Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ahmad Aqil Rabbani

Menjadi Maba Di Persimpangan Jalan: Lebih Dari Sekadar Pindah Seragam

Culture | 2025-12-31 12:04:57
ilustrasi mahasiswa di kampus (pexels.com/cottonbro studio)

Menjadi mahasiswa baru (maba) sering kali digambarkan dalam budaya populer sebagai puncak romansa masa muda sebuah fase kebebasan penuh, kaos oblong di kampus, dan diskusi intelektual yang membara di selasar. Namun, di balik narasi indah yang kerap menghiasi brosur kampus tersebut, realitas di lapangan sering kali lebih menyerupai sebuah "kejutan budaya" (cultural shock) yang melelahkan secara mental. Bagi banyak anak muda, melompat dari bangku SMA yang serba teratur, dengan jadwal yang disuapi guru, ke dunia perkuliahan yang cair dan liar adalah ujian ketahanan mental yang sesungguhnya.

Tantangan terbesar mahasiswa baru hari ini bukan lagi sekadar perkara teknis seperti mencari ruang kelas atau memahami silabus yang rumit. Tantangan intinya terletak pada adaptasi psikososial yang mendalam. Di dunia kampus, maba secara paksa dituntut menjadi manajer bagi dirinya sendiri. Tidak ada lagi guru bimbingan konseling yang mengejar jika kita membolos, atau wali kelas yang mengingatkan tenggat tugas di grup WhatsApp setiap pagi. Di sini, otonomi adalah "pedang bermata dua": ia menawarkan kemerdekaan yang memabukkan, namun jika gagal dikelola dengan kedewasaan, ia akan berujung pada prokrastinasi kronis, rasa rendah diri, hingga isolasi sosial yang mematikan kreativitas.

Beban Ganda: Labirin Akademik dan Ekspektasi Sosial

Data menunjukkan bahwa kesulitan adaptasi ini bukan sekadar perasaan subjektif atau kemanjaan generasi. Banyak mahasiswa baru mengalami apa yang disebut dengan academic burnout bahkan sebelum mereka menyelesaikan semester pertama. Pergeseran standar literasi dari yang bersifat hafalan ke analisis kritis sering kali membuat maba merasa "kecil" dan tidak mampu. Tuntutan untuk menguasai metodologi penelitian, manajemen waktu yang ketat antara jadwal kuliah yang berjeda lama, dan tumpukan tugas mandiri menciptakan tekanan konstan yang jarang mereka temui di sekolah menengah.

Lebih jauh, kita kini melihat fenomena "kelelahan kognitif" akibat transisi ke metode pembelajaran berbasis riset. Maba tidak hanya harus membaca buku teks, tetapi dituntut untuk membedah jurnal ilmiah dan membangun argumen yang orisinal. Di tengah gempuran informasi dan kemudahan teknologi AI, maba justru sering terjebak dalam krisis otentisitas; mereka bingung antara menggunakan teknologi untuk membantu belajar atau malah menjadi budak dari algoritma yang membuat kemampuan berpikir kritis mereka tumpul sebelum sempat berkembang.

Namun, yang sering luput dari perhatian publik adalah beban sosial yang kini teramplifikasi secara digital. Di era media sosial, maba tidak hanya bersaing secara nilai di papan pengumuman, tapi juga "bersaing" dalam menampilkan hidup yang produktif, estetik, dan menyenangkan di layar ponsel. Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) menciptakan standar semu; seorang maba merasa gagal atau tertinggal jika tidak bergabung dengan sepuluh organisasi sekaligus, meski kapasitas energi mereka sebenarnya terbatas. Tekanan untuk menjadi "mahasiswa kura-kura" (kuliah-rapat) yang sukses di organisasi sekaligus tetap menjadi "mahasiswa kupu-kupu" (kuliah-pulang) yang berprestasi sering kali berujung pada krisis identitas yang mendalam.

Tekanan Keluarga dan Realitas Ekonomi
Dimensi lain yang sering diabaikan adalah tekanan ekspektasi keluarga. Bagi banyak maba, terutama mereka yang merupakan generasi pertama dalam keluarga yang mencicipi pendidikan tinggi (first-generation college students), beban yang dipikul bukan hanya tas berisi laptop, melainkan harapan seluruh keluarga besar. Kegagalan akademik di mata mereka bukan sekadar nilai buruk, melainkan pengkhianatan terhadap investasi ekonomi keluarga.
Selain itu, tantangan adaptasi finansial bagi maba yang merantau juga krusial. Mengelola uang saku bulanan di tengah godaan gaya hidup "nongkrong" di kota besar adalah keterampilan baru yang harus dipelajari secara otodidak. Kegagalan mengelola finansial sering kali berdampak langsung pada nutrisi dan pola tidur, yang kemudian menciptakan lingkaran setan dengan kesehatan mental. Bagaimana seorang mahasiswa bisa fokus berdiskusi tentang teori sosial jika ia sedang mencemaskan sisa saldo di tabungannya untuk makan minggu depan?

