Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dzakhilal Hidmi Dzakwan

Musik Dibantu Artificial Inteligence (AI), Apa Masih Bisa Disebut Karya?

Agama | 2025-12-24 23:09:41

Perkembangan Artificial Inteligence (AI) dalam industri musik kian sulit diabaikan. Dari menciptakan melodi, menyusun lirik, hingga meniru suara penyanyi tertentu, AI kini hadir bukan lagi sebagai alat bantu teknis, melainkan sebagai “rekan kreatif”. Di satu sisi, teknologi ini membuka peluang baru bagi siapa pun untuk berkarya. Namun di sisi lain, muncul pertanyaan mendasar: ketika musik dibantu AI, apa yang masih bisa kita sebut sebagai karya manusia?Fenomena lagu hasil AI yang viral di media sosial menjadi bukti bahwa publik tidak lagi hanya tertarik pada siapa penciptanya, melainkan pada seberapa cepat dan unik sebuah lagu terdengar. Musik, yang dulunya lahir dari proses panjang—emosi, pengalaman, dan pergulatan batin—kini dapat dihasilkan dalam hitungan detik lewat perintah teks sederhana.

AI sebagai Alat, Bukan Masalah Utama

Perlu ditegaskan, teknologi bukanlah musuh. Sejak dulu, musik selalu berkembang seiring alat yang digunakan. Dari piano, synthesizer, hingga software digital audio workstation, semuanya pernah dianggap “mengurangi keaslian”. AI, dalam konteks ini, bisa menjadi alat bantu yang mempercepat proses produksi, memberi referensi, atau membantu musisi mengeksplorasi ide baru.Masalah muncul ketika AI tidak lagi diposisikan sebagai alat, melainkan pengganti proses kreatif itu sendiri. Ketika emosi, kegelisahan, dan cerita manusia digantikan oleh pola data dan algoritma, musik berisiko kehilangan ruhnya.

Musik Viral Lebih Penting daripada Makna?

Budaya viral mempercepat penerimaan musik berbasis AI. Lagu tidak perlu lagi memiliki kedalaman makna; cukup catchy dalam 30 detik untuk masuk FYP. Akibatnya, nilai karya bergeser: dari ekspresi menjadi konsumsi, dari perjalanan kreatif menjadi hasil instan.Hal ini juga berdampak pada musisi. Di tengah banjir konten AI, karya manusia harus bersaing dengan sesuatu yang tidak lelah, tidak kehabisan ide, dan tidak memiliki keterbatasan emosional. Pertanyaannya, apakah industri musik sedang menuju efisiensi, atau justru krisis identitas?

Di Mana Letak Keaslian?

Keaslian dalam musik bukan semata soal siapa yang menekan tombol “create”, melainkan siapa yang bertanggung jawab atas makna di baliknya. Musik manusia lahir dari konteks sosial, pengalaman personal, dan emosi yang tidak selalu rapi. Sementara AI bekerja dari data masa lalu—meniru, mengulang, dan mengombinasikan.Jika musik hanya soal pola yang enak didengar, AI mungkin unggul. Namun jika musik adalah medium untuk merasa dipahami dan terhubung, maka manusia tetap memiliki peran yang tak tergantikan.

Menentukan Arah, Bukan Menolak Perubahan

Alih-alih menolak AI sepenuhnya, tantangan terbesar kita adalah menentukan batas dan arah penggunaannya. AI seharusnya memperluas kemungkinan berkarya, bukan menghapus nilai proses. Tanpa kesadaran ini, kita berisiko merayakan karya yang terdengar sempurna, tetapi hampa rasa.Pada akhirnya, musik bukan hanya tentang bunyi. Ia adalah cerita, emosi, dan kejujuran. Selama manusia masih membutuhkan itu semua, karya manusia—dengan segala ketidaksempurnaannya—akan tetap relevan, bahkan di era AI.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image