Resolusi Pendidikan 2026: Pedagogi Musyawarah
Pendidikan dan Literasi | 2025-12-31 13:57:12
Krisis pendidikan Indonesia bukan sekadar persoalan teknis seperti kurikulum yang berganti-ganti atau kekurangan fasilitas. Krisis yang sesungguhnya terletak pada diskoneksi ontologis: keterputusan antara janji konstitusional “mencerdaskan kehidupan bangsa” dengan realitas pendidikan yang mereduksi manusia menjadi objek produksi sistem ekonomi global. Pembukaan UUD 1945 menegaskan tujuan bernegara adalah melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Tetapi dalam praktiknya, pendidikan telah bergeser menjadi pabrik yang mencetak tenaga kerja siap pakai, bukan warga negara yang berdaulat.
Ketika manusia direduksi menjadi human capital—modal yang diukur dari nilai tukarnya di pasar kerja—terjadilah fragmentasi eksistensial. Siswa belajar agama tetapi praksis ekonominya eksploitatif. Mereka menghafal rumus matematika tetapi tidak memahami bagaimana distribusi kekayaan yang tidak adil menciptakan kemiskinan struktural. Mereka lulus dengan ijazah tetapi tidak memiliki kesadaran bahwa kondisi sedang rusak karena pembangunan yang tidak berkelanjutan. Ironi ini muncul dari sistem pendidikan yang mengklaim dirinya sebagai pembebas, padahal justru menjadi alat reproduksi ketidakadilan.
Tulisan ini menawarkan paradigma transkonstruktif dalam pendidikan Indonesia yang berpusat pada Pedagogi Musyawarah: suatu pendekatan pendidikan yang menempatkan dialog, deliberasi, dan ko-konstruksi pengetahuan sebagai inti proses pembelajaran. Pendidikan tidak lagi dipahami sebagai transmisi pengetahuan dari yang berkuasa kepada yang dikuasai, melainkan sebagai proses kolektif untuk membangun kesadaran kritis dan kapasitas bertindak sebagai subjek sejarah.
Rekonstruksi ini mencakup tiga dimensi yang saling terkait: pertama, dimensi ontologis yang menggeser konsep human capital menjadi "Manusia Berdaulat"; kedua, dimensi epistemik yang mentransformasi relasi hierarkis menjadi simbiosis pengetahuan; dan ketiga, dimensi sosio-ekologis yang menempatkan pendidikan sebagai organ ketahanan hidup bangsa.
Rekonstruksi Ontologis: Dari Human Capital Menuju Manusia Berdaulat
Sistem pendidikan kontemporer cenderung memecah-mecah manusia menjadi fragmen terpisah. Fragmen itu adalah manusia ekonomi yang produktif di pasar kerja, manusia moral yang dididik melalui agama dan Pancasila, dan manusia kognitif yang diukur melalui skor ujian. Fragmentasi ini menciptakan generasi yang mengalami disonansi kognitif-moral—sangat religius dalam ritual sebaliknya eksploitatif dalam praktik ekonomi, pandai dalam sains namun tumpul dalam memahami dampak ekologis dari tindakannya.
Pandangan transkonstruktif mengusulkan Integritas Tri-Subjek: kesadaran bahwa setiap manusia merupakan subjek epistemik (yang mengetahui), subjek ekonomi (yang bertindak dalam ruang material), dan subjek sosio-ekologis (yang hidup dalam relasi dengan sesama dan lingkungan) secara sekaligus dan tidak terpisahkan. Ketika seorang anak belajar matematika, ia tidak hanya mengasah kemampuan kognitif, tetapi juga belajar tentang keadilan distribusi, keteraturan semesta, dan tanggung jawab sosial.
Integritas ini hanya bisa dibangun jika pendidikan dirancang sebagai ekosistem pembelajaran yang memungkinkan siswa melihat keterkaitan antara pengetahuan, tindakan, dan konsekuensi. Pelajaran ekonomi harus membahas bagaimana sistem ekonomi tertentu menciptakan ketimpangan atau keadilan sosial. Pelajaran biologi harus tentang bagaimana manusia yaitu bagian dari ekosistem yang lebih besar dan bagaimana tindakan manusia mempengaruhi keseimbangan alam.
