Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Khailas Maical Alfanco

Opini: Kota yang Terlalu Bising untuk Mendengarkan Warganya

Lain-Lain | 2025-12-28 22:33:04
Ilustrasi jalan kota yang padat, orang-orang berjalan cepat tanpa saling menatap, menggambarkan kesibukan yang kehilangan arah. Foto: Unsplash

Ada kota-kota yang terasa seperti mesin: bergerak cepat, sibuk terus, seperti menelan siapa saja yang berdiri terlalu lama. Di kota seperti ini, manusia berjalan terburu-buru bukan karena mereka punya tujuan besar, tapi karena diam membuat mereka terlihat ketinggalan.

Kita sering membanggakan perkembangan kota, gedung baru, jalan layang baru, pusat perbelanjaan yang lebih besar. Tapi entah sejak kapan, kemajuan berubah jadi alasan untuk tidak mendengar suara warganya. Seolah-olah kota ini dibangun untuk semua orang, kecuali orang-orang yang benar-benar tinggal di dalamnya.

Kita Dibuat Sibuk, Bukan Produktif

Di ruang publik, kita melihat banyak orang yang tampak sibuk. Namun kalau ditanya, “sibuk apa?”, jawabannya sering samar. Kota ini seperti memaksa semua orang untuk bergerak, meskipun mereka tidak tahu menuju mana.

Produktivitas sering dijadikan alasan pembenar untuk mengorbankan hal-hal paling sederhana: istirahat, makan siang tanpa tergesa, percakapan dengan keluarga, bahkan sekadar bernapas lebih pelan. Kita diajarkan untuk mengejar sesuatu, tapi tidak pernah diajarkan kapan harus berhenti.

Ruang Publik yang Tidak Lagi Publik

Taman diganti beton. Bangku diganti rambu “dilarang duduk”. Ruang bermain anak-anak tergeser oleh parkiran. Lambat laun, kota kehilangan fungsi dasar: menjadi tempat hidup, bukan sekadar tempat tinggal.

Di titik ini kita sadar, kota tidak lagi terasa seperti milik warganya. Ia seperti proyek besar yang dipamerkan, bukan rumah yang dirawat.

Siapa yang Sebenarnya Diuntungkan?

Pertanyaan itu jarang dijawab dengan jujur. Karena kalau iya, mungkin jawabannya tidak enak didengar:

• Kota berkembang, tapi warganya kelelahan. • Infrastruktur maju, tapi ongkos hidup naik. • Pusatnya megah, pinggirannya tertinggal.

Kota ini semakin bising. Tapi bisingnya bukan suara orang, melainkan suara ambisi yang berlari tanpa menoleh ke belakang.

Penutup

Opini ini bukan untuk menolak kemajuan. Kita butuh kota yang bergerak maju. Tapi lebih dari itu, kita butuh kota yang tidak lupa bahwa ia dibangun untuk manusia—bukan untuk kompetisi, bukan untuk citra, bukan untuk mengejar kesan modern yang membutakan.

Karena kota seharusnya bukan tempat untuk bertahan hidup.Kota seharusnya tempat untuk hidup.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image