
Yuk, Bertransformasi Menjadi Muslimah Berpemikiran Tangguh
Eduaksi | Tuesday, 15 Mar 2022, 07:46 WIB
Selayang Pandang
Apa yang terlintas dalam benak kalian ketika ditanya terkait generasi pemuda khususnya muslimah sekarang. Apakah mereka sedang baik – baik saja? Jawabannya, tentu bergantung banyak hal. Misal nih ya, dari kacamata pendidikan, kemajuan para muslimah amatlah mentereng. Di abad 20 ini, telah banyak temuan fakta menggembirakan dari kalangan mereka.
Ada yang jadi founder lembaga pendidikan, politisi, ilmuwan bahkan posisi penting dalam negeri sekalipun. Jabatan – jabatan penting semacam itu, pasti tak mungkin didapat hanya dengan intelektualitas versi standar ya Gais. Pasti para muslimah tersebut juga cerdas. Nah, idealnya, kecerdasan serta kualitas intelektual generasi yang advanced tersebut, akan menjadikan tingkat kepribadian mereka lebih unggul.
Namun nyatanya tidak demikian. Dalam banyak fakta, banyak ditemukan beragam problem kehidupan. Mulai dari degradasi moral, pergaulan bebas bahkan menggadaikan keimanan. Bisa jadi salah satu pemicunya, lantaran karena kelalaian generasi muslimah dalam menyerap berbagai pemikiran yang ada. Mempelajari sebuah hal baru memang tidak salah, bahkan sebuah keharusan. Supaya akal senantiasa update dengan hal baru. Hanya saja, mengimplementasikan suatu pemikiran yang tak jelas asal – usulnya dapat mengakibatkan kerusakan bahkan menggerogoti serta mematikan keimanan. Salah satu pemikiran yang ramai digandrungi para generasi muslimah jaman sekarang yakni pemikiran ala – ala feminisme. Tafsirannya pun datang dalam berbagai banyak versi bahkan yang kategori Islam juga ada.
Sederhananya, belajar feminisme tentu bermuara pada perjuangan mempertahankan hak – hak para perempuan. Awalnya memang tak banyak yang menghiraukan, namun ketika mulai menjadi opini dan senantiasa tersampaikan, lama-kelamaan pasti akan menjadi suatu kebenaran. Apalagi bila penyebarannya sampai terorganisir dan masuk dalam berbagai ruang penyampaian publik.
The Hidden Truth
Dalam banyak literatur sejarah, kondisi perempuan memang tak pernah membaik. Sedangkan yang namanya suatu kehidupan, pasti tidak akan pernah statis. Begitu juga dengan masalah tersebut, dimana awalnya para korban hanya berdiam, lambat laun menjadi besar tatkala sudah banyak yang menjadi korban. Sehingga, pada beberapa momen penting, ketidakadilan dan diskriminasi yang dialami perempuan mulai diperdengarkan. Sebut saja salah satu momen yang bahkan diperingati secara massal sekarang, yakni momen International Women Day pada tanggal 8 Maret. Di tanggal tersebut, seorang aktivis perempuan bernama Clara Zetkin berusaha untuk menyuarakan hak perempuan. Sebab Ia memahami bahwa banyak hak perempuan tak terpenuhi. Bahkan sebagian besar para kaum perempuan di tahun – tahun sebelumnya dilecehkan sebab tak terjaganya kemuliaan.
Dalam aksi tersebut terdapat banyak para pendemonstran perempuan yang dengan sengaja mempertontonkan diri di hadapan publik sebagai wujud ekspresi diri. Tak tanggung – tanggung, bahkan ada sebagian dari mereka yang menampilkan hal yang tak seharusnya mereka tampilkan. Hal tersebut mereka lakukan lantaran tak puas dengan kinerja sebagian pejabat yang telantarkan hak perempuan. Bahkan jaman tersebut terang – terangan menunjukkan bahwa kedudukan perempuan amatlah buruk dan berada di level bawah. Kegersangan hidup yang dialami perempuan, terakumulasi menjadi keberanian yang matang. Sehingga terbentuklah sekelompok perempuan yang gemar untuk membela hak kaum perempuan sesamanya. Salah satunya yakni dengan menghadirkan pemikiran feminisme.