Masalah terbesar dalam wacana pendidikan kontemporer ialah dominasi konsep "kompetensi" sebagai standar keberhasilan. Kompetensi bertanya: "Apa yang bisa kamu lakukan?" atau "Seberapa produktif kamu di pasar kerja?" Standar ini mereduksi manusia menjadi fungsi yang bisa diukur dan dibandingkan. Dalam logika kompetensi, manusia yang tidak "produktif" dianggap tidak berharga atau menjadi beban.
Logika kompetensi menciptakan kecemasan struktural yang mendalam. Anak muda terus-menerus merasa harus "membuktikan diri", harus "bersaing", harus "lebih baik dari orang lain". Kecemasan ini tidak hanya merusak kesehatan mental individual, tetapi juga menghancurkan solidaritas sosial. Ketika pendidikan mengajarkan bahwa hidup soal kompetisi, yang terbentuk pastinya masyarakat individualistik dan atomistik.
Pandangan transkonstruktif mengusulkan bahwa fondasi pendidikan harus digeser dari kompetensi menuju martabat. Martabat bertanya: "Siapa kamu dalam hubungan dengan sesama?" dan "Bagaimana kehadiranmu memperkaya kehidupan bersama?" Martabat merupakan nilai intrinsik yang dimiliki setiap manusia sejak lahir, bukan karena prestasinya atau produktivitasnya, melainkan semata-mata karena ia adalah manusia.
Dalam konteks Pembukaan UUD 1945, martabat ini ialah hak untuk ada sebelum berfungsi. Ketika konstitusi berbicara tentang "melindungi segenap bangsa Indonesia", yang dilindungi bukanlah "fungsi ekonomi" mereka, melainkan keberadaan eksistensial mereka sebagai subjek yang memiliki hak untuk hidup bermartabat. Pendidikan yang berbasis martabat akan menghasilkan manusia yang tidak terobsesi dengan kompetisi, melainkan dengan kontribusi.
Metafora yang sering digunakan dalam wacana pembangunan SDM tidak jauh-jauh dari pengertian membentuk atau mencetak manusia. Metafora ini sangat problematis karena mengandaikan bahwa manusia adalah material pasif yang menunggu untuk diberi bentuk oleh pihak eksternal.
Pandangan transkonstruktif mengusulkan metafora organik: manusia sebagai benih. Benih sudah membawa dalam dirinya sendiri potensi untuk tumbuh menjadi pohon yang besar dan berbuah. Yang dibutuhkan benih bukanlah cetakan eksternal, melainkan ekosistem yang kondusif: tanah yang subur, air yang cukup, sinar matahari, dan perlindungan dari hama. Dalam metafora ini, pendidikan dapat diartikan sebagai ekosistem, bukan pabrik.
Implikasi dari metafora ini sangat mendalam. Pertama, setiap benih memiliki karakter unik—pendidikan yang baik mengakui dan merayakan keragaman, bukan memaksakan uniformitas. Kedua, pertumbuhan merupakan proses internal yang tidak bisa dipaksakan dari luar. Yang bisa dilakukan pendidik adalah menciptakan kondisi yang memungkinkan pertumbuhan terjadi secara alamiah. Ketiga, pohon yang tumbuh dari benih akan memberikan manfaat bagi ekosistemnya—manusia yang tumbuh secara sehat akan secara alamiah berkontribusi pada kesejahteraan bersama.
Metafora ini sangat resonan dengan filosofi "Tut Wuri Handayani" Ki Hadjar Dewantara: guru berada di belakang, memberi dorongan, bukan di depan menarik-narik atau di atas menekan-nekan. Sayangnya, dalam praktik pendidikan kontemporer, semangat ini telah tereduksi menjadi slogan kosong.
