Dilema Jodoh: Haruskah Cerminan Diri atau Malah Saling Melengkapi?
Gaya Hidup | 2025-12-21 19:38:49
Dalam pencarian pasangan hidup, banyak orang dihadapkan pada dilema klasik: apakah jodoh adalah seseorang yang mirip dengan kita, atau justru yang berbeda dan saling melengkapi? Narasi populer sering mengangkat gagasan bahwa perbedaanlah yang membuat hubungan menarik. “Dia melengkapi kekuranganku,” menjadi kalimat yang kerap terdengar dalam kisah cinta. Namun, apakah benar perbedaan menjadi pondasi hubungan jangka panjang?
Psikologi sosial menawarkan sudut pandang yang lebih terukur. Myers dan DeWall (2015) menjelaskan bahwa similarity, atau kesamaan, merupakan salah satu prediktor terkuat dalam keberlangsungan hubungan jangka panjang. Kesamaan ini mencakup nilai hidup, sikap, minat, latar belakang sosial, hingga cara memandang dunia. Ketika dua individu memiliki pola pikir dan nilai yang selaras, interaksi cenderung terasa lebih mudah, aman, dan minim konflik mendasar.
Fenomena ini dikenal sebagai similarity-attraction effect, yaitu kecenderungan manusia merasa lebih nyaman dan tertarik pada orang yang mirip dengan dirinya. Penelitian Byrne (1971) menunjukkan bahwa kesamaan sikap dan nilai secara konsisten meningkatkan rasa kedekatan emosional. Hal ini terjadi karena kesamaan memvalidasi identitas diri—kita merasa dipahami tanpa harus banyak menjelaskan.
Namun, gagasan “saling melengkapi” bukan sepenuhnya keliru. Dalam konteks tertentu, perbedaan memang dapat memperkaya hubungan, terutama pada aspek keterampilan atau peran sehari-hari. Masalah muncul ketika perbedaan tersebut menyentuh nilai inti, prinsip hidup, atau kebutuhan emosional. Psikologi menunjukkan bahwa perbedaan pada area fundamental justru meningkatkan potensi konflik kronis dalam jangka panjang.
Ketika seseorang terlalu mengandalkan konsep “melengkapi”, ada risiko tidak disadari. Individu bisa terjebak dalam hubungan yang tidak selaras secara nilai, tetapi dipertahankan atas nama meromantisasi perbedaan. Dalam kondisi ini, konflik sering dianggap sebagai “tantangan cinta”, bukan sinyal ketidaksesuaian. Padahal, penelitian dalam psikologi relasi menunjukkan bahwa konflik nilai yang berulang berkaitan dengan kepuasan hubungan yang rendah dan kelelahan emosional.
Lalu, bagaimana menyikapi dilema ini secara lebih sehat?
Psikologi menyarankan beberapa langkah reflektif. Pertama, bedakan antara kesamaan nilai inti dan perbedaan gaya. Nilai inti mencakup cara memandang komitmen, keluarga, spiritualitas, dan tujuan hidup. Gaya mencakup kebiasaan, preferensi, atau cara mengekspresikan diri. Hubungan yang sehat cenderung dibangun di atas nilai yang selaras, meski gaya bisa berbeda.
Kedua, lakukan refleksi diri sebelum menilai pasangan. Myers menekankan bahwa relasi yang stabil sering kali berakar dari konsep diri yang jelas. Tanyakan pada diri sendiri: nilai apa yang tidak bisa ditawar? kebutuhan emosional apa yang penting bagi saya? Dengan pemahaman diri yang kuat, seseorang lebih mampu menilai apakah hubungan tersebut bertumbuh atau justru menguras energi.
Ketiga, evaluasi hubungan berdasarkan dinamika jangka panjang, bukan hanya perasaan awal. Ketertarikan bisa muncul dari perbedaan, tetapi keberlanjutan hubungan bergantung pada kemampuan berkomunikasi, menyelesaikan konflik, dan bertumbuh bersama.
Pada akhirnya, jodoh bukan sekadar cerminan diri atau sosok yang menutup semua kekurangan kita. Hubungan yang sehat lahir dari keselarasan nilai, kesadaran diri, dan kemauan untuk bertumbuh bersama. Perbedaan bisa memperkaya, tetapi kesamaanlah yang sering kali menjaga hubungan tetap bertahan.
Sehingga mungkin, dilema jodoh tidak pernah benar-benar mengenai mirip atau melengkapi. Ia lebih tentang memilih seseorang yang membuat kita merasa utuh, tenang, dan tetap setia pada nilai yang kita yakini.
Referensi:
Byrne, D. (1971). The Attraction Paradigm. Academic Press.
Myers, D. G., & DeWall, C. N. (2015). Psychology (11th ed.). Worth Publishers.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