Feminisme, dapat diberi pengertian sebagai "Suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja, dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut (Kamla Bashin dan Nighat Said Khan 1995). Dimana ide tersebut merupakan sebuah pemikiran yang timbul sebagai akibat dari adanya permasalahan di kalangan perempuan. Ide ini pada awalnya muncul sebagai gerakan perlawanan terhadap sistem yang berlaku tidak adil terhadap perempuan. Pengusung yang meneriakkan feminisme berpendapat bahwasannya nasib perempuan harus diperbaiki supaya mendapatkan kesetaraan dengan laki- laki. Sejarah mencatat bahwa gaung Feminisme lahir pada abad 19 di Eropa Barat yang sedang menerapkan sistem dimana pemilik modal adalah kekuasaan tertinggi alias Kapitalisme. Hanya saja, kala itu persebaran isu dan segala pemikiran antar luar negeri tak secanggih akses yang ada dalam genggaman sekarang.
Salah satu jalan yang menjadi pintu gerbang ide ini meluas yaitu semenjak PBB mencanangkan Dasawarsa I untuk Perempuan pada tahun 1975- 1985. Sejak itu, isu- isu keperempuanan mewabah dalam berbagai bentuk forum baik di tingkat internasional, nasional, regional, maupun lokal. isu keperempuanan yang banyak didominasi dengan permasalahan perempuan tak mendapat perlakuan semestinya, maupun hak yang jarang terpenuhi oleh negara itu sendiri pun ikut digaungkan. As is known to all, keberpengaruhan lembaga tertinggi semacam PBB tentu tak bisa ditampik oleh publik. Sehingga sangat jelas bahwa kehadirannya memiliki peran besar untuk menggaungkan persebaran feminisme ini semakin mewabah di Indonesia sampai detik sekarang. Misalnya, forum di Mexico tahun 1975, Kopenhagen tahun 1980, Nairobi tahun 1985 dan di Beijing tahun 1995. bahkan sampai tataran tingkat KTT dan Konferensi HAM.
Menilik dari berbagai fakta sejarah tentang gagalnya konsep penjagaan perempuan, mari kita coba tarik benang merahnya. Bahwasannya perempuan dalam literatur sejarah peradaban memang hampir sebagian besar diperlakukan tidak adil. Peradaban Yunani, Eropa, negeri India, dan negeri- negeri lainnya bahkan menjadikan perempuan berada di level bawah. Pun juga dengan tataran keyakinan tertentu, perempuan pun dianggap sebagai pembawa sial atau bahkan sampai ada yang mengutuk dirinya sendiri karena terlahir sebagai seorang perempuan. Melihat kondisi perempuan diperlakukan, tentu mengundang rasa keprihatinan. Tak salah bukan bila ada yang menyuarakan haknya.
Pada penerapannya, salah satu ranah yang dituju yakni mereka sangat getol untuk menyerukan pemikiran “perempuan haruslah memiliki tempat yang sama” alias SETARA. Paham yang menginginkan kesetaraan di segala level kehidupan. Sebagian besar meyakini bahwa kesetaraan gender bukanlah suatu sifat yang kodrati atau alami. Konsep atau pemikiran tersebut merupakan hasil konstruksi sosial dan kultural yang telah berproses sepanjang sejarah manusia.
Salah kaprahnya, idealitas mereka seolah – olah menantikan masa dimana perempuan ya sama saja dengan pria. Mau dari segi jabatan, pendidikan bahkan level kekuasaan. Sehingga mau tak mau, terjadi persaingan yang sangat ketat antara perempuan dan pria, kecuali kondisi fisik secara biologis. Mereka saling berebut untuk satu tujuan yang sebenarnya bisa dicapai bersama dalam wujud kolaborasi. Namun apalah daya, yang namanya manusia, tentu memiliki keterbatasan akal secerdas apapun dia. Sehingga potret kelam dari feminisme tertutup. Pertanyaannya, bisakah sebenarnya menjadikan feminisme sebagai landasan pemikiran untuk selamatkan permasalahan perempuan?
Berfikir ala Feminisme, Sebuah Jalan Kebenaran?
Jika sudah mulai memikirkan sebuah konsep untuk penyelesaian masalah a.k.a solusi, tentu perlu membongkar fakta sebagian fakta permasalahan perempuan di keseluruhan negeri.
