Sumatra Pulau yang Terluka oleh Marahnya Bumi - Siapa yang Bertanggung Jawab?
Agama | 2025-12-17 00:09:05Oleh Lita Martalia, kontributor Retizen Republika
Sumatra adalah pulau yang dianugerahi alam luar biasa: hutan tropis yang luas, garis pantai yang panjang, serta kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Namun, keindahan itu berulang kali diguncang oleh bencana. Gempa bumi berkekuatan 6,2 magnitudo yang melanda Aceh pada 7 November 2024 kembali mengingatkan kita bahwa Sumatra hidup di wilayah yang rawan. Puluhan nyawa melayang, ribuan rumah rusak, dan trauma kembali tertinggal.
Bencana ini tentu bukan yang pertama. Tsunami Aceh 2004, gempa berulang di Sumatra Barat, kebakaran hutan di Riau, hingga banjir di berbagai daerah menunjukkan pola yang terus berulang. Pertanyaannya, apakah semua ini semata-mata " takdir alam", atau ada peran manusia yang memperparah luka Sumatra?
Sebagai wilayah yang berada di jalur cincin api, Sumatra memang rentan secara geologis dan hidrometeorologis. Namun, kerentanan itu menjadi semakin besar ketika mitigasi diabaikan. Data penanggulangan bencana menunjukkan bahwa ratusan kejadian besar telah terjadi dalam dua dekade terakhir, dengan kerugian ekonomi yang sangat besar. Di balik angka-angka tersebut, terdapat kegagalan kolektif dalam mengelola risiko.
Pertama, pemerintah memegang tanggung jawab utama. Mitigasi bencana sering kali kalah prioritas dibanding pembangunan fisik. Sistem peringatan diri belum merata, tata ruang masih longgar, dan anggaran kebencanaan relatif minim. Di saat yang sama, deforestasi ilegal di sejumlah wilayah Sumatra terus berlangsung, memperbesar risiko banjir dan longsor. Regulasi sebenernya ada, tetapi lemahnya pengawasan dan praktik birokrasi yang berbelit membuat kebijakan sering berhenti di atas kertas.
Kedua, korporasi dan industri juga tidak bisa lepas tangan. Ekspansi perkebunan dan pertambangan telah mengubah bentang alam Sumatra secara drastis. Kebakaran hutan, degradasi lahan gambut, dan hilangnya kawasan resapan air adalah dampak nyata dari eksploitasi berlebihan. Keuntungan ekonomi memang mengalir, tetapi biaya ekologisnya ditanggung masyarakat. Tanpa penegakan hukum dan kewajiban pemulihan lingkungan yang tegas, bencana akan terus menjadi "harga murah" dari pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, masyarakat juga memiliki peran penting. Minimnya literasi kebencanaan membuat risiko semakin besar. Pembangunan di daerah rawan, urbanisasi tanpa perencanaan serta rendahnya kesiapsiagaan saat bencana menunjukkan bahwa edukasi mitigasi belum menjadi budaya. Padahal, pengetahuan sederhana tentang evakuasi dan kesiapsiagaan dapat menyelamatkan banyak nyawa.
Pada akhirnya, bencana di Sumatra bukan semata-mata soal alam yang murka. Ia adalah cermin dari relasi manusia dengan lingkungannya. Pemerintah yang abai, korporasi yang eksploitatif, dan masyarakat yang kurang teredukasi membentuk lingkaran risiko yang berbahaya.
Sumatra tidak ditakdirkan untuk terus terluka. Dengan kebijakan lingkungan yang tegas, tanggung jawab industri, serta pendidikan kebencanaan yang berkelanjutan, pulau ini dapat menjadi lebih tangguh. Pertanyaannya kini bukan lagi siapa yang salah, melainkan siapa yang mau mulai bertanggung jawab. Karena Sumatra adalah rumah kita bersama, dan menjaga keselamatannya adalah Kewajiban kita semua.
Artikel ini merupakan opini pribadi penulis.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
