Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muliadi Saleh

Ibu tak Pernah Libur

Curhat | 2025-12-22 18:13:25

Penulis: Muliadi Saleh, Esais Reflektif

Ibu tidak mengenal hari merah di kalender.

Baginya, waktu hanyalah aliran panjang antara bangun dan kembali terjaga. Bahkan ketika malam menutup mata dunia, batin ibu tetap menyala. Dengan kesabaran tak terbatas, ia menghitung napas anak-anaknya, menitipkan harap pada sunyi, dan merapikan kecemasan yang tak pernah sempat diceritakan.

Ibu tak pernah libur, sebab cinta tidak mengenal jeda.

Sejak fajar masih ragu membuka cahaya, ibu telah lebih dulu bangun. Menanak waktu, menyeduh sabar, dan menyiapkan hari dengan doa-doa pendek yang diucap lirih agar "Tuhan tak merasa diganggu". Tangannya bekerja, pikirannya berjaga, hatinya berperang—antara letih dan keharusan untuk tetap kuat.

Ibu adalah profesi paling tua dalam sejarah manusia, namun paling jarang diakui. Ia bekerja tanpa jam resmi, tanpa upah, tanpa piagam penghargaan. Tetapi dari rahim dan asuhannya, lahir manusia-manusia yang kelak mengisi dunia. Darinyalah asal pemimpin, pekerja, pemikir, bahkan para pengkritik kehidupan. Ironisnya, mereka sering lupa pada tangan pertama yang mengajari mereka bertahan.

Hakikat ibu bukan semata melahirkan. Ia adalah penjaga makna. Ia mengubah tangis menjadi bahasa, takut menjadi keberanian, dan luka menjadi pelajaran. Dari ibu, anak belajar bahwa hidup tidak selalu adil, tetapi harus tetap dijalani dengan kasih. Dari ibu pula, manusia pertama kali mengenal empati—jauh sebelum ia menghafal definisinya.

Di zaman yang gaduh ini, peran ibu kian berat dan sunyi. Ia memikul ekonomi rumah tangga yang rapuh, mengasuh di tengah krisis nilai, dan membesarkan anak-anak di dunia yang terlalu cepat berubah. Ibu diminta tangguh, sekaligus lembut. Rasional, sekaligus penuh rasa. Dunia menuntut banyak, tetapi jarang memberi ruang.

Namun ibu jarang bersuara.

Ia menyimpan lelahnya di lipatan sajadah,

menitipkan kecewanya pada air mata yang jatuh diam-diam, dan menyembunyikan lukanya di balik senyum yang dipelajari dan dilakoninya bertahun-tahun.

Dalam diam itulah spiritualitas ibu tumbuh. Ia menjalani ibadah paling panjang. Memberi tanpa hitung. Mencintai tanpa syarat, dan bertahan tanpa panggung. Jalaluddin Rumi pernah berbisik, “Di mana ada cinta yang mendalam, di situ penderitaan berubah menjadi cahaya.” Ibu hidup di wilayah itu. Ia menjadikan pengorbanan sebagai cahaya, meski dirinya sendiri sering redup.

Ibu adalah sekolah pertama, dan rumah adalah ruang kelasnya. Ia mengajarkan kejujuran lewat teladan, kesabaran lewat sikap, dan keteguhan lewat cara ia bangkit setiap kali jatuh. Nilai tidak diajarkan lewat ceramah, tetapi lewat bagaimana ibu tetap memilih baik di tengah keadaan yang keras.

Sayangnya, kita sering merayakan ibu sebatas seremoni. Satu hari penuh bunga, lalu sebelas bulan penuh abai. Kita lupa bahwa menghormati ibu bukan hanya soal ucapan manis, melainkan keberanian berbagi beban, menciptakan kebijakan yang adil, dan membangun lingkungan yang manusiawi.

Ibu tak pernah libur karena doa tidak pernah pensiun. Bahkan ketika anak-anaknya telah dewasa dan jauh, namanya tetap disebut pertama dalam setiap sujud. Ia mungkin tak lagi menggenggam tangan, tetapi doanya terus berjalan mendahului langkah.

Seorang sufi berkata, “Surga sering tersembunyi pada mereka yang paling sabar memikul hidup.” Jika demikian, maka tak salah jika surga ada di telapak kaki ibu.

Hari Ibu seharusnya menjadi saat kita berhenti sejenak. Menyadari bahwa sebelum dunia mengajarkan kerasnya hidup, seorang ibu telah lebih dulu mengajarkan cara bertahan dengan cinta.

Dan sampai kapan pun,

ibu akan tetap bersinar.

Bekerja tanpa libur.

Beraktivitas tanpa jeda.

Beramal tanpa syarat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image