Belajar dari Kebakaran Terra Drone: Mendesak K3 di Industri Teknologi
Teknologi | 2025-12-17 10:14:25
Dunia teknologi kembali diguncang. Kebakaran yang melanda Gedung Terra Drone pada Selasa (9/12) menelan 22 korban jiwa, terdiri atas 15 perempuan dan 7 laki-laki termasuk seorang ibu hamil. Tragedi yang disebabkan karena percikan api dari baterai Lithium Polymer (LiPo) yang rusak ini menjadi alarm keras bagi industri berbasis teknologi untuk meninjau ulang penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Sebuah aspek fundamental yang kerap terpinggirkan di tengah euforia inovasi dan efisiensi.
Insiden akibat kelalaian K3 bukan baru sekali terjadi. Di PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), sejak awal tahun 2023 hingga Mei 2025, setidaknya 43 pekerja meninggal dalam berbagai kecelakaan kerja seperti ledakan tungku, sengatan listrik, kebakaran, hingga kelelahan ekstrem akibat sistem kerja yang tidak manusiawi. Di luar negeri, pada tahun 2024, sebuah pabrik baterai lithium di Hwaseong, Korea Selatan, meledak dan memicu kebakaran besar yang menewaskan 23 pekerja. Kesamaan pola dari berbagai tragedi ini menunjukkan bahwa risiko industri modern tidak lagi bersifat lokal, melainkan sistemik.
Rangkaian kejadian tersebut menegaskan satu hal: penerapan K3 tidak boleh dipandang sebelah mata. Sekali kelalaian saja, bukan hanya merenggut nyawa, melainkan juga kerugian ekonomi yang dialami oleh perusahaan tersebut. Dalam kasus Terra Drone, kerusakan fasilitas, penghentian operasional, hingga investigasi berlapis dari pemerintah tentu memerlukan biaya besar yang tidak pernah terduga. Kerugian seperti ini, menyebabkan citra perusahaan di mata publik menurun. Reputasi perusahaan yang dibangun bertahun-tahun dapat runtuh dalam satu peristiwa. Semua kerugian tersebut sejatinya dapat diminimalkan jika perusahaan menempatkan keselamatan sebagai prioritas utama, bukan sekadar formalitas administratif.
Industri berbasis teknologi sendiri memiliki ciri khas kerja yang berbeda dibanding sektor konvensional. Kecepatan inovasi, tuntutan efisiensi, serta budaya kerja yang serba cepat kerap menjadi penentu utama pengambilan keputusan. Dalam situasi seperti ini, aspek keselamatan diprioritaskan dalam nomor sekian. Padahal, penggunaan baterai lithium, sistem kelistrikan kompleks, serta ruang kerja tertutup menyimpan risiko tinggi yang tidak dapat ditangani dengan pendekatan K3 yang minimalis. Ketika keselamatan tidak tumbuh seiring dengan kemajuan teknologi, potensi kecelakaan justru meningkat seiring berkembangnya industri.
Secara konseptual, Mangkunegara (2009:160) mendefinisikan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah kondisi yang aman atau selamat dari penderitaan, kerusakan atau kerugian ditempat kerja. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa K3 adalah cara untuk melindungi para pekerja dari bahaya maupun ancaman kecelakaan kerja di industri. Namun, di era teknologi yang semakin maju, banyak industri memahami K3 sebatas prosedur administratif. Padahal substansinya jauh lebih penting.
Hak Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) bagi para pekerja juga telah dinyatakan pada Pasal 86 UU ayat 1-3 Nomor 13 Tahun 2003 yang menegaskan bahwa setiap pekerja/ buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja untuk melindungi keselamatan pekerja/ buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal. K3 sendiri mencakup identifikasi potensi bahaya, penilaian risiko, serta pengendalian melalui Standar Operasional Prosedur (SOP), penyediaan alat pelindung diri, peralatan keamanan, dan pelatihan rutin. Sektor teknologi yang berhadapan dengan baterai lithium, perangkat elektronik bertegangan tinggi, dan ruang kerja tertutup membuat penerapan K3 menjadi kebutuhan fundamental, bukan pelengkap.
Di sisi lain, pekerja kerap berada pada posisi paling rentan dalam relasi kerja. Banyak pekerja yang belum memiliki pengetahuan tentang K3 dan Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) secara benar, kurangnya informasi risiko keselamatan, serta tekanan target membuat banyak pekerja tidak memiliki ruang untuk menolak kondisi kerja yang berbahaya. Dalam situasi demikian, kecelakaan bukan semata akibat kelalaian individu, melainkan hasil dari sistem kerja yang gagal melindungi mereka. Karena itu, perusahaan perlu membangun budaya K3 dan bertanggung jawab dalam memastikan para pekerja memiliki hak untuk bersuara dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait keselamatan.
Masalahnya, pemahaman yang keliru terhadap K3 tersebut telah membentuk praktik kerja yang abai terhadap risiko. Maka yang perlu diubah pertama-tama bukan sekadar prosedur, melainkan cara pandang perusahaan terhadap keselamatan kerja. K3 harus diposisikan sebagai bagian dari tanggung jawab moral perusahaan terhadap pekerja, bukan beban operasional. Standar keselamatan harus disusun berbasis risiko nyata di lapangan, disertai audit berkala dan pelatihan yang aplikatif, bukan formalitas seremonial. Pembuatan jalur evakuasi yang memadai, sistem ventilasi yang layak, dan kelengkapan fasilitas penyelamatan menjadi standar dasar dalam setiap kegiatan industri.
Perubahan juga menuntut peran aktif Pemerintah Indonesia sebagai pengawas. Pengawasan K3 tidak cukup dilakukan setelah tragedi terjadi. Inspeksi rutin, keterbukaan hasil pemeriksaan, serta penegakan sanksi yang tegas perlu dijalankan secara konsisten agar keselamatan tidak sekadar menjadi jargon. Tanpa kehadiran negara yang kuat, tanggung jawab keselamatan akan selalu kalah oleh kepentingan efisiensi dan target produksi.
Tragedi kebakaran Terra Drone seharusnya tidak berhenti sebagai catatan duka semata. Ia mesti dibaca sebagai pembelajaran dan peringatan serius bagi kita bahwa keselamatan kerja tidak boleh tertinggal di belakang laju inovasi teknologi. Ketika nyawa manusia menjadi taruhan, kemajuan teknologi kehilangan artinya. Tanpa komitmen nyata dalam penerapan K3 baik oleh perusahaan maupun pemerintah, kecelakaan serupa hanya akan terus berulang dengan nama dan korban yang berbeda. Di titik inilah, keselamatan kerja bukan lagi pilihan, melainkan keharusan moral yang menentukan arah peradaban industri kita.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