“Hari ini, berapa banyak para perempuan yang tak malu menjajakan keperawanan? Berapa kerusakan yang terjadi akibat pacaran tanpa batasan? Berapa banyak calon bayi yang digugurkan? Berapa banyak anak ditelantarkan? Berapa banyak perempuan yang mudah gadaikan diri demi cuan? Berapa banyak perempuan yang lakukan segalanya demi jabatan, kekuasaan? Berapa banyak perempuan yang tak lepas dari keimanan?”Semua jawabannya tentu sudah tersaji di benak masing – masing dan sudah bisa dipastikan akan membuat diri ini lemas tak berdaya. Sebab alih – alih menjawab dengan bangga, yang ada malah merasa kecewa.
Kendati merasa kecewa, jangan bilang kalau sebelumnya tak ada yang mensolusikan ya. Misal nih, salah satu cara agar kaum perempuan tak merasa terdiskriminasi lagi yaitu mendongkrak adanya peranan perempuan pada peran kehidupan bernegara baik secara politik maupun ekonomi itu sendiri. Misalnya, dalam ranah politik, keterwakilan perempuan didongkrak melalui UU No. 31/ 2002 tentang Parpol, UU No.12/ 2003 tentang Pemilu, UU No. 2/2008 tentang Parpol dan UU No. 10/ 2008 tentang Pemilu anggota DPR- DPRD. Sayangnya, sampai Pemilu 2014 lalu proporsi perempuan yang berhasil menembus parlemen hanya 19,8%. Amat jauh dari angka harapan PBB yang sebesar 30%. Demikian pula jumlah perempuan yang bakal bertarung di ajang pilkada 2018 hanya 8, 85% dari perinduk perempuan. Idealnya, jika perempuan berhasil mencapai kekuasaan, bakal menyelesaikan maslah pendidikan dan kesehatan. Namun, kenyataannya sudahkah terealisasi? Malah, banyak kaum perempuan yang semakin tertindas bahkan tak dapat menyelesaikan pendidikan serta kesehatannya terganggu. Nah, untuk apa partisipasi perempuan harus didongkrak?
Di sisi ekonomi, para perempuan mulai memahami konsep pemberdayaan. Nyatanya, arah yang perempuan tuju yakni saling bersaing di dunia karir serta berlomba – lomba dalam hal penguasaan ranah ekonomi. Tak heran, predikat perempuan karir semakin merajalela dan sungguh membanggakan bahkan kaum Adam sampai kalah. Again, idealnya, ketika perempuan memegang kendali ranah perekonomian, maka negara akan cepat berdikari. Namun ternyata di balik bantuan kontribusi tersebut, secara tidak langsung mengajarkan generasi menjadi semakin bejat moralnya baik karena meneladani dari tayangan, lingkungan sekitar atau hal lainnya. Hal ini lantaran sebagian besar peran para ibu mulai tergadaikan dan mengabaikan kehidupan rumah tangga. Pacaran tak menentu, seks bebas jadi trend dan clubbing jadi kajian sehari- hari. Sehingga akan sangat mudah dibayangkan, bagaimana jadinya negara dengan generasi seperti mereka. Seakan- akan tak ada peran ibu untuk memberikan bekal sejak dini. Padahal muslimah merupakan tonggak peradaban. Dari rahimnya lah akan lahir seorang pembentuk dan penggenggam peradaban. Akan seperti apa sebuah negeri dengan kondisi generasi muslimah yang tak mengenal keimanan bahkan tak malu berbuat hina dina?
Kalau dipikir menggunakan akal insan yang terbatas, tentu diri akan menjawab butuh berbagai banyak pemikiran. Bisa jadi, feminisme adalah salah satu pemikiran yang diambil untuk diaplikasikan dalam kehidupan. Kemungkinan – kemungkinan semacam itu wajar adanya. Namun belum tentu benar, sebab belum ada standar mutlak untuk menimbangnya. Kalau tafsiran itu berbalik kepada insan sendiri, Islam tentu sudah tak dibutuhkan lagi.
Islam is a Way of Life
Padahal pada dasarnya, Islam hadir dalam kehidupan sebagai rahmatan lil‘alamin. Maknanya sangatlah dalam dan luas sekali. Utamanya, Islam menjadi sebuah keyakinan yang terpancar darinya segala aturan kehidupan untuk diaplikasikan umat sebagai pandangan hidup. Menjadikan Islam sebagai way of life tentu tidaklah mudah. Tak semua insan dapat melakukannya. Sederhananya, way of life adalah perpaduan dari aqidah dan kepribadian Islam yang matang. Sehingga apa yang terfikir dan dilakukan seorang insan haruslah sejalan. Seorang muslim memecahkan dan mencari solusi permasalahannya dengan Islam.
