Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image riska sugiantika

Ketika Otoritas Sekolah Menjadi Sumber Ketakutan

Guru Menulis | 2025-12-25 14:17:41
gambar :surya.co.id

Kasus kepala Sekolah Dasar negeri di Jember yang dilaporkan ke polisi atas dugaan penganiayaan terhadap siswanya kembali mengingatkan kita bahwa kekerasan di sekolah tidak selalu datang dari sesama murid. Berdasarkan pemberitaan DetikJatim pada 29 September 2025, seorang kepala SD Negeri 2 Sanenrejo, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember, bernama Muhammad Khobir dilaporkan oleh orang tua murid karena diduga melakukan kekerasan fisik terhadap tiga siswa kelas 5. Peristiwa ini terjadi pada Jumat, 26 September 2025, di dalam ruang kelas saat kegiatan belajar berlangsung. Tiga siswa yang menjadi korban disebutkan dengan inisial NZ, AK, dan FR mengalami perlakuan fisik berupa pemukulan ketika sedang duduk di bangku kelas. Menurut wawancara, kejadian ini terjadi karena guru agama merasa tidak nyaman dengan suasana kelas yang berisik dan mengadukan kepada kepala sekolah.

Setelah diselidiki ternyata guru agama tersebut merupakan anak kandung dari kepala sekolah maka dari itu ia langsung bertindak untuk mengadukan masalahnya kepada kepala sekolah. Saat ini, kasus tersebut tengah diproses oleh aparat kepolisian setempat untuk penyelidikan lebih lanjut.

Media massa mengangkat kasus ini dengan tujuan memberi informasi kepada publik sekaligus menjalankan fungsi kontrol sosial. Pemberitaan tersebut penting agar masyarakat mengetahui bahwa sekolah bukan ruang yang kebal hukum dan bahwa kekerasan terhadap anak, siapa pun pelakunya, tidak dapat dibenarkan. Dampak positif dari pemberitaan ini adalah meningkatnya kesadaran publik tentang pentingnya perlindungan anak di lingkungan sekolah. Namun, dampak lainnya yang juga perlu diwaspadai adalah munculnya ketakutan orang tua terhadap institusi pendidikan apabila kasus semacam ini tidak diimbangi dengan narasi solusi dan perbaikan sistem. Oleh karena itu, media memiliki tanggung jawab untuk tidak sekadar mengabarkan peristiwa, tetapi juga mendorong perubahan kebijakan dan praktik pendidikan yang lebih manusiawi.

Dari sudut pandang psikologi pendidikan,[b] peristiwa ini sangat berkaitan dengan konsep diri dan penyesuaian sosial siswa. Konsep diri anak terbentuk dari interaksi sehari-hari dengan lingkungan, terutama dengan figur otoritas seperti guru dan kepala sekolah. Ketika seorang anak menerima perlakuan kasar dari figur yang seharusnya melindungi, rasa aman dan harga dirinya dapat terguncang. Anak bisa tumbuh dengan perasaan takut, rendah diri, bahkan kehilangan kepercayaan terhadap sekolah sebagai tempat belajar. Dari sisi penyesuaian sosial, kekerasan yang dilakukan oleh pendidik juga memberi contoh yang keliru tentang penyelesaian masalah, seolah kekuasaan dan hukuman fisik adalah cara yang sah untuk mendisiplinkan orang lain. Dalam jangka panjang, hal ini bisa berpotensi membentuk pola interaksi sosial yang tidak sehat pada diri anak.

Menurut kami, dari kejadian tersebut seharusnya seorang guru dapat mengatasi masalah kelasnya sendiri terlebih dahulu karena, jika ada sebuah masalah dalam kelas yang menjadi penanggung jawab utama adalah guru yang ada di dalam kelas. Perihal mengadukan masalah tersebut kepada kepala sekolah bukan lah menjadi masalah, namun yang seharusnya di lakukan kepala sekolah adalah menjadi penenang dan menengahkan masalah tersebut, bukannya melakukan kekerasan kepada anak murid. Anak membutuhkan pendampingan dan pengelolaan kelas yang tepat, bukan hukuman fisik. Keributan di kelas merupakan dinamika belajar yang seharusnya di hadapi dengan pendekatan pedagogis, bukan kekerasan.

Kasus ini seharusnya menjadi bahan refleksi serius bagi dunia pendidikan. Disiplin tidak pernah identik dengan kekerasan, dan wibawa pendidik tidak dibangun melalui rasa takut. Kritik yang patut disampaikan adalah masih lemahnya pengawasan terhadap praktik kekerasan oleh pendidik serta belum optimalnya mekanisme pengaduan yang aman bagi siswa dan orang tua. Sekolah sering kali lebih sibuk menjaga citra institusi daripada memastikan keselamatan psikologis dan fisik peserta didik.

Pada akhirnya, kasus penganiayaan siswa oleh kepala sekolah di Jember menegaskan bahwa upaya menciptakan sekolah ramah anak belum sepenuhnya terwujud. Pendidikan seharusnya membebaskan anak dari rasa takut, bukan justru menjadi sumber trauma. Jika kekerasan terus dibiarkan atas nama disiplin, maka sekolah akan kehilangan maknanya sebagai ruang tumbuh yang manusiawi. Sudah saatnya pemerintah, dinas pendidikan, dan masyarakat bersama-sama memastikan bahwa sekolah benar-benar menjadi tempat yang aman, adil, dan berpihak pada perkembangan anak.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image