Menata Deadline, Menjaga Kesehatan Mental Mahasiswa
Pendidikan | 2025-12-25 16:05:13Deadline telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mahasiswa. Dari tugas harian hingga proyek akhir, hampir setiap proses akademik selalu dibatasi oleh waktu. Pada satu sisi, deadline berfungsi melatih kedisiplinan dan tanggung jawab. Namun di sisi lain, jika tidak dikelola dengan bijak, budaya deadline justru dapat menimbulkan tekanan yang berdampak pada kesehatan mental mahasiswa.
Tidak sedikit mahasiswa yang harus menghadapi penumpukan tugas dalam waktu yang berdekatan. Kondisi ini diperparah oleh tuntutan untuk selalu produktif, berprestasi, dan mampu bersaing. Akibatnya, mahasiswa sering kali terjebak dalam pola belajar yang tidak sehat: begadang menjadi kebiasaan, waktu istirahat terabaikan, dan stres dianggap sebagai bagian wajar dari perjuangan akademik.
Budaya seperti ini kerap dinormalisasi. Kelelahan dipandang sebagai tanda kesungguhan, sementara keluhan mental dianggap sebagai bentuk kelemahan. Padahal, kesehatan mental merupakan fondasi penting dalam proses belajar. Tanpa kondisi mental yang baik, kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan daya serap ilmu justru akan menurun.
Dalam perspektif pendidikan yang humanis, proses menuntut ilmu seharusnya tidak hanya berorientasi pada hasil, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan peserta didik. Pendidikan idealnya membentuk manusia seutuhnya, baik secara intelektual maupun emosional. Ketika tekanan akademik justru menggerus kesehatan mental, maka tujuan pendidikan perlu dievaluasi kembali.
Persoalan ini tidak bisa dibebankan sepenuhnya kepada mahasiswa. Sistem pendidikan juga memiliki peran besar. Penjadwalan tugas yang kurang terkoordinasi, minimnya ruang dialog antara dosen dan mahasiswa, serta kurangnya perhatian terhadap kondisi psikologis mahasiswa dapat memperparah tekanan akademik. Deadline yang manusiawi bukan berarti menurunkan standar akademik, melainkan menyesuaikan proses belajar dengan kapasitas dan realitas mahasiswa.
Di sisi lain, mahasiswa juga perlu membangun kesadaran untuk menjaga keseimbangan diri. Mengelola waktu dengan realistis, menetapkan prioritas, serta berani beristirahat ketika lelah adalah bagian dari ikhtiar menjaga kesehatan mental. Sikap saling memahami dan empati antarsesama mahasiswa pun menjadi penting agar lingkungan akademik tidak berubah menjadi ruang kompetisi yang melelahkan.
Kampus sebagai institusi pendidikan memiliki tanggung jawab moral untuk menciptakan lingkungan belajar yang sehat. Ruang diskusi tentang kesehatan mental, kebijakan akademik yang lebih fleksibel, serta pendekatan pendidik yang empatik dapat menjadi langkah awal. Pendidikan yang baik bukan hanya diukur dari seberapa banyak tugas yang diselesaikan, tetapi dari seberapa bermakna proses pembelajaran itu dijalani.
Pada akhirnya, deadline seharusnya menjadi sarana pembelajaran, bukan sumber penderitaan. Menata deadline dengan bijak berarti menjaga keseimbangan antara tuntutan akademik dan kesehatan mental. Mahasiswa bukan sekadar objek pencetak nilai, melainkan manusia yang sedang tumbuh dan belajar. Dengan pendidikan yang lebih manusiawi, diharapkan lahir generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara emosional.
Penulis adalah mahasiswa UIN.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
