Membaca Isyarat Alam dari Banjir Aceh Tamiang
Kolom | 2025-12-31 11:58:44
Bencana kembali melanda Aceh Tamiang. Hujan deras yang turun tanpa henti selama beberapa hari membuat sungai meluap, merendam permukiman, dan memaksa banyak warga meninggalkan rumah mereka. Situasi ini sekali lagi menegaskan bahwa bencana bukan hanya urusan alam, tetapi juga cermin dari seberapa siap kita mengelola risiko yang sudah lama kita ketahui.
Setiap kali bencana terjadi, istilah “musibah alam” hampir selalu menjadi penjelasan utama. Hujan dianggap terlalu ekstrem, cuaca disalahkan, sementara manusia ditempatkan sebagai pihak yang sepenuhnya tak berdaya. Namun ketika kejadian serupa terus berulang di tempat yang sama, dengan pola yang nyaris identik, wajar jika pertanyaannya berubah. Bukan lagi sekadar mengapa hujan turun begitu deras, melainkan apa yang belum kita perbaiki dan terus kita abaikan dalam cara kita mengatur kehidupan bersama.
Aceh Tamiang memang berada di wilayah yang secara alamiah rawan banjir. Itu fakta yang tak bisa disangkal. Namun kerentanan alam seharusnya diimbangi dengan kesiapan manusia yang lebih serius. Kenyataannya, kesiapan itu masih sering muncul terlambat. Langkah baru diambil setelah air meluap, setelah rumah terendam, dan setelah warga terpaksa mengungsi.
Di tengah situasi darurat, kehadiran relawan, aparat, dan masyarakat yang saling membantu tentu layak diapresiasi. Solidaritas sosial masih menjadi kekuatan nyata. Namun di balik itu, ada persoalan lain yang tak bisa diabaikan. Ketergantungan berlebihan pada respons darurat membuat bencana seolah menjadi panggung kepedulian sesaat, sementara upaya pencegahan jangka panjang terus berada di pinggir perhatian.
Masalah tata ruang menjadi salah satu akar persoalan yang perlu dibicarakan secara jujur. Alih fungsi lahan, menyusutnya kawasan resapan air, serta pemanfaatan ruang yang mengabaikan kondisi ekologis telah memperbesar dampak banjir. Ketika manusia tidak lagi memberi ruang bagi alam dalam perencanaan hidupnya, alam akan mengambil ruang itu kembali, sering kali dengan cara yang menyakitkan.
Di sisi lain, sistem peringatan dini dan edukasi kebencanaan juga masih jauh dari memadai. Banyak warga belum benar-benar memahami mitigasi bencana, jalur evakuasi, atau langkah penyelamatan dasar. Tak heran jika setiap bencana hampir selalu diawali dengan kepanikan. Padahal, kesiapsiagaan bukan hanya soal alat dan infrastruktur, tetapi juga tentang pengetahuan, kebiasaan, dan kesadaran kolektif.
Bencana juga meninggalkan dampak sosial yang kerap luput dari sorotan. Anak-anak kehilangan ruang aman untuk belajar dan bermain, keluarga menghadapi tekanan ekonomi, dan trauma psikologis bisa bertahan jauh lebih lama daripada air yang menggenang. Sayangnya, pemulihan psikososial sering kali menjadi urusan belakangan, padahal justru di situlah masa depan masyarakat pascabencana dipertaruhkan.
Di titik ini, cara pandang kita terhadap bencana perlu benar-benar diubah. Bencana tidak seharusnya dilihat sebagai takdir yang datang tiba-tiba, melainkan sebagai peristiwa yang selalu terkait dengan pilihan sosial, kebijakan, dan cara kita memperlakukan lingkungan. Dengan pemahaman ini, empati tidak berhenti pada bantuan darurat, tetapi berlanjut pada upaya serius agar kejadian serupa tidak terus berulang.
Pemerintah daerah, masyarakat, dan seluruh pemangku kepentingan memiliki peran yang sama pentingnya. Perencanaan pembangunan harus lebih peka terhadap risiko bencana. Kebijakan perlu berpijak pada keberlanjutan lingkungan, bukan sekadar keuntungan jangka pendek. Sementara itu, masyarakat harus dilibatkan sebagai bagian dari solusi, bukan hanya penerima dampak.
Bencana di Aceh Tamiang seharusnya menjadi pengingat bersama bahwa alam selalu memberi tanda. Pertanyaannya sederhana, namun menentukan: apakah kita mau membaca tanda itu dan belajar, atau terus mengulang kesalahan yang sama sambil berharap keadaan akan membaik dengan sendirinya?
Belajar dari bencana Aceh Tamiang berarti belajar menempatkan kemanusiaan, kehati-hatian, dan keberlanjutan sebagai dasar pembangunan. Alam selalu memberi peringatan. Tinggal apakah kita bersedia mendengarkan dan bertindak, sebelum peringatan itu berubah menjadi kehilangan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