Transformasi Epistemik: Dari Hierarki Kuasa Menuju Simbiosis Pengetahuan
Paulo Freire mengkritik banking model of education yang mencerminkan relasi kuasa hierarkis. Guru menjadi subjek aktif, siswa objek pasif. Guru ialah yang tahu, siswa adalah yang tidak tahu. Relasi ini bukan hanya soal pedagogi, tetapi juga soal politik—mengkondisikan siswa untuk menerima struktur otoritas tanpa mempertanyakan.
Di Indonesia, model ini terlihat dalam berbagai aspek. Misalnya pada kurikulum yang ditentukan secara sentralistik tanpa melibatkan guru dan siswa. Selain itu, anggapan bahwa buku teks menjadi satu-satunya sumber pengetahuan sah sementara pengetahuan lokal dianggap tidak relevan. Dan yang paling sering dilakukan yaitu metode pembelajaran didominasi ceramah dan hafalan, ditambah evaluasi melalui ujian standar yang mengukur kemampuan mengingat, bukan berpikir kritis.
Akibatnya, lahir generasi yang pandai menghafal tetapi tidak mampu berpikir mandiri. Mereka bisa menjawab pertanyaan ujian tetapi tidak bisa mengajukan pertanyaan kritis terhadap realitas sosial. Mereka bisa mereproduksi pengetahuan yang diajarkan tetapi tidak bisa memproduksi pengetahuan baru yang relevan dengan konteks mereka. Mereka menjadi objek sejarah, bukan subjek sejarah yang mampu mengubah dunia.
Kritik terhadap banking model tidak berarti peran guru menjadi tidak penting. Sebaliknya, peran guru menjadi lebih kompleks dan krusial, akan tetapi harus didefinisikan ulang sebagai arsitek ekosistem belajar yang menciptakan kondisi di mana dialog, eksplorasi, dan ko-konstruksi pengetahuan bisa terjadi.
Sebagai arsitek ekosistem, guru memiliki tiga fungsi strategis. Pertama, guru berperan sebagai kurator pengetahuan—membantu siswa menavigasi lautan informasi, mengidentifikasi sumber kredibel, dan menghubungkan berbagai informasi menjadi pemahaman koheren. Kedua, guru adalah fasilitator dialog—menciptakan ruang aman di mana siswa merasa bebas bertanya, berpendapat, dan menantang pendapat guru tanpa takut dihukum. Ketiga, guru menjadi jembatan antara teks dan konteks—membumikan kurikulum nasional dalam realitas lokal siswa.
Musyawarah sebagai Pedagogi Inti
Musyawarah merupakan kearifan politik fundamental dalam tradisi Indonesia untuk mencapai mufakat dalam pengambilan keputusan kolektif, tanpa dominasi mayoritas terhadap minoritas. Kendati demikian, musyawarah selama ini dipahami hanya sebagai mekanisme politik, bukan sebagai metode pembelajaran.
Jika kita konsisten bahwa pendidikan merupakan proses pembentukan subjek politik yang berdaulat, maka musyawarah harus menjadi pedagogi inti. Ini berarti mengubah ruang kelas dari tempat transfer pengetahuan menjadi arena musyawarah epistemik—proses di mana berbagai klaim pengetahuan dibawa ke dalam dialog untuk diuji, dipertanyakan, dan disintesiskan.
Misalnya, dalam pelajaran sejarah tentang masa kolonial, guru tidak hanya menyajikan narasi dari buku teks resmi, tetapi mengajak siswa mendengar cerita dari kakek-nenek mereka, membaca berbagai sumber sejarah, dan kemudian bersama-sama membangun pemahaman yang lebih kompleks tentang periode tersebut. Siswa belajar bahwa sejarah bukan fakta yang harus dihafal, melainkan interpretasi yang terus diperdebatkan.
Pedagogi musyawarah juga mengajarkan keterampilan krusial untuk demokrasi: kemampuan mendengar dengan empati, berargumentasi secara rasional, dan tetap bersama meskipun berbeda pendapat. Di era polarisasi politik yang semakin tajam, keterampilan ini menjadi semakin mendesak.
