Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Shebastian Sosa Ade Nugra

Agama dan Etika Publik dalam Masyarakat

Agama | 2025-12-11 12:46:13

AGAMA DAN ETIKA PUBLIK

DALAM MASYARAKAT

Disusun oleh:

Shebasstian Sosa Ade Nugra

5018231046

Dosen Pembimbing :

Samsuriyanto, S.Kom.I., M.Sos.BAB I

1.1 Pengertian Agama dalam Perspektif Sosial

Secara konseptual, agama dapat dipahami sebagai suatu sistem keyakinan yang tersusun dari

ajaran teologis, ritual keagamaan, nilai moral, serta struktur sosial yang menopang

pelaksanaannya. Agama tidak hadir secara kosong, melainkan berfungsi sebagai pedoman dalam

menafsirkan realitas dan memberikan makna dalam kehidupan manusia. Para sosiolog klasik

memberikan kontribusi besar dalam menjelaskan fungsi sosial agama. Émile Durkheim

menegaskan bahwa agama merupakan mekanisme yang membuat masyarakat tetap kohesif;

melalui ritus dan simbol, masyarakat memperoleh rasa kebersamaan serta identitas kolektif.

Sementara itu, pemikiran Max Weber menunjukkan bahwa agama tidak hanya membentuk

perilaku individu, tetapi juga memengaruhi sistem ekonomi, perkembangan masyarakat modern,

dan etika kerja—sebuah fenomena yang ia analisis mendalam dalam studinya tentang etika

Protestan.

Dalam ranah teologi dan tradisi keagamaan tertentu, agama dipandang sebagai sumber inspirasi

moral. Dalam Islam, keteladanan moral merujuk kepada akhlak mulia yang diwariskan oleh Nabi

Muhammad, yang menekankan kesantunan, kejujuran, serta keadilan sebagai landasan interaksi

sosial. Sementara itu, dalam tradisi Kristiani, nilai moral publik dipengaruhi oleh ajaran kasih

dan kemanusiaan yang diajarkan oleh Yesus Kristus, yang menempatkan cinta kasih serta

solidaritas sebagai prinsip fundamental dalam hidup bermasyarakat. Pemahaman ini

menunjukkan bahwa agama tidak hanya memiliki dimensi spiritual, tetapi juga sosial, etis, dan

kultural yang mempengaruhi perkembangan peradaban manusia.

1.2 Pengertian Etika Publik

Etika publik merupakan cabang etika terapan yang mengatur perilaku individu maupun lembaga

dalam kehidupan bersama. Berbeda dengan etika pribadi yang sifatnya subjektif, etika publik

beroperasi pada tingkat sosial dan kelembagaan, sehingga mencakup nilai moral yang

membentuk tata kelola pemerintahan, interaksi masyarakat, hingga penggunaan kekuasaan.

Konsep etika publik tidak hanya merujuk pada aturan hukum, melainkan pada prinsip moral yang

lebih luas, seperti: keadilan, transparansi, tanggung jawab sosial, penghargaan terhadap martabat

manusia, pencegahan korupsi, serta perlindungan terhadap kelompok rentan. Nilai-nilai ini

menjadi standar umum dalam menilai baik atau buruknya tindakan pejabat publik dan warga

negara di ruang sosial.

Nilai-nilai ini menjadi standar umum dalam menilai baik atau buruknya tindakan pejabat publik

dan warga negara di ruang sosial.Dalam konteks tata kelola pemerintahan modern, etika publik

berfungsi sebagai dasar normatif yang mencegah penyalahgunaan wewenang serta memastikan

kebijakan negara berjalan sesuai moralitas universal. Etika publik juga berperan dalam

membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, menciptakan stabilitas sosial, dan

menjaga integritas demokrasi. Dengan demikian, etika publik bukan hanya disiplin teoritis,

melainkan instrumen penting dalam menciptakan masyarakat yang adil, transparan, dan

berkesadaran moral.1.3 Hubungan Dasar Agama dan Etika

Hubungan antara agama dan etika pada dasarnya sangat erat. Mayoritas agama menyediakan

seperangkat ajaran moral yang berlaku universal dan dapat diterjemahkan ke dalam etika publik.

Prinsip seperti kejujuran, tanggung jawab, kemanusiaan, dan keadilan muncul hampir di seluruh

ajaran agama dunia. Hal ini menunjukkan bahwa agama dapat menjadi sumber nilai yang

memperkaya sistem etika publik yang berlaku dalam suatu negara atau masyarakat.

Namun, hubungan ini dapat menjadi lebih kompleks ketika nilai agama memasuki ruang

publik yang bersifat plural. Dalam masyarakat multikultural, berbagai agama membawa

perspektif etis masing-masing. Perbedaan tafsir, doktrin, dan nilai dapat menyebabkan perdebatan

mengenai nilai moral mana yang pantas dijadikan standar publik. Karena itu, diperlukan

pendekatan akademis yang menempatkan agama sebagai sumber nilai moral tanpa mendominasi

kelompok lain. Dengan pemahaman yang tepat, agama dapat menjadi kekuatan positif yang

menyatukan masyarakat, bukan memecah belah.BAB II

2.1 Nilai Moral Universal dalam Ajaran Keagamaan

Agama-agama besar dunia menawarkan nilai moral yang berkontribusi langsung terhadap

pembentukan etika publik. Dalam Islam, ajaran maqasid al-syari’ah menekankan perlindungan

terhadap kehidupan, akal, harta, keturunan, dan kehormatan. Nilai-nilai ini tidak hanya menjadi

pedoman spiritual, tetapi juga digunakan sebagai rujukan lembaga-lembaga keagamaan seperti

Majelis Ulama Indonesia dalam merumuskan panduan moral yang berkaitan dengan

kemaslahatan publik.

Dalam Kekristenan, doktrin kasih universal menjadi dasar bagi banyak gerakan sosial, terutama

yang dipimpin oleh organisasi ekumenis seperti World Council of Churches. Doktrin ini

menegaskan pentingnya pengampunan, solidaritas, serta tanggung jawab sosial, yang kemudian

diterjemahkan ke dalam kebijakan publik melalui dukungan terhadap isu kemanusiaan,

perdamaian, serta bantuan kepada kaum marginