Krisis Literasi Digital: Mengapa Pengguna Melek Teknologi tetapi Tidak Melek Informasi
Eduaksi | 2025-12-12 08:48:34
Pendahuluan
Ada sebuah ironi yang sering kali kita tidak sadari: nyaris semua orang saat ini memiliki keterampilan menggunakan perangkat, tetapi hanya sedikit yang benar-benar bisa memahami, mengevaluasi, dan mengkritisi informasi yang mereka terima. Kita berada dalam masyarakat yang menghabiskan berjam-jam di platform sosial, namun tetap terjebak dalam berita palsu, informasi yang keliru, dan pandangan yang superfisial. Ini bukan sekadar masalah "kurangnya pendidikan". Ini adalah gejala dari sesuatu yang lebih mendalam: pengguna yang paham teknologi tetapi payah dalam pemahaman informasi.
Isunya bukan pada keterampilan teknis — hampir semua individu mampu mengoperasikan suatu aplikasi. Tantangannya terletak pada cara kita mendalami pesan, cara kita memilih konten, serta bagaimana platform digital mempengaruhi cara kita melihat dunia. Krisis literasi digital bukan muncul dari kurangnya pengetahuan, melainkan disebabkan oleh kebiasaan, kecenderungan kognitif, dan ekosistem algoritma yang lebih mengutamakan impuls daripada pemahaman.
Kerangka Teoretis
1. Information Processing Theory
Teori ini memandang manusia sebagai pemroses informasi dengan kapasitas terbatas. Di media sosial, arus informasi terlalu cepat, terlalu banyak, dan terlalu dangkal. Pengguna tidak menganalisis; mereka bereaksi. Akibatnya, informasi diterima bukan karena benar, tetapi karena mudah dicerna atau sesuai dengan emosi saat itu. Ini membuka jalan bagi misinformasi untuk menyebar lebih cepat daripada kebenaran.
2. Uses and Gratifications
Fakta yang sering diabaikan: sebagian besar pengguna media sosial tidak mencari informasi. Mereka mencari hiburan, sensasi, teman, atau pembenaran atas pandangan yang sudah mereka punya. Literasi digital runtuh bukan karena kurangnya kemampuan membaca, tetapi karena motivasi konsumsi konten bertentangan dengan kebutuhan untuk berpikir kritis. Orang ingin merasa nyaman, bukan benar.
3. Filter Bubble & Echo Chamber
Algoritma mengurung pengguna dalam ruang gema (echo chamber) yang menampilkan hanya konten sesuai preferensi mereka. Itu berarti pengguna jarang atau bahkan tidak pernah bertemu gagasan berbeda. Pemahaman mereka tentang realitas menjadi sempit, dipoles oleh algoritma, dan akhirnya membentuk ilusi bahwa “dunia memang seperti itu”. Ini bukan literasi; ini ketergantungan informasi yang dikurasi oleh mesin.
4. Cognitive Bias Theory
Bias kognitif memperburuk situasi:
- Confirmation bias — pengguna hanya percaya apa yang ingin mereka percaya.
- Emotional bias — konten yang membangkitkan emosi tinggi dianggap lebih penting.
- Availability heuristic — apa yang muncul di beranda dianggap representasi kenyataan.
Akhirnya, pengguna merasa “pintar” karena sering online, padahal sebenarnya mereka hanya semakin tersesat dalam bias yang tidak mereka sadari.
Analisis: Kenapa Krisis Literasi Digital Begitu Parah?
1. Kecepatan Mengalahkan Pemahaman
Media sosial memaksa pengguna bergerak cepat. Tidak ada ruang untuk merenung. Sementara itu, konten yang paling viral adalah yang paling sederhana, kontroversial, atau emosional. Kualitas informasi menjadi tidak relevan.
2. Platform Tidak Dirancang untuk Pemahaman
Media sosial bukan perpustakaan digital; ini adalah bisnis atensi. Tujuan utamanya bukan membuat pengguna pintar, tetapi membuat mereka bertahan lama. Informasi yang kompleks tidak menguntungkan. Yang menguntungkan adalah konten pendek, memicu emosi, dan mudah dibagikan.
Jadi wajar kalau pengguna gagal memahami isu — sistemnya sendiri mempromosikan kebodohan yang menyenangkan.
3. Pengguna Tidak Menyadari bahwa Mereka Rentan
Mayoritas pengguna percaya mereka “sudah kritis”. Inilah titik paling berbahaya: ketidaktahuan yang disertai kepercayaan diri palsu. Mereka merasa memahami informasi karena sering melihatnya, padahal mereka hanya mengulang apa yang diberikan algoritma.
4. Beban Verifikasi Dibebankan pada Individu yang Tidak Siap
Di era sebelum media sosial, institusi media memverifikasi informasi. Sekarang beban itu dialihkan ke pengguna—yang:
- tidak punya waktu,
- tidak punya alat,
- tidak punya pengetahuan.
Ini seolah meminta seseorang tanpa pelatihan medis untuk mendiagnosis penyakit serius. Hasilnya jelas: kekacauan informasi.
Contoh Kasus
Fenomena berita palsu seputar kesehatan, politik, dan isu sensasional di Indonesia menyebar lebih cepat dibandingkan klarifikasinya. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan konten yang salah informasi dirancang mengikuti pola algoritma serta kecenderungan kognitif pengguna. Di sisi lain, penjelasan yang benar cenderung lebih panjang, tenang, dan kurang dramatis — sehingga tidak berhasil menarik perhatian publik.
Masalah ini bukanlah hasil dari "kurangnya informasi", melainkan karena struktur media digital lebih mendukung kesalahan dibandingkan kebenaran.
Kesimpulan
Krisis literasi digital bukan masalah bodoh atau pintar. Ini masalah cara kerja otak manusia yang ditabrakkan dengan cara kerja algoritma. Selama platform terus merancang lingkungan yang memanjakan emosi dan impuls, pengguna akan tetap melek teknologi tetapi buta informasi.
Edukasi literasi digital yang selama ini dilakukan pemerintah dan institusi pendidikan sering hanya bersifat teknis: cara verifikasi berita, cara mengenali hoaks, dan seterusnya. Pendekatan ini gagal karena tidak menyentuh akar masalah: motivasi psikologis, bias kognitif, dan struktur platform.
Selama ketiga aspek itu tidak disentuh, kita hanya akan melahirkan generasi yang semakin fasih mengoperasikan teknologi, tetapi semakin buruk memahami dunia di sekitarnya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
