alasan untuk membahagikan dirinya dimasa yang akan datang, ia selalu merindukan peran keduanya. Sehingga, ketika ia terbangun dari tidurnya, dua manusia itu telah pergi ke kantor masing-masing. Lalu, ketika ia pulang dari sekolah, tidak di dapati wujud mereka di dalam rumah yang megah dan mewaah, namun tidak ada tanda kehidupan disana. Kira-kira apa yang terpikirkan di benaknya? Dan bagaimana ia menganggap arti keluarga dan masa depan?

Berbeda dengan anak yang dibesarkan dengan ikhlas oleh kedua orang tuanya , meskipun ia tidak lahir dari keluarga yang berada dan kekayaan yang berlimpah, tetapi hidupnya di penuhi cinta dan kasih sayang dari mereka. Ya, ibunya memang hanyalah ibu rumah tangga, tetapi ia dibimbing mengenai tauhid yang benar olehnya, diperkenalkan tentang Allah dan rasul-rasul-Nya, mengenai sopan santun terkait bagaimana bersikap di depan orang yang lebih dewasa darinya, dan diajarkan untuk menghafalkan Al-Qur’an sejak dini. Hal inilah yang menjadikan ia menjadi orang yang taat dan takut akan adzab Allah. Dimulai dari pondasi agama lalu dibangunlah tiang-tiang pelajaran kehidupan untuknya. Meskipun, perubahan sikap dan kepribadian anak ini akan terpengaruhi oleh lingkungan yang dia tempati, setidaknya dia sudah memiliki bekal dari sang ibu, yang selalu ada di sisinya untuk terus menasihati dan membimbingnya tanpa pamrih, harap balas jasa. Seperti inilah pentingnya keberadan wanita. Tidak melihat di zaman apa kita hidup, wanita akan selalu dibutuhkan untuk mencerdaskan anak bangsa setiap calon pemuda dan pemudi.

Ya, jika menyebutkan tentang zaman, tidak ada salahnya untuk kembali menengok masa lalu demi mempelajari hal yang pernah terjadi disana. Mari mengulas kembali kisah Hafsah binti ‘Umar radiyallahu ‘anha . Jika kita menyebut narna Hafshah radiyallahu ‘anha, ingatan kita akan tertuju pada jasa-jasanya yang besar terhadap kaum muslimin saat itu. Dialah istri Nabi yang pertama kali menyimpan Al-Qur’an dalam bentuk tulisan pada kulit, tulang, dan pelepah kurma, hingga kemudian menjadi sebuah kitab yang sangat agung. Mushaf asli Al-Qur’an itu berada di rumah Hafshah hingga dia meninggal.

Hafshah adalah putri ‘Umar bin al-Khattab radiyallu ‘anhu, seorang Amirul Mukminin yang pemberani. Nama lengkap dengan nasabnya adalah Hafshah binti ‘Umar bin Al-Khatthab bin Nufail bin Nufail bin ‘Abdil ‘Uzza bin Rabah bin ‘Abdillah bin Qurth bin Razah bin ‘Adi bin Ka’ab bin Lui bin Ghalib Al-Qurasyi Al-‘Adawi. Ibunya adalah Zainab binti Mazh’un bin Hubaib bin Wahb bin Hudzafah bin Juma’, ibunya adalah saudara dari ‘Utsman bin Mazh’un. Ia dilahirkan lima tahun sebelum Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam diutus menjadi Rasul, tahun itu pula sangat terkenal dalam sejarah orang Quraisy, yaitu ketika Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memindahkan Hajar Aswad ke tempatnya semula setelah Ka’bah dibangun kembali akibat roboh karena banjir.

Hafshah radiyallahu ‘anha tidak termasuk ke dalam golongan assaabiqiina alwwaliin, karena di awal penyebaran Islam, ayahnya, Umar bin al-Khattab radiyallahu ‘anhu, masih menjadi musuh besar umat Islam. Hingga suatu hari, Allah menjawab do’a Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta cahaya hidayah antara ‘Umar bin al-Khattab radiyallahu ‘anhu dan Abu Jahl. Ternyata, Umar radiyallahu ‘anhu lah yang dipilih oleh Allah ‘azza wa jalla untuk bisa menikmati manisnya syahadat dan hidup sebagai sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah menyatakan keislaman, Umar bin Khattab segera menemui sanak keluarganya untuk mengajak mereka memeluk Islam. Seluruh anggota keluarga menerima ajakan Umar, termasuk di dalamnya Hafshah yang ketika itu baru berusia sepuluh tahun.

