Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image arkan rabbani

Kayu yang Terbawa Banjir Sumatera: Antara Narasi Alami, Jejak Manusia, dan Krisis Lingkungan yang Terabaikan

Info Terkini | 2025-12-16 12:05:55

Banjir besar yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera kembali memunculkan pemandangan yang berulang namun selalu mengusik nalar publik: sungai berubah menjadi arus cokelat pekat yang menyeret bukan hanya lumpur dan puing, tetapi juga gelondongan kayu berukuran besar. Dalam banyak dokumentasi warga, terlihat kayu-kayu tersebut tersangkut membentuk limpungan, menyumbat alur sungai, memperparah luapan air, dan menghantam permukiman. Perdebatan pun muncul. Apakah kayu-kayu itu semata pohon tumbang alami akibat hujan ekstrem, atau justru jejak pembalakan liar yang selama ini tersembunyi di hulu?

Narasi resmi yang kerap disampaikan pada fase awal bencana cenderung menenangkan: kayu berasal dari pohon tumbang alami, terbawa longsor, atau runtuh karena tanah jenuh air. Penjelasan ini memang tidak sepenuhnya keliru. Dalam ekosistem hutan tropis, pohon tumbang adalah bagian dari siklus alami, terlebih ketika curah hujan melonjak drastis. Namun masalah muncul ketika narasi “alami” ini digunakan secara general dan final, seolah menutup kemungkinan faktor manusia, padahal bukti visual dan konteks ekologis menunjukkan cerita yang jauh lebih kompleks.

Salah satu pemicu kecurigaan publik adalah ditemukannya nomor atau tanda tertentu pada batang kayu yang terbawa banjir. Bagi masyarakat awam, nomor ini segera diasosiasikan dengan pembalakan: kayu ditebang, diberi tanda, lalu hanyut saat banjir datang. Dari sini lahir klaim viral bahwa kayu-kayu tersebut pasti hasil pembalakan liar. Namun di titik ini, kehati-hatian menjadi penting. Keberadaan nomor pada kayu bukan bukti tunggal bahwa kayu tersebut ilegal. Dalam tata kelola kehutanan Indonesia, penandaan kayu juga dikenal dalam sistem legalitas dan pelacakan asal usul kayu. Artinya, tanda bisa mengindikasikan kayu legal, kayu ilegal, atau bahkan kayu yang dokumennya disalahgunakan. Tanpa verifikasi dokumen dan rantai pasok, nomor pada kayu adalah petunjuk awal, bukan vonis.

Meski demikian, menolak klaim pembalakan liar secara mentah-mentah juga merupakan kesalahan lain yang tak kalah berbahaya. Ukuran gelondongan kayu yang besar, jumlahnya yang masif, serta pola seragam pada bekas potongan menimbulkan pertanyaan serius. Pohon yang tumbang alami jarang menghasilkan kayu dengan panjang dan diameter seragam dalam jumlah besar pada satu peristiwa. Di sinilah perspektif ekologis dan kehutanan menjadi relevan: aktivitas manusia di hulu, baik legal maupun ilegal, meningkatkan kerentanan daerah aliran sungai (DAS) terhadap banjir bandang.

Masalah kunci bukan hanya pada asal kayu, tetapi pada limpungan. Ketika kayu-kayu besar terakumulasi di sungai, mereka membentuk semacam bendungan dadakan. Air tertahan, tekanan meningkat, dan ketika limpungan itu jebol, gelombang air bercampur kayu menghantam wilayah hilir dengan daya rusak berlipat. Dalam banyak kasus banjir bandang, kerusakan terparah justru terjadi bukan semata karena volume air, melainkan karena kombinasi air, kayu, dan material lain yang bergerak serentak. Dengan kata lain, kayu bukan sekadar “korban banjir”, melainkan aktor yang memperbesar dampak bencana.

Di sinilah pembalakan liar, jika memang terjadi, menjadi isu lingkungan yang jauh lebih serius daripada sekadar pelanggaran hukum kehutanan. Penebangan yang masif mengurangi daya ikat tanah, mempercepat limpasan air hujan, dan meningkatkan sedimentasi sungai. Ketika hujan ekstrem datang, DAS yang sudah rapuh tak mampu lagi menahan beban ekologis. Banjir pun berubah dari fenomena alam menjadi bencana sosial.

Namun opini publik juga perlu diarahkan pada tuntutan yang tepat. Alih-alih saling menuduh berdasarkan potongan video, tekanan seharusnya diarahkan pada proses verifikasi yang transparan. Pemeriksaan forensik kayu, pelacakan nomor ke dokumen resmi, audit izin penebangan di wilayah hulu, serta pembukaan data kepada publik adalah langkah minimal untuk memulihkan kepercayaan. Tanpa itu, setiap banjir akan terus melahirkan siklus yang sama: viral, saling sanggah, lalu dilupakan hingga bencana berikutnya.

Kasus kayu dalam banjir Sumatera seharusnya menjadi cermin kegagalan kita memandang bencana secara struktural. Banjir tidak berdiri sendiri; ia adalah hasil dari relasi timpang antara manusia dan lingkungan. Entah kayu-kayu itu hasil pembalakan liar atau sisa aktivitas legal yang lalai, faktanya tetap sama: tata kelola lingkungan kita belum cukup tangguh menghadapi krisis iklim dan hujan ekstrem.

Pada akhirnya, pertanyaan terpenting bukan hanya “kayu ini dari mana?”, tetapi “mengapa sistem kita memungkinkan kayu dalam jumlah sebesar ini berada di jalur bencana?”. Selama pertanyaan kedua tidak dijawab, perdebatan tentang nomor pada kayu hanya akan menjadi pengalihan dari masalah yang lebih mendasar: rusaknya hubungan antara kebijakan, ekonomi, dan ekologi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image