Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ana Fras

Membangun Cara dan Arah Berpikir Generasi Muslim

Sejarah | 2025-12-21 14:04:37

Generasi muda hari ini tumbuh sepenuhnya di ruang digital. Sejak usia dini mereka akrab dengan gawai, media sosial, dan arus informasi yang mengalir tanpa henti. Tantangan terbesar yang mereka hadapi bukan lagi soal akses pengetahuan, melainkan kemampuan memilah, menalar, dan memaknainya secara kritis. Di tengah banjir informasi, justru kejernihan berpikir yang kian langka.

Gambar : AI Generated

Berbagai kajian menunjukkan bahwa dominasi konten digital yang dangkal, sensasional, dan berulang—seperti video singkat berbasis hiburan instan—berdampak pada menurunnya daya fokus dan kemampuan berpikir mendalam. Fenomena yang populer disebut brain rot ini bukan sekadar soal selera hiburan, tetapi menyentuh inti kemandirian berpikir generasi. Ketika nalar terbiasa disuapi potongan informasi tanpa konteks, visi strategis pun menyempit.

Bagi generasi Muslim, persoalan ini memiliki implikasi yang lebih luas. Generasi muda bukan hanya diproyeksikan sebagai individu produktif, tetapi juga sebagai penerus nilai dan pembangun peradaban. Ketika kapasitas berpikir kritis melemah, peran historis generasi berisiko tereduksi menjadi sekadar konsumen tren dan objek pasar digital.

Kondisi ini terbentuk seiring cara ruang digital dijalankan. Platform digital global beroperasi dalam kerangka ekonomi yang menjadikan perhatian manusia sebagai komoditas utama. Algoritma dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna, dengan mengutamakan kecepatan, sensasi, dan kepuasan instan. Dalam logika seperti ini, kedalaman berpikir bukan tujuan, melainkan hambatan.

Lebih jauh, ruang digital global bergerak dalam tatanan yang memisahkan nilai agama dari arah kehidupan publik. Prinsip sekularisme menempatkan agama sebagai urusan personal, sementara urusan strategis—pendidikan, ekonomi, dan budaya—dibangun di atas pertimbangan pragmatis dan materialistis. Akibatnya, Islam sering hadir sebagai identitas simbolik, tetapi tidak berfungsi sebagai kerangka berpikir dalam menilai realitas.

Situasi ini menciptakan paradoks bagi generasi muda Muslim. Di satu sisi, mereka ingin tetap relevan dengan zaman. Di sisi lain, nilai-nilai Islam yang diyakini sering terasa asing di tengah budaya digital yang memuja viralitas. Tidak jarang muncul sikap inferior terhadap ajaran agama sendiri, seolah komitmen terhadap Islam dianggap tidak sejalan dengan modernitas.

Padahal, Islam tidak pernah menolak teknologi. Dalam sejarah peradaban Islam, ilmu pengetahuan dan teknologi justru berkembang pesat ketika dibingkai oleh nilai wahyu. Persoalannya bukan pada alat, melainkan pada cara pandang yang menggunakannya. Teknologi yang tidak diarahkan oleh nilai mudah berubah dari sarana menjadi pengendali.

Di sinilah pentingnya konsep kepemimpinan berpikir Islam (qiyādah fikriyyah islāmiyyah). Kepemimpinan berpikir berarti menjadikan akidah sebagai dasar menilai informasi, tren, dan pilihan hidup. Dalam konteks era digital, ia berfungsi sebagai kompas agar generasi muda tidak silau oleh viralitas dan tidak kehilangan jati diri.

Kepemimpinan berpikir ini dibangun melalui tsaqafah Islam, yakni pengetahuan dan cara pandang yang berakar pada akidah. Tsaqafah Islam tidak berhenti pada aspek ritual, tetapi membentuk pola pikir dan pola sikap dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam menghadapi arus informasi digital. Dengan fondasi ini, generasi muda memiliki ukuran yang jelas untuk menyaring dan menyikapi realitas.

Sejarah Islam menunjukkan bahwa generasi muda selalu memainkan peran sentral dalam perubahan peradaban. Para sahabat Nabi Muhammad ﷺ dibina sejak usia muda dengan pemahaman Islam yang menyeluruh, sehingga tidak hanya saleh secara personal, tetapi juga memiliki kesadaran sosial dan politik. Dalam fase berikutnya, peradaban Islam melahirkan generasi unggul yang menguasai ilmu agama sekaligus sains dan teknologi.

Keberhasilan itu tidak terlepas dari keberadaan institusi politik Islam yang secara historis dikenal sebagai Khilafah, yang memayungi penerapan syariat secara menyeluruh, termasuk dalam sistem pendidikan. Dalam sistem seperti ini, generasi dibina bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan pasar, tetapi untuk menjadi pemikul risalah dan penjaga peradaban.

Tantangan generasi hari ini memang berbeda, tetapi esensinya sama. Generasi muda Muslim membutuhkan lingkungan yang mendukung tumbuhnya kepemimpinan berpikir, bukan sekadar keterampilan teknis. Tanpa itu, mereka mudah terjebak menjadi bagian dari mesin besar kapitalisme digital—aktif, kreatif, tetapi kehilangan arah.

Karena itu, upaya menyelamatkan generasi tidak cukup dengan nasihat moral individual. Ia menuntut kesadaran kolektif untuk mengembalikan Islam sebagai cara pandang hidup yang utuh. Generasi muda perlu dibantu agar mampu menguasai teknologi tanpa menjadi budaknya, dan bergerak di era digital tanpa melepaskan nilai.

Pada akhirnya, kebangkitan generasi Muslim sangat ditentukan oleh keberanian untuk mengembalikan kepemimpinan berpikir Islam sebagai fondasi. Dengan itu, generasi muda dapat kembali tampil sebagai subjek pembangun peradaban, bukan sekadar penonton dalam arus besar zaman.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image