Problem besar dari sistem pendidikan nasional yang sentralistik ialah obsesi terhadap standardisasi. Semua sekolah di seluruh Indonesia diharuskan menggunakan kurikulum yang sama, mengikuti ujian yang sama, dan diukur dengan standar yang sama. Meskipun demikian, standardisasi justru menciptakan ketidaksetaraan yang lebih dalam.
Anak di Papua yang hidup dalam konteks masyarakat dengan tradisi oral kuat dipaksa belajar dengan metode berbasis teks. Anak di daerah pesisir yang kehidupannya tergantung pada laut dipaksa mempelajari materi yang lebih relevan untuk kehidupan urban-industrial. Anak dari keluarga miskin yang harus membantu orang tua dipaksa mengikuti ritme sekolah yang dirancang untuk keluarga kelas menengah.
Pandangan transkonstruktif mengusulkan bahwa kontekstualitas adalah standar tertinggi. Pendidikan berkualitas di Papua harus berbeda dari pendidikan di Jakarta, karena konteks sosial, budaya, ekonomi, dan ekologisnya berbeda. Yang harus sama yaitu komitmen untuk menghasilkan subjek yang mampu memahami dan mengubah konteksnya sendiri.
Kontekstualitas tidak berarti relativisme total atau penolakan terhadap pengetahuan universal. Pengetahuan ilmiah tetap penting, tapi cara mengajarkannya harus disesuaikan dengan konteks. Dengan membuat pendidikan kontekstual, kita juga mengakui dan menghargai pengetahuan lokal (indigenous knowledge) yang selama ini terpinggirkan.
Visi Sosio-Ekologis: Pendidikan sebagai Organ Ketahanan Hidup Bangsa
Distorsi besar dalam pendidikan kontemporer terletak pada cara ekonomi dipahami. Dalam wacana dominan yang dipengaruhi ideologi neoliberal, ekonomi dipahami sebagai arena kompetisi di mana individu bersaing untuk mendapatkan sumber daya terbatas. Pendidikan ekonomi berbasis paradigma ini hanya akan menghasilkan predator, bukan warga negara yang bertanggung jawab.
Pasal 33 UUD 1945 menawarkan visi berbeda: "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan." Ini merupakan visi ekonomi yang komunitarian, bukan individualistik; yang kooperatif, bukan kompetitif; yang berbasis solidaritas, bukan akumulasi. Tujuan ekonomi bukan memaksimalkan keuntungan individual atau pertumbuhan GDP, melainkan memastikan setiap anggota masyarakat bisa hidup bermartabat.
Pendidikan ekonomi yang sejalan dengan visi konstitusional ini harus mengajarkan siswa bertanya: "Bagaimana usaha ekonomi saya bisa menghidupi orang lain, bukan mematikan ruang hidup mereka?" Ini berarti menggeser fokus dari "mencari kerja" menjadi "menciptakan kerja", dari "menjadi karyawan" menjadi "menjadi entrepreneur sosial", dari "mengeksploitasi sumber daya" menjadi "mengelola sumber daya secara berkelanjutan".
Dalam praktiknya, sekolah bisa mengembangkan koperasi siswa yang merupakan unit usaha nyata. Melalui pengalaman mengelola koperasi, siswa belajar tentang pembukuan, manajemen, pemasaran, tetapi juga tentang prinsip demokrasi ekonomi: satu orang satu suara, distribusi surplus yang adil, dan akuntabilitas kolektif.
Frasa "seluruh tumpah darah Indonesia" dalam Pembukaan UUD 1945 sering dibaca secara sempit sebagai kedaulatan teritorial militer. Dalam visi sosio-ekologis, kita harus merekonstruksinya sebagai Kedaulatan Ruang Hidup. Manusia hidup dalam ketergantungan mutlak pada ekosistem yang terbatas.
Pendidikan transkonstruktif harus mengintegrasikan ekologi bukan hanya sebagai materi hafalan, melainkan sebagai struktur berpikir (epistemik ekologis). Siswa harus dilatih memahami interconnectedness antara tindakan ekonomi dan dampak ekologisnya. Seorang siswa di sekolah kejuruan teknik tidak hanya belajar cara merakit mesin, tetapi juga belajar menghitung jejak karbon, memahami asal bahan baku, dan dampak pembuangan limbah.
Kesadaran ini menggeser posisi manusia dari "penakluk alam" menjadi "penjaga ruang hidup". Tanpa kemampuan membaca batas daya dukung lingkungan, kecerdasan bangsa yang kita cita-citakan akan jatuh menjadi kecerdasan destruktif—mampu menciptakan teknologi canggih tetapi tidak mampu mencegah kepunahan diri akibat kerusakan lingkungan.
Kita hidup di masa ketika teknologi digital dan kecerdasan buatan mengancam menggantikan peran manusia dalam berbagai lini pekerjaan. Jika pendidikan tetap berorientasi pada keahlian teknis yang rutin dan mekanistik, maka sistem pendidikan sedang memproduksi pengangguran masa depan.
Satu-satunya kapasitas manusia yang tidak bisa digantikan algoritma yaitu kemampuan untuk refleksi etis, penilaian nilai, dan kemampuan untuk berdialog di tengah konflik kepentingan yang kompleks. Pendidikan harus bertransformasi menjadi organ ketahanan bangsa yang melatih fleksibilitas adaptif. Subjek yang belajar cara belajar (learning to learn) tidak akan takut pada perubahan teknologi, karena ia tidak didefinisikan oleh satu keterampilan sempit, melainkan oleh kemampuannya untuk terus-menerus mengalibrasi diri dengan tantangan baru.
Ketahanan bangsa dalam visi ini bukanlah ketahanan yang menutup diri dari dunia, melainkan ketahanan yang berakar kuat pada identitas dan kebutuhan lokal juga mampu berinteraksi secara kritis dengan standar global. Pendidikan menjadi ajang di mana warga negara belajar untuk tetap "ada" (selamat secara ekonomi dan ekologis) dan tetap "bersama" (rukun secara sosial) di tengah gempuran disrupsi.
Kalibrasi Masa Depan
Rekonstruksi pendidikan Indonesia harus dimulai dengan mengembalikan martabat manusia sebagai subjek yang utuh—sosio-ekologis, ekonomi, dan epistemik. Kita harus berani mengakui bahwa sistem yang berorientasi semata-mata pada "pasar kerja" telah gagal memberikan perlindungan bagi tumpah darah kita dan gagal mencerdaskan kehidupan bangsa dalam arti yang hakiki.
Pedagogi Musyawarah menawarkan jalan keluar dengan meruntuhkan hierarki kuasa yang asimetris dan menggantinya dengan relasi belajar yang dialogis. Di dalam ruang-ruang musyawarah itulah, konflik kepentingan antara kebutuhan ekonomi dan kelestarian ekologis dapat dibahas secara dewasa. Pendidikan bukan lagi peristiwa eksklusif di dalam kelas yang memisahkan anak dari dunianya, melainkan menjadi denyut nadi kehidupan masyarakat yang terus belajar.
Penerapan gagasan ini menuntut keberanian dari semua elemen: pemerintah untuk berani mendesentralisasi otoritas epistemik; guru untuk berani menjadi arsitek ekosistem daripada sekadar instruktur; dan masyarakat untuk kembali memfungsikan rumah serta komunitas sebagai pusat pendidikan.
Akhirnya, pendidikan yang sejati adalah pendidikan yang mampu menjawab tantangan dasar eksistensi kita sebagai bangsa merdeka: Bagaimana kita dapat tetap ada tanpa meniadakan yang lain? Jika setiap sekolah, keluarga, dan komunitas mampu menjadi ruang latihan bagi pertanyaan ini, maka cita-cita luhur dalam Pembukaan UUD 1945 bukan lagi sekadar teks yang dihafal saat upacara, melainkan realitas hidup yang kita hirup setiap hari. Pendidikan adalah bentuk hidup bersama yang terus belajar agar hidup itu sendiri tetap mungkin dan bermakna.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
