Etika Dokter dalam Mempromosikan Produk Perawatan: Boleh atau Melanggar?
Info Terkini | 2025-12-11 10:14:18
Seiring berkembangnya media sosial dan platform digital, banyak dokter mulai tampil sebagai figur publik yang aktif memberikan edukasi kesehatan. Mereka membahas skincare, produk rambut, nutrisi, hingga alat kesehatan yang memang sering ditanyakan oleh masyarakat. Di tengah tren ini, muncul satu pertanyaan penting: apakah dokter sebenarnya boleh mempromosikan produk tertentu seperti shampoo, face wash, serum, atau kosmetik lainnya tanpa melanggar sumpah dokter atau kode etik profesi?
Topik ini menjadi sensitif karena profesi dokter berada pada posisi yang unik. Di satu sisi, dokter memiliki pengetahuan ilmiah untuk menjelaskan kandungan, manfaat, dan risiko suatu produk. Namun di sisi lain, gelar dokter sangat mudah memengaruhi keputusan masyarakat. Ketika seorang dokter menyebutkan satu produk secara eksplisit, publik cenderung menganggap rekomendasi tersebut sebagai kebenaran mutlak, bahkan jika informasi itu belum tentu sepenuhnya objektif. Itulah sebabnya dunia kedokteran memiliki aturan khusus yang mengatur bagaimana seorang dokter boleh atau tidak boleh ikut dalam kegiatan promosi produk.
Dokter dan Peran Edukatifnya
Pada dasarnya, dokter tetap diperbolehkan memberikan edukasi mengenai kandungan atau jenis produk yang aman dan sesuai kebutuhan pasien. Misalnya, seorang dokter kulit menjelaskan bahwa face wash dengan salicylic acid cocok untuk kulit berminyak dan berjerawat atau dokter anak yang menginformasikan bahwa shampoo bayi sebaiknya tidak mengandung pewangi berlebihan karena bisa memicu iritasi.
Selama penjelasan ini diberikan dalam konteks edukatif, bukan untuk kepentingan komersial, tindakan itu masih dianggap etis. Ini sejalan dengan KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) yang mengatur bahwa seorang dokter wajib memberikan informasi yang benar, objektif, dan berdasarkan bukti ilmiah. Artinya, edukasi tentang produk boleh dilakukan, asal tidak melampaui batas menjadi sebuah iklan.
Batasan Utama
Salah satu prinsip utama yang dijaga ketat dalam KODEKI adalah independensi dokter. Dokter harus menjaga objektivitas dalam menjalani profesinya tanpa dipengaruhi kepentingan industri, sponsor, atau pihak lain yang dapat mencederai keputusan klinis. Ketika seorang dokter menerima imbalan dari suatu merek untuk menyebutkan produknya, maka objektivitasnya terancam.
Hal ini diatur dalam beberapa pasal KODEKI:
1. Pasal 3 KODEKI
Dokter wajib mengutamakan kepentingan pasien. Jika rekomendasi diberikan karena ada kontrak dengan produk tertentu, maka kepentingan pasien tidak lagi menjadi prioritas utama.
2. Pasal 4 KODEKI
Dokter harus menjaga martabat profesinya. Endorsement komersial berlebihan, seperti menjadi brand ambassador shampoo atau skincare tertentu yang dapat merusak citra profesi kedokteran.
3. Pasal 9 KODEKI
Informasi yang diberikan dokter harus jujur, akurat, dan berdasarkan bukti ilmiah. Klaim seperti “produk ini pasti menyembuhkan jerawat” jelas menyalahi prinsip tersebut.
Dengan kata lain, dokter bukan dilarang membicarakan produk. Yang dilarang adalah menyalahgunakan gelar kedokterannya untuk kepentingan dagang.
Bentuk Promosi yang Diperbolehkan
Selama dokter tidak menerima imbalan finansial dan tetap bersikap objektif, mereka masih dapat membuat konten seperti:
- membahas kandungan produk (misal: SLS, niacinamide, zinc pyrithione),
- menjelaskan fungsi atau cara kerja suatu jenis produk,
- mengajarkan cara memilih produk berdasarkan tipe kulit atau rambut,
- memberikan rekomendasi umum tanpa menyebut satu merek tertentu.
Berikut adalah contoh konten yang dapat dibuat oleh dokter:
“Jika kamu punya ketombe, pilih shampoo dengan kandungan zinc pyrithione, ketoconazole, atau selenium sulfide. Pilihannya disesuaikan dengan tingkat keparahan dan kondisi kulit kepala.”
Kalimat tersebut edukatif, tidak ada kepentingan komersial di dalamnya, dan tetap sesuai etika.
Bentuk Promosi yang Menyalahi Etika
Promosi menjadi bermasalah ketika dokter:
- diendorse atau dibayar brand tertentu, tapi menyembunyikan hubungan tersebut.
- memberi klaim absolut, seperti “produk ini paling bagus” atau “pasti sembuh”.
- menampilkan diri sebagai ‘wajah’ produk dalam iklan komersial.
- mempromosikan produk yang belum terbukti secara ilmiah.
- menggunakan gelar dokter untuk mendongkrak penjualan.
Jika seorang dokter tampil sebagai model iklan shampoo dan menyatakan bahwa produk itu “pasti menghilangkan ketombe”, itu jelas bisa dianggap pelanggaran KODEKI karena mengarah pada iklan komersial yang memanfaatkan gelar kedokteran.
Mengapa Aturan Ini Penting?
Profesionalisme dokter bergantung pada kepercayaan. Ketika dokter terlihat memihak satu merek tertentu tanpa alasan ilmiah yang kuat, masyarakat bisa meragukan objektivitas mereka. Selain itu, rekomendasi yang bias dapat membahayakan pasien. Misalnya, ada produk skincare yang mengandung bahan iritan, tapi dokter tetap mempromosikannya karena dibayar. Hal seperti ini membuka pintu pelanggaran etik yang lebih besar.
Organisasi profesi dokter di banyak negara, termasuk Indonesia, menjaga ketat batasan ini agar profesi kedokteran tetap fokus pada pelayanan kesehatan, bukan pada bisnis.
Dokter boleh memberikan edukasi mengenai produk perawatan tubuh seperti shampoo, face wash, serum, atau kosmetik lain selama tetap objektif, ilmiah, tidak komersial, dan tidak memanfaatkan gelar kedokteran untuk mengiklankan merek tertentu.
Endorsement berbayar atau menjadi brand ambassador produk komersial umumnya dianggap tidak etis karena berpotensi menimbulkan konflik kepentingan serta melanggar beberapa pasal dalam KODEKI. Pada intinya, batas antara edukasi dan promosi harus dipahami dengan jelas agar sumpah dokter tetap dihormati, dan martabat profesi tetap terjaga.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
