Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Radyka Adhi

Jebakan Inovasi dan Krisis Esensi Pendidikan Jarak Jauh

Pendidikan dan Literasi | 2025-12-17 08:27:10

Tiga tahun pasca-pandemi, model Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) yang dulu digadang-gadang sebagai "revolusi pendidikan" kini menghadapi tantangan terbesarnya: krisis esensi. Inovasi teknologi yang seharusnya menjadi alat untuk memperkuat pembelajaran kini justru berpotensi menjadi jebakan yang mengaburkan tujuan utama pendidikan itu sendiri.

Kita terlalu fokus pada kebaruan (novelty) teknologi—mulai dari virtual reality di kelas, AI asisten guru, hingga platform gamification—tetapi gagal memastikan bahwa perangkat canggih tersebut benar-benar menghasilkan mutu dan kedalaman interaksi belajar.

Kehilangan Konteks, Kehilangan Koneksi

Salah satu kerugian terbesar dari obsesi terhadap inovasi PJJ adalah hilangnya konteks dan koneksi manusiawi. Pengajaran daring seringkali didesain untuk efisiensi transfer informasi, bukan untuk pengembangan karakter atau kemampuan berpikir kritis.

Jika kelas daring hanya berfokus pada penyelesaian modul dan kuis otomatis, kita menciptakan pelajar yang terampil dalam mengisi kotak, bukan yang mahir dalam berdebat, berempati, atau memecahkan masalah kompleks yang memerlukan interaksi sosial.

PJJ yang efektif seharusnya memperkaya, bukan menggantikan, peran guru sebagai mentor dan fasilitator. Namun, yang terjadi di banyak institusi adalah dorongan untuk otomatisasi proses belajar, yang pada akhirnya meminggirkan dialog, kehangatan, dan tekanan positif yang tercipta dalam ruang kelas fisik. Ketika esensi dari pergulatan intelektual digantikan oleh kecepatan algoritma, yang hilang adalah kualitas berpikir.

Metrik Kualitas yang Keliru

Kesalahan lainnya terletak pada metrik keberhasilan yang kita gunakan. Institusi pendidikan cenderung mengukur keberhasilan PJJ berdasarkan:

 

  1. Keterlibatan (Engagement): Berapa lama siswa online atau berapa banyak klik yang mereka lakukan.
  2. Aksesibilitas: Sejauh mana teknologi dapat menjangkau daerah terpencil.
  3. Efisiensi Biaya: Pengurangan biaya operasional kampus.

Ketiga metrik ini penting, tetapi tidak satu pun yang secara langsung mengukur apakah siswa benar-benar memahamimateri, menginternalisasi nilai, atau siap menghadapi dunia kerja. PJJ berkualitas tidak hanya tentang delivery konten, tetapi tentang transformasi pengetahuan.

Jalan Keluar: Kembali ke Tujuan Utama

Untuk menyelamatkan esensi pendidikan jarak jauh, kita perlu melakukan reset mentalitas:

 

  • 1. Jadikan Teknologi sebagai Jembatan, Bukan Tujuan: Inovasi harus didasarkan pada kebutuhan pedagogis, bukan karena tren pasar. Guru harus kembali menjadi desainer kurikulum, menggunakan teknologi untuk memfasilitasi diskusi mendalam, bukan hanya menyampaikan kuliah satu arah.
  • 2. Prioritaskan Kompetensi Non-Teknis: PJJ harus didesain untuk memaksimalkan keterampilan yang sulit diukur oleh AI: kolaborasi, komunikasi, resolusi konflik, dan kecerdasan emosional. Ini bisa dilakukan melalui proyek berbasis tim virtual yang menantang dan sesi live yang wajib interaktif.
  • 3. Kembangkan Pengukuran Mutu yang Holistik: Institusi harus beralih dari metrik klik menjadi metrik dampak. Misalnya, mengukur kemampuan lulusan menerapkan pengetahuan dalam skenario nyata, bukan sekadar nilai ujian.

Pendidikan jarak jauh adalah masa depan, tetapi hanya jika kita berhenti terperangkap dalam kemasan inovasi teknologinya. Kita harus berani bertanya: apakah kecanggihan ini benar-benar membuat pelajar kita menjadi manusia yang lebih bijaksana, atau hanya pengguna platform yang lebih lihai? Jawabannya akan menentukan apakah PJJ akan menjadi revolusi sejati atau sekadar inovasi yang kehilangan arah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image