Nah, sekarang coba berbalik pada permasalahan kondisi perempuan hari ini. Adakah Islam menjadi sumber pemikiran sehingga permasalahan tersebut bisa terjadi? Jawabannya, tentu saja tidak. Sebab Allah Ta’ala sendiri yang telah menjamin bahwa kehidupan umat muslimin akan terjaga dengan menjaga tali agama Allah, yakni menggenggam syariat Islam. Kalaupun ada yang menyebut Islam dapat menyebabkan permasalahan demikian, tentu saja itu oknum yang mengatasnamakan Islam.
Pernah nggak sih terfikir dalam benak kita, bahwa kondisi kerusakan generasi muslimah hari ini sebab Islam tak menjadi pandangan hidup? Jangan – jangan, masalah demi masalah terjadi, lantaran teramat banyak generasi yang terlalu memilih dan memilah solusi berdasar keinginan saja. Asal itu jadi trendi, ya udah dipakai aja. Perkara benar atau salah, nanti!
Padahal, bisa saja segala pemikiran yang diambil untuk solusi negeri jangan – jangan racikannya tak sesuai sebagaimana pemahaman Rasulullah SAW dan para ulama’ mu’tabar ajarkan. Misalnya, menjadikan feminisme untuk perbaikan kondisi perempuan. Benarkah yang demikian? Adakah dalil yang melandasinya? Jangan – jangan sekedar dalih dan pelintiran logika saja. Daripada mengkaji pemikiran yang belum jelas kebenarannya, ya mending muslimah lebih baik memperkaya diri dengan Islam dan berdakwah. Selain feminisme, tentu ada banyak segudang pemikiran yang pasti membutuhkan waktu lama untuk dianalisis. Sayang sekali bukan, bila waktu para muslimah lebih banyak digunakan untuk mengkaji hal yang sebenarnya tak wajib. Selain itu, Islam jelas memberikan jaminan perlindungan bahkan senantiasa menjaga muru’ah perempuan.
Di sejarah mana Islam mengajarkan bahwa perempuan adalah yang terhina? Justru hadirnya Islam menyelamatkan para bayi perempuan Bani Quraisy yang selalu akan dibunuh oleh para orangtua khususnya ayah sebab menganggap perempuan merupakan suatu kehinaan. Islam juga memuliakan perempuan. Bahkan muslimah mendapat panggung sebagaimana sejarah Fatimah Al Fihri yang mendirikan kampus pertama dalam peradaban Islam. Sehingga sangat masuk akal bila mengkaji Islam menjadi satu – satunya jalan bagi perempuan muslimah untuk melakukan perbaikan kondisi perempuan. Sebab segala informasi yang masuk dalam pemahaman generasi tentu akan menjadi bahan dasar sebelum menghasilkan aktivitas keseharian para perempuan muslimah. Lantas, bagaimana dengan feminisme? Bisa dipelajari, tapi bukan perkara yang urgent apalagi dibahas mendalam sebagai solusi. Sebab kehadirannya pun sangat perlu untuk terus dipertanyakan. Bukan sekedar ikutan yang trendi. Sebab kebenaran syariat tak berdasar pada mayoritas. Inilah pentingnya mengapa seorang muslimah harus memiliki pemikiran tangguh. Pemikiran inilah yang nantinya akan menjadi standar dalam beraktivitas termasuk menjadi landasan kuat bagi para muslimah untuk senantiasa berdakwah.
Islam sebagai Diin merupakan satu- satunya yang solutif. Sejarah mencatat bahwasannya dulu pernah ada sebuah peradaban yang mampu menaungi wanita, memeprlakukan mereka seusai fitrah bahkan sampai terpenuhi haknya. Namun, kenyataan yang terjadi sekarang, kaum muslim itu sendiri hidup di negeri yang mayoritas beragama Islam, namun aturan yang diterapkan adalah kapitalisme- liberalisme. Jadi penyebab kesengsaraan dan penderitaan bukan karena penerapan aturan Islam, tapi justru Islam hanya diakui sebagai keyakinan namun miskin penerapan aturan sebagai suatu sistem kehidupan. Karenanya, jika kaum muslim ingin merubah nasibnya maka harus segera meninggalkan kapitalisme dan tidak menunda penerapan Islam kaffah dalam naungan Khilafah.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.