Tulisan Terakhir di Tahun Ini
Sastra | 2025-12-29 20:53:08Hidup berjalan hampir 365 hari setahun, dan entah mengapa semuanya terasa terlalu cepat. Bukan karena waktu benar-benar berlari, melainkan karena manusia tak lagi berhenti untuk berpikir. Dunia begitu sibuk bekerja, bukan untuk hidup dengan lebih bermakna, melainkan untuk mempertahankan ilusi bahwa kesibukan itu sendiri adalah kebajikan. Dalam kecepatan itu, dosa tidak lagi disembunyikan. Ia justru dijual, dipamerkan, dan dipuja.
Orang-orang mulai menjadikan keburukan sebagai komoditas. Setiap aib dipoles agar tampak menarik. Ketamakan disebut ambisi, kebodohan disebut kejujuran, dan kekerasan verbal dipasarkan sebagai keberanian. Mereka berdiri berjajar dalam etalase kebodohan, menunggu giliran untuk dipuji, seolah dunia sedang kekurangan manusia yang waras dan berpikir.
Di sisi lain, ada mereka yang memalsukan diri dengan lebih rapi. Mereka berbicara tentang kesempurnaan sambil menutupi boroknya dengan lapisan make up dan filter. Bau busuk kepalsuan disemprot dengan parfum mahal—yang ironisnya masih dicicil. Barang-barang mewah digantungkan pada tubuh yang tak pernah benar-benar mampu membelinya dengan upah gaji yang minim. Segalanya tampak gemerlap, padahal rapuh. Kekayaan hanya berhenti di permukaan, sementara kemiskinan intelektual mengendap jauh di dalam.
Namun yang paling menjijikkan bukan hanya kepalsuan individu, melainkan kebrutalan yang dilembagakan. Pemerintah, yang seharusnya menjadi penjaga akal sehat kolektif, berubah menjadi mesin yang dingin dan tak peduli. Pohon-pohon direnggut hingga ke akarnya, tanah diperkosa atas nama pembangunan, dan sungai dijadikan saluran pembuangan. Ketika banjir datang dan rumah-rumah tenggelam, mereka muncul dengan rompi dan kamera, berpose sebagai pahlawan.
Padahal merekalah aktor utama dari kebodohan itu. Mereka menciptakan bencana, lalu memanen simpati. Rakyat miskin menjadi korban yang bisa diulang, seperti statistik tahunan yang tak pernah benar-benar dipelajari. Berita tentang kebijakan yang bodoh dan serakah datang silih berganti, membuat seseorang bertanya-tanya: bagaimana mungkin negara ini masih menyebut dirinya beradab?
Ada titik di mana seseorang tidak lagi takut mati, tetapi justru enggan mati di negeri seperti ini. Bukan karena cinta yang besar pada hidup, melainkan karena jijik pada sistem yang terus memproduksi ketidakadilan sambil menyebutnya stabilitas.
365 hari berlalu begitu cepat, mungkin karena dosa telah menyelimuti hampir semua hal yang kita miliki. Atau mungkin karena kita lupa—secara kolektif dan sengaja—bagaimana caranya menjadi manusia. Menjadi manusia berarti berpikir, merasa, dan bertanggung jawab. Dan ketika negara serta warganya sama-sama menanggalkan itu semua, yang tersisa hanyalah kerumunan yang bergerak, bekerja, dan berisik, tanpa arah dan tanpa nurani.
Di dunia seperti ini, waktu memang terasa singkat. Bukan karena hidup terlalu cepat, tetapi karena makna telah lama mati, dan tak ada yang benar-benar berduka.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
