Sentuhan Sunyi Lukisan Abah Anom
Sastra | 2025-12-11 10:47:42
Tasikmalaya - Di sebuah rumah sederhana di kawasan Suryalaya, aroma cat minyak tercium lembut di udara. Di dinding, terpajang deretan lukisan dengan nuansa religius dan ketenangan batin. Salah satunya menggambarkan sosok karismatik Abah Anom, ulama besar yang sangat dihormati di daerah itu. Lukisan itu bukan hasil karya pelukis profesional, melainkan tangan seorang tuna rungu bernama Deden, yang dikenal pendiam namun penuh rasa dalam setiap goresannya.
Meski tak mampu mendengar, Deden mampu “mendengar” melalui warna dan garis. Setiap sapuan kuasnya seakan berbicara tentang ketenangan, cinta, dan penghormatan kepada Abah Anom. Saat ia duduk di depan kanvas, dunia seolah berhenti berisik hanya ada dirinya dan sosok yang ia lukis.
Menurut tetangganya, Rika, Deden mulai melukis sejak usia remaja. “Dia sering duduk di teras sambil memperhatikan foto Abah Anom yang ada di mushola kecil kampung kami,” ujar Rika sambil tersenyum mengenang masa itu. “Awalnya kami kira dia cuma suka menggambar biasa, tapi setelah lihat hasilnya, kami semua kaget. Lukisannya hidup, seperti ada aura ketenangan.”
Deden dikenal sebagai sosok yang penuh ketelitian. Ia selalu membawa buku sketsa kecil di mana pun pergi. Melalui gerakan tangan dan tulisan di buku itu, ia pernah menyampaikan kepada Rika bahwa melukis adalah caranya berzikir mengingat Allah dalam diam. “Dia pernah tulis begini,” kata Rika sambil membuka catatan lama milik Deden, “‘Setiap garis yang ku buat, semoga menjadi doa untuk hatiku dan orang lain.’”
Tak hanya Rika yang kagum, warga sekitar juga sering datang ke rumah Deden untuk melihat lukisannya. Beberapa lukisan bahkan dijadikan hiasan di pesantren sekitar Suryalaya. Salah satunya adalah lukisan besar Abah Anom yang kini tergantung di ruang tamu Pesantren Nurul Hikmah. “Waktu itu, ustaz pesan lukisan Abah Anom dalam posisi duduk bersarung putih. Deden cuma lihat foto kecil, tapi hasilnya luar biasa detail. Tatapan matanya persis,” kata Rika dengan mata berbinar.
Meski hidup dalam keterbatasan pendengaran, Deden menunjukkan bahwa bahasa tidak selalu diucapkan dengan kata. Melalui warna, garis, dan cahaya, ia berbicara dengan caranya sendiri. Lukisannya tentang Abah Anom bukan sekadar karya seni, tapi juga bentuk penghormatan spiritual yang tumbuh dari hati yang sunyi namun penuh makna.
Di sudut ruang kerjanya, Deden duduk sambil menatap kanvas kosong. Tangan kirinya menggenggam kuas, sementara tangan kanannya mulai menoreh warna-warna lembut. Dalam keheningan itu, ia menulis satu kalimat kecil di pojok buku sketsanya:
“Dalam diam, aku melukis suara ketenangan.”
Kalimat itu menjadi saksi bahwa meski Deden hidup tanpa suara, karyanya berbicara lebih lantang daripada kata-kata.
Reporter : Cantika Maesto Octavia
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
