Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Wuri Syaputri

Bahasa Gaul Merusak Bahasa Indonesia?

Eduaksi | 2025-12-14 00:24:54
Ilustrasi gambar dibuat oleh AI

Di banyak ruang pergaulan anak muda Indonesia, ada satu pola bahasa yang mudah dikenali: kalimat Indonesia yang disisipi kata atau frasa bahasa Inggris. Di kafe, di ruang kelas, maupun di kolom komentar media sosial, ungkapan seperti ‘sorry gue telat’, ‘lagi insecure banget’, atau ‘capek banget, literally’ terdengar dan terbaca hampir setiap hari. Di satu sisi, campur-campur bahasa ini membuat obrolan terasa santai dan akrab. Namun, tidak sedikit orang yang khawatir, apakah kebiasaan ini berarti bahasa Indonesia baku sedang ‘kalah’ di rumahnya sendiri.

Pertanyaan pentingnya: apakah benar bahasa gaul dan bahasa campuran ini merusak bahasa Indonesia, atau jangan-jangan justru merupakan bagian wajar dari dinamika masyarakat dwibahasa?

Penelitian sosiolinguistik beberapa tahun terakhir memberi gambaran yang lebih tenang. Studi eksperimental dan deskriptif mengenai alih kode generasi Z yang dimuat dalam jurnal ELTR meneliti percakapan anak muda Indonesia di media sosial. Hasilnya menunjukkan bahwa alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris dan bahasa daerah sangat dominan di WhatsApp, Instagram, dan YouTube. Namun, perpindahan bahasa itu bukan terjadi sembarangan. Peneliti menemukan bahwa bahasa campuran dipakai untuk tujuan-tujuan tertentu: membangun keakraban, menandai kedekatan kelompok, menambah efek humor, serta memberi kesan modern dan ‘up to date’ di mata teman sebaya. Dengan kata lain, pencampuran bahasa tidak hanya soal ‘ikut tren’, tetapi terkait erat dengan fungsi sosial komunikasi.

Riset lain yang dimuat dalam jurnal Acuity dan beberapa jurnal pendidikan bahasa Inggris menggarisbawahi fungsi bahasa campuran di media sosial visual seperti Instagram dan TikTok. Studi-studi ini mendokumentasikan bahwa pembuat konten sengaja menyisipkan kata atau frasa bahasa Inggris di tengah kalimat Indonesia untuk menarik perhatian, menyesuaikan diri dengan gaya global, dan membangun citra sebagai generasi muda yang terhubung dengan dunia internasional. Dalam banyak kasus, struktur kalimat utama tetap memakai bahasa Indonesia; unsur Inggris hadir sebagai penanda gaya dan nuansa, bukan menggantikan bahasa Indonesia sepenuhnya.

Di luar ruang digital, penelitian fenomenologis tentang mixing language di kalangan remaja Jakarta Selatan memberikan lapisan penjelasan lain. Studi ini menemukan bahwa campur kode Indonesia–Inggris telah menjadi bagian dari gaya hidup urban dan identitas kelas menengah. Remaja yang menjadi responden menggambarkan penggunaan bahasa campuran sebagai cara untuk mengekspresikan diri, menunjukkan kedekatan dengan budaya populer, sekaligus memperlihatkan posisi sosial mereka di antara teman sebaya. Pencampuran bahasa, dalam konteks ini, tidak dilihat sebagai bentuk ‘ketidakmampuan berbahasa Indonesia’, melainkan sebagai strategi simbolik untuk memasuki komunitas tertentu.

Lalu, bagaimana sikap masyarakat terhadap fenomena ini? Penelitian sikap bahasa pengguna Twitter Indonesia terhadap bahasa Inggris memberikan jawaban yang cukup menarik. Studi tersebut menemukan bahwa mayoritas responden memandang positif penggunaan bahasa Inggris dan code mixing di dunia maya. Mereka menilai bahwa campur kode dapat membuat pesan terasa lebih ekspresif dan relevan dengan isu global, walaupun sebagian responden tetap menyimpan kekhawatiran bahwa kemampuan berbahasa Indonesia baku di kalangan anak muda bisa menurun jika tidak diasah secara khusus.

Kajian lain yang dipublikasikan oleh Universitas Indonesia melihat fenomena ini dari sudut pandang identitas nasional. Peneliti menafsirkan code mixing bukan sebagai ancaman langsung bagi bahasa Indonesia, melainkan sebagai salah satu bentuk identitas keindonesiaan yang majemuk di era global. Selama bahasa Indonesia tetap digunakan sebagai bahasa utama di pendidikan, administrasi, dan hukum, keberadaan bahasa Inggris dan bahasa campuran di ranah informal justru mencerminkan kemampuan penutur Indonesia beroperasi dalam lebih dari satu sistem bahasa.

Meski begitu, kekhawatiran bahwa bahasa Indonesia baku akan tergeser tentu tidak boleh diabaikan begitu saja. Studi mengenai lanskap linguistik di sekolah menengah Indonesia menemukan bahwa bahasa Indonesia masih menjadi bahasa dominan pada papan nama dan informasi resmi, sementara bahasa Inggris berperan sebagai pelengkap dan penanda prestise. Temuan ini memberi sinyal bahwa di ranah formal, bahasa Indonesia belum ditinggalkan. Namun, penelitian lain tentang sikap mahasiswa terhadap code mixing dosen di kelas menunjukkan bahwa meskipun mahasiswa menerima pencampuran bahasa sebagai alat penjelas, mereka tetap mengharapkan bagian inti materi disampaikan dalam bahasa Indonesia yang jelas dan runtut. Artinya, penutur muda masih menempatkan bahasa Indonesia baku sebagai rujukan ketika kejelasan dan kewibawaan diperlukan.

Temuan-temuan tersebut mengarah pada satu kesimpulan penting: klaim bahwa bahasa gaul dan campur-campur otomatis ‘merusak’ bahasa Indonesia tidak sepenuhnya didukung oleh data. Yang terlihat justru adalah masyarakat yang makin mahir beralih antara beberapa ragam Bahasa yaitu bahasa Indonesia baku, bahasa gaul, bahasa daerah, dan bahasa Inggris yang sesuai dengan situasi dan tujuan komunikasi.

Karena itu, mungkin pertanyaannya perlu digeser. Bukan lagi ‘apakah bahasa gaul merusak bahasa Indonesia’, melainkan ‘apakah penutur muda masih diberi kesempatan dan pelatihan untuk menguasai bahasa Indonesia baku’. Jika generasi sekarang mampu menulis artikel ilmiah, surat lamaran kerja, dan dokumen resmi dengan bahasa Indonesia yang baik, sambil tetap bebas bermain-main dengan bahasa di media sosial, maka bahasa gaul justru bisa dibaca sebagai tanda kreativitas, bukan kemerosotan. Tantangan bagi dunia pendidikan dan media adalah memastikan bahwa kedua dunia ini yaitu dunia bahasa santai dan dunia bahasa baku yang sama-sama dirawat, sehingga bahasa Indonesia tetap hidup, luwes, dan berwibawa di rumahnya sendiri.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image