Ruang Publik yang Kian Menyempit di Kehidupan Sehari-hari
Pendidikan dan Literasi | 2025-12-16 16:48:14Ruang publik sebenarnya ada di sekitar kita seperti taman kota, halte bus, perpustakaan, atau bahkan hanya bangku kosong di sudut kampus. Tetapi dalam kehidupan generasi saat ini, tempat-tempat ini secara bertahap kehilangan perannya. Bukan karena tempat-tempat itu benar-benar menghilang, tetapi karena semakin sulit untuk menggunakan ruang publik untuk bertemu, mengobrol, atau sekadar duduk dan berpikir tanpa harus mengeluarkan uang.
Situasi ini cukup terasa bagi mahasiswa dan kalangan muda. Ketika mereka ingin mengerjakan tugas bersama maupun sekadar berdiskusi informal, pilihan tempat seringkali jatuh ke kafe. Bukan karena mereka ingin keluar, tetapi karena ruang publik yang ada tidak memberikan banyak dukungan. Beberapa memiliki jam buka terbatas, fasilitas minimal, atau lokasi yang tidak nyaman. Pada akhirnya, ruang-ruang yang seharusnya dapat diakses oleh semua orang digantikan oleh ruang-ruang yang menuntut konsumsi.
Secara bertahap, kondisi ini memengaruhi cara kita berhubungan satu sama lain. Ruang-ruang pertemuan menjadi fungsional dan singkat. Orang-orang datang, menyelesaikan urusan, lalu pergi. Kesempatan untuk mengobrol atau berdiskusi santai tanpa tujuan dan tanpa tekanan waktu dan uang menjadi semakin langka. Ruang publik, yang dulunya merupakan tempat kebersamaan berkembang, kini terasa kaku dan terbatas.
Namun, tidak semua ruang publik benar-benar mati. Beberapa justru berusaha beradaptasi. Perpustakaan modern, misalnya, seperti yang ada di Kampus B Universitas Airlangga, bukan hanya sekadar deretan rak buku. Kini perpustakaan ini memiliki ruang baca yang lebih nyaman, koleksi digital yang mudah diakses, dan bahkan ruang diskusi yang dapat digunakan bersama.
Tempat-tempat seperti ini memberikan perasaan bahwa mungkin ruang publik masih dapat berkembang asalkan benar-benar dirancang untuk digunakan, bukan hanya untuk dipamerkan.Namun, sebagian besar orang menggunakan ruang digital sebagai pengganti. Media sosial dan grup obrolan memudahkan komunikasi, tetapi tidak ada yang mengalahkan pertemuan fisik. Diskusi melalui layar seringkali terasa hambar, penuh dengan kemungkinan kesalahpahaman, dan cepat memanas. Ada sesuatu yang hanya dapat dibangun dengan mempertemukan orang-orang di satu tempat.
Saat ini, kota-kota bergerak lebih cepat dan efisien, tetapi cenderung melupakan pentingnya membangun ruang untuk beristirahat. Seiring berkurangnya atau semakin tidak ramahnya ruang publik, kita terbiasa, sedikit demi sedikit, untuk hidup sendirian. Bagaimanapun, ruang publik tidak lain adalah ruang bersama yang mengajarkan kita untuk belajar bagaimana hidup berdampingan. Jika ruang-ruang ini terus menyusut, yang hilang bukanlah hanya tempat berkumpul gratis, tetapi juga kesempatan untuk membangun kebersamaan. Dalam laju kehidupan yang cepat saat ini, menyelamatkan ruang publik berarti melestarikan sisi kemanusiaan dari kehidupan kota itu sendiri.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