Dalam soal keberanian, dia berbeda dengan wanita lain, kepribadiannya kuat dan ucapannya tegas, seperti ayahnya. Kelebihan lain yang dimiliki Hafshah radiyallahu ‘anha adalah kepandaiannya dalarn membaca dan menulis, padahal ketika itu kemampuan tersebut belum lazim dimiliki oleh kaum perempuan. Sifat tegasnya ini harus di pegang teguh oleh para muslimah di zaman ini, karena banyak dari mereka yang justru jatuh dalam perbuatan zina dan melupakan muru’ahnya. Tegas dalam menolak untuk melakukan pergaulan bebas, dan berani untuk memperingati kerabat atau teman yang sudah terlihat terpengaruh oleh orang disekitarnya untuk menjeburkan diri dalam lubang kesesatan, dengan alasan hanya sekedar have fun menikmati masa muda seperti di novel Dilan. Padahal, wanita seperti gelas kaca, yang jika retak atau pecah tidak akan bisa kembali seperti semula. Hancur, terabaikan. Semua pilihan ada ditanganmu, ingin menjadi wanita yang terpandang dan pandai menjaga diri atau menjadi yang merugi di kemudian hari nanti.

”Lalu, bagaimana ia akan mendapatkan jodoh, jika dekat dengan laki-laki saja dilarang dalam agama?” Pertanyaan ini selalu terlontar dibalik banyaknya alasan untuk tetap mengedepankan syahwat dibandingkan agamanya. Memang, di usia remaja, hasrat untuk memiliki teman laki-laki sedang sangat membuncah, namun tidak ada salahnya untuk berpikir sebelum berbuat. Menimbang berapa banyak mudhorot yang akan dia dapatkan jika rasa malunya perlahan memudar hanya untuk mengejar cinta buta. Berapa banyak waktu, uang, dan tenaga yang ia keluarkan hanya demi melihat senyumannya yang tidak akan membuatnya kenyang. Tidakkah semua itu sia-sia? Alangkah baiknya jika ia melakukan hal yang dapat mendekatkannya kepada Sang Pemilik hati manusia. Bagaimana mungkin, ia bisa ragu kepada takdir Allah yang sudah dituliskan di lauh mahfudz dan ia mencintai hamba melebihi pencipta-Nya.

Mari kembali melihat sosok Hafsah radiyallahu ‘anha, gadis sholihah yang saat itu masih berusia belasan tahun dan menjaga kehormatannya, akhirnya menikah dengan seorang pemuda bernama, Khunais bin Hudzafah bin Qais radiyallahu ‘anhu, sahabat Rasulullah yang masuk islam di awal dakwah islam dengan ajakan Abu Bakr radiyallahu ‘anhhu. Lihatlah, Keduanya tentu tidak pernah menjalin hubungan ‘pacaran’ yang dilakukan oleh banyak remaja saat ini, apalagi menghabiskan waktu hanya untuk saling bertukar pesan berisi janji manis yang tak bertanggung jawab. Namun Hafsah radiyallahu ‘anha, dengan ketaatannya kepada Sang Khalik, Allah ‘azza wa jalla pertemukan mereka dalam ikatan janji suci yang tidak melanggar syari’at islam. Saling melengkapi dan menyempurnakan kekurangan masing-masing dalam bahtera berlayar yang bernama rumah tangga. Maka, tak perlu risau perihal jodoh, semua sudah diatur oleh Pemilik alam semesta, jika mendambakan pendamping yang baik, maka diri ini pula meski menjadi baik, seperti pantulan diri yang kau lihat dari kaca rumahmu, Allah ‘azza wa jalla telah mengatakan :

وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

"Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir." (Qur’an Surah Ar-rum : 21)

Setelah pernikahan mereka, Khunais radiyallahu ‘anhu ikut serta dalam peperangan pertama antara umat Islam dan kaum musyrik Quraisy, Perang Badar. Dalam peperangan ini, dia mengalami luka yang cukup parah. Meskipun begitu, Hafshah radiyallahu ‘anha senantiasa berada di sisinya dan mengobati luka yang dideritanya, namun Allah berkehendak lain. Ia memanggil suaminya sebagai syahid dalam peperangan pertama melawan kebatilan dan kezaliman kaum kafir, sehingga akhirnya Hafshah radiyallahu ‘anha menjadi janda. Ketika itu usianya baru delapan belas tahun, namun ia telah memiliki kesabaran seluas samudera atas cobaan yang menimpanya.

Tak ada yang pernah tau apa yang akan terjadi padamu setelah detik ini, semua qoddarullah wa ma sya’a fa’ala . Entah itu takdir baik maupun buruk, memang seperti inilah kehidupan. Tatkala ujian menimpa, dibutuhkan hati yang lapang dan kesabaran tiada habisnya. Namun, jangan dulu membuat diri ini untuk berburuk sangka, Rabb-mu tidak akan menguji seseorang melebihi kesanggupannya, seperti yang telah Allah ‘azza wa jalla katakan dalam Al-Qur’an :

لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا

”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (Qur’an Surah Al-Baqarah:286).

Setelah suaminya wafat, Ayahnya, Umar radiyallahu ‘anhu berusaha untuk menawarkan putrinya kepada Abu Bakar dan Utsman bin ‘Affan radiyallahu ‘anhuma. Ketika Hafshah radiyallahu ‘anha menjanda, ayahnya mencarikan laki-laki terbaik di sekelilingnya untuk dijodohkan dengan anaknya. Ia berusaha menjodohkan putrinya dengan orang-orang terbaik setelah para nabi, Abu Bakar radiyallahu ‘anhu. Tapi Abu Bakar radiyallahu ‘anhu tak memberi tanggapan. Kemudian ia dekati laki-laki yang malaikat pun malu padanya, Utsman bin Affan radiyallahu ‘anhu, tapi ia juga tak merespon seperti yang ayahnya harapkan. Ternyata, Allah telah menyiapkan laki-laki yang jauh lebih baik dari keduanya, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang akhirnya menikahi Hafshah pada tahun 3 Hijriyyah dengan mahar sebesar 400 dirham.

Setelah Umar menikahkan Hafshah, Abu Bakar menemuinya dan menyampaikan alasan dengan mengatakan,

فإنه لم يَمْنَعْنِي أَنْ أَرْجَعَ إليك فيما عرضْتَ عليَّ إلا أني كنتُ علمْتُ أَنَّ رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قد ذكرَها ، فلم أَكُنْ لأُفْشِي سرَّ رسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، ولو تركَها رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم قبلْتُهَا.

“Jangan kesal kepadaku, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebut nama Hafshah. Aku tidak mau mengungkapkan rahasia beliau. Dan seandainya beliau meninggalkannya, niscaya aku menikahinya.” (Hadits Riwayat Bukhari, no. 5122).

Jadi, tak perlu bagimu mencari alasan untuk berdekatan dengan lawan jenis yang dinamakan pacaran syar’i atau ta’aruf panjang tanpa mahram, dengan dalih ingin mencari pasangan yang pas untuk menjadi teman hidup. Tidak, ini adalah cara yang salah. Jika ingin saling mengenal dengan orang yang kau cintai, maka katakanlah ini kepada ayahmu atau walimu yang akan bertanggung jawab kelak untuk menuntunmu menuju jenjang kehidupan selanjutnya. Ia pasti akan memilihkan yang terbaik untukmu, melihat dari berbagai sisi dan pertimbangan. Karena ia tahu, setelah ini, kau akan mengemban tanggung jawab besar sebagai istri setelah memulai lembaran hidup baru bersama orang yang nantinya akan menjadi suamimu. Tapi ketahuilah, ayahmu hanyalah manusia biasa, mereka bisa berencana tapi Allah penentu setiap rencana. Kamu muslimah, Allah memeberikan batasan bukan untuk mengekangmu, melainkan untuk menjagamu.

Perlu diketahui, bahwasannya lelaki sejati tidak akan datang kepadamu dan mengajakmu berkhalwat, melainkan ia akan menemui ayahmu untuk berani menjadi potret calon suami ideal bagimu nantinya. Ia yang berani mengambil tanggung jawab besar dan ingin membina rumah tangga sukses di dunia maupun akhirat kelak.

Dalam perjalanan mengarungi bahtera rumah tangga dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tercatat sebuah kisah bersejarah yang tertulis dalam Kalamullah di surat At-tahrim ayat satu. Suatu ketika, pernah terjadi peristiwa lain yang menyebabkan kesalahpahaman antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Hafshah radiyallahu ‘anha, disebabkan sebuah rasa kecemburuan. Kejadian itu terjadi saat Hafshah radiyallahu ‘anha melihat Mariyah al-Qibtiyah, seorang budak perempuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menemuinya karena suatu urusan. Mariyah berada jauh dari masjid, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhnya masuk ke dalam rumah Hafshah radiyallahu ‘anha yang ketika itu sedang pergi ke rumah ayahnya, dia melihat tabir kamar tidurnya tertutup, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Mariyah berada di dalamnya. Melihat kejadian itu, amarahnya meledak. Ia menangis penuh amarah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berusaha membujuk dan meredakan amarahnya, bahkan beliau bersumpah mengharamkan Mariyah baginya, kemudian Allah pun menurunkan ayat :

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ تَبْتَغِي مَرْضَاةَ أَزْوَاجِكَ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qur’an Surah At-Tahrim: 1).

Ini merupakan hal yang wajar jika istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa cemburu terhadap Mariyah, karena dialah satu-satunya wanita yang melahirkan putra Rasulullah setelah Siti Khadijah radhiyallahu ‘anha.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sempat menalak Hafshah radiyallahu ‘anha, dan kembali rujuk bersamanya. Setelah itu, diketahui bahwasannya ia akan menjadi istri Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di surga-Nya kelak.

Tapi ini bukan hanya tentang kecemburuan, melainkan ada hikmah yang bisa kita petik di dalamnya, kecemburuan yang terbesit dalam hatinya adalah tanda bahwa ia mencintai Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam. Buktinya adalah, ia selalu mencari ridha Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjalankan apa yang ia inginkan, juga menjauhi apa yang ia benci. Hafshah radiyallahu ‘anha tidak pernah patah semangat dalam upaya membahagiakan dan menggembirakan suaminya. Setiap kali di samping Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia selalu manfaatkan ini untuk semakin mendekat dan mendekat lagi kepada Allah ‘azza wa jalla. Ia mempelajari semua bentuk ketaatan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mendekatkannya kepada Allah.

Ya, seperti inilah pasang surut kehidupan rumah tangga, tak selamanya semua berjalan dengan mudah dan menyenangkan. Tak dipungkiri, bahwa pernikahan bukanlah hanya tentang manis, tentu ada pahit di dalamnya. Jika diibaratkan cuaca, tentu bumi akan banjir jika tak ada musim panas terik yang menyengat kulit, seperti itu pula sebuah rumah tangga. Tentu, tidak akan sempurna tanpa adanya masalah yang akan mendewasakan dua insan ini.

Jangan jadikan patokan bahwa setelah menikah, kau akan berhenti untuk belajar, tidak. Bahkan setelah menikah, akan ada banyak pelajaran yang harus kau ambil darinya. Karena pelajaran tidak hanya kita dapatkan dari buku-buku yang gurumu jelaskan di depan kelas, tetapi dari semua hal yang terjadi dalam kehidupan, dari yang kecil sampai yang besar, yang biasa maupun yang luabiasa.

Kembalikanlah semuanya kepada Rabb-mu, semua sudah diatur oleh Allah ‘azza wa jalla dengan sebaik-baik skenario yang akan kau perankan di dunia ini. Jadillah wanita muslimah sejati yang tak berubah mengiringi waktu dan perkembangan zaman, tapi ia yang mengendalikan waktu untuk bisa memnafaatkannya dan mengambil pelajaran darinya. Menjadi muslimah di zaman ini bak kerlip mutiara diantara lumpur yang penuh dengan intrik dan kebodohan yang merajalela.

Semoga sepenggal kisah dari Hafshah radiyallahu ‘anha ini dapat membuat kita sadar betapa pentingnya untuk menjadi muslimah yang cerdas dengan ilmu agama. Berpegang teguh diatas sunnah meski kerap kali dicaci dan di anggap aneh dihadapan khalayak umum. Teruslah berproses tuk menjadi pribadi yang lebih baik. Memperbaiki diri yang jauh dari definisi baik, bukan untuk mencari nama diantara penduduk dunia, melainkan agar nama ini menjadi terkenal di atas penduduk langit, aamiin.

Sumber :

https://www.harapanrakyat.com/2020/05/kisah-sayyidah-hafshah-binti-umar-sebagai-istri-rasulullah-saw/, diakses pada 03 Maret 2022 pukul 14.00.

https://rumaysho.com/18647-istri-nabi-hafshah-binti-umar.html, diakses pada 03 Maret 2022 pukul 14.00.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image