Disrupsi Digital dan Pergeseran Pola Pikir

Maba generasi saat ini menghadapi tantangan unik akibat sisa-sisa disrupsi pandemi yang mengubah pola interaksi secara permanen. Mahasiswa yang menghabiskan sebagian besar masa SMA-nya di depan layar mungkin memiliki kecakapan digital yang luar biasa, namun terkadang gagap dalam membangun negosiasi luring dengan dosen atau kawan sebaya. Kepercayaan diri dalam berkomunikasi langsung, membaca gestur tubuh, hingga melakukan manajemen konflik secara tatap muka menjadi barang mewah yang jarang dimiliki.

Akibatnya, ketika dihadapkan pada konflik kecil di organisasi atau kesulitan memahami materi kuliah, mereka cenderung menarik diri ke dalam ruang privat atau "gua digital" daripada mencari solusi kolaboratif. Mereka lebih nyaman mengirim pesan singkat daripada mengetuk pintu ruang dosen. Implikasi dari kegagalan adaptasi ini tidak main-main. Jika tidak ditangani, maba akan terjebak dalam siklus kelelahan yang menyebabkan penurunan prestasi akademik (GPA) secara drastis, yang pada gilirannya akan semakin merusak kepercayaan diri mereka. Ini adalah efek domino yang bisa berujung pada tingginya angka putus kuliah di tahun-tahun awal atau masalah kesehatan mental jangka panjang yang dibawa hingga ke dunia kerja nanti.

Memanusiakan Kembali Proses Adaptasi

Media massa dan institusi pendidikan sering kali hanya menyoroti prestasi segelintir mahasiswa "super", tapi jarang membicarakan proses "berdarah-darah" yang dialami mayoritas maba. Kampus harus bertransformasi menjadi lebih dari sekadar pabrik gelar; ia harus menjadi ruang transisi yang penuh empati. Program orientasi mahasiswa (OSPEK) seharusnya benar-benar berhenti berfokus pada perpeloncoan tak bermakna, senioritas semu, atau sekadar pamer kemegahan gedung fakultas. Sebaliknya, kampus perlu mulai fokus pada penguatan soft skills yang nyata: navigasi emosional, manajemen stres, literasi keuangan mandiri, hingga etika berkomunikasi di dunia nyata dan maya.

Layanan konseling di kampus juga harus diperkuat, bukan hanya sebagai pemadam kebakaran saat krisis terjadi, tetapi sebagai pusat pengembangan diri yang preventif. Mentor sebaya (peer-mentoring) antara kakak tingkat dan maba perlu didorong agar tercipta transfer pengetahuan sosial yang lebih cair dan tidak intimidatif.

Bagi para maba, sangat penting untuk menyadari bahwa merasa tersesat, bingung, atau ingin menangis di semester awal adalah hal yang sangat manusiawi. Anda tidak harus langsung menjadi pemimpin organisasi atau juara lomba nasional di hari pertama. Dunia perkuliahan sejatinya adalah laboratorium untuk belajar bagaimana caranya belajar (learning how to learn), termasuk belajar mengenali dan menghargai batasan diri sendiri. Keberhasilan tidak selalu berarti menjadi yang tercepat atau yang paling banyak mengikuti kegiatan, melainkan menjadi yang paling sadar akan arah tujuannya dan paling jujur pada kapasitasnya.

Pada akhirnya, indikator keberhasilan seorang mahasiswa baru tidak boleh hanya dipaku pada angka IPK di akhir semester. Keberhasilan sejati adalah seberapa tangguh ia mampu bangkit, beradaptasi, dan tetap menjaga kewarasannya setelah menyadari bahwa dunia nyata ternyata tidak serapi atau seindah buku teks SMA. Mari kita beri ruang bagi mereka untuk tumbuh secara organik, memberikan dukungan yang mereka butuhkan, bukan sekadar menuntut mereka untuk langsung lari kencang di lintasan yang belum sempat mereka kenali.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image