Air Bor vs Visual Gunung: Benarkah Etis?
Edukasi | 2025-12-14 17:50:03
Perdebatan mengenai sumber air minum dalam kemasan kembali mencuat setelah publik mengetahui bahwa salah satu produsen air mineral mengambil air dari akuifer dalam melalui sumur bor, bukan dari mata air permukaan sebagaimana tergambar dalam iklannya. Visual gunung yang megah dan aliran air jernih seketika dianggap menyesatkan. Namun, apakah benar representasi visual tersebut melampaui batas etika periklanan? Atau justru polemik ini muncul karena kita memaknai iklan secara terlalu literal?
Dalam Kode Etik Pariwara Indonesia (KEPI), khususnya pasal 1.2, 1.3, dan 1.4, ditegaskan bahwa iklan tidak boleh menipu atau memberikan klaim yang menyesatkan. Namun, KEPI juga mengakui adanya ruang bagi dramatiasi visual dan hiperbola selama tidak mengubah fakta utama mengenai produk. Di titik inilah letak perdebatan. Bagi sebagian masyarakat, visualisasi gunung harus diartikan sebagai proses pengambilan air secara langsung dari mata air permukaan. Padahal, dalam konteks periklanan, visual seperti itu lebih berfungsi sebagai representasi simbolik ketimbang dokumentasi teknis.
Klarifikasi resmi dari perusahaan memberikan penjelasan yang lebih komprehensif. Air yang diambil melalui sumur bor bukanlah air permukaan, melainkan air akuifer dalam yang secara ilmiah telah dikonfirmasi oleh Universitas Gadjah Mada dan Universitas Padjajaran sebagai bagian dari sistem hidrologi pegunungan. Air pada kedalaman tersebut cenderung lebih stabil kualitasnya, terlindung dari aktivitas permukiman, dan memenuhi syarat air minum layak konsumsi. Dengan demikian, walaupun metode pengambilannya berbeda dari yang dibayangkan sebagian besar publik, sumber geologisnya tetap berada dalam kawasan pegunungan.
Dalam konteks ini, visual gunung dalam iklan dapat dipahami sebagai metafora dari sumber air tersebut, bukan sebagai klaim literal mengenai proses pengambilannya. Dunia periklanan memang bekerja dengan bahasa simbolik. Banyak iklan produk lain mulai dari sabun hingga makanan menggunakan gambaran hiperbolis untuk menyampaikan esensi kualitas produknya. Meminta iklan menggambarkan proses secara teknis dan detail sama halnya dengan meminta film animasi tunduk sepenuhnya pada hukum fisika; ia justru akan kehilangan fungsi komunikatifnya.
Karena itu, dramatiasi visual selama tidak bertentangan dengan fakta yang terverifikasi masih dapat diterima. Polemik air bor dan gunung dalam iklan ini justru memperlihatkan bagaimana publik kerap terjebak pada persepsi visual tanpa mempertimbangkan konteks ilmiah yang mendasarinya. Padahal, dalam banyak kasus, persoalan yang lebih serius dalam periklanan bukan terletak pada metafora visual, tetapi pada klaim otoritatif yang tidak sepenuhnya didukung bukti.
Di tengah perdebatan ini, ada iklan lain dari produk serupa yang pernah menyatakan dirinya sebagai “air minum nomor satu menurut dokter”. Klaim seperti ini memberi kesan adanya dukungan lembaga kesehatan atau asosiasi profesi, padahal tidak ada informasi publik yang menjelaskan bentuk penilaian atau kajian yang menjadi dasar klaim tersebut. Dalam konteks KEPI, penggunaan otoritas ilmiah atau medis menuntut verifikasi yang ketat. Tanpa dukungan data terbuka, klaim semacam ini berpotensi lebih menyesatkan dibandingkan visual gunung yang masih berpijak pada fakta hidrologis.
Perbedaan antara hiperbola yang wajar dan klaim yang menyesatkan penting untuk ditegaskan. Hiperbola visual seperti gunung hijau, aliran air jernih, atau gambaran kesegaran adalah bahasa kreatif yang sejak lama menjadi bagian dari industri periklanan. Ia membantu menyampaikan pesan secara ringkas, mudah dipahami, dan menarik. Sementara itu, klaim berbasis otoritas yang tidak terverifikasi justru dapat membangun persepsi keunggulan yang tidak berdasar dan berpotensi merugikan konsumen.
Melihat keseluruhan dinamika ini, dapat disimpulkan bahwa persoalan air bor versus visual gunung sebenarnya bukanlah pelanggaran etika iklan. Fakta ilmiah menunjukkan bahwa air akuifer dalam memang bagian dari sistem air pegunungan, sehingga representasi visualnya masih berada dalam batas yang dapat dipertanggungjawabkan. Yang lebih penting adalah memastikan bahwa iklan tidak membuat klaim kesehatan atau keunggulan yang tidak didukung bukti kuat.
Pada akhirnya, etika periklanan bukan ditentukan oleh seberapa literal visual yang ditampilkan, tetapi oleh sejauh mana pesan utama tetap berlandaskan fakta. Perdebatan semacam ini penting sebagai refleksi bersama agar publik semakin cermat membaca pesan komersial, dan pelaku industri tetap menjaga kejujuran dalam komunikasi mereka. Kreativitas dalam iklan tidak perlu dimatikan, tetapi harus diarahkan untuk tetap berpijak pada kebenaran, meskipun dikemas dalam bahasa metaforis yang menjadi ciri khas dunia periklanan.
Reporter: Nurul A’ini/ KPI 5 B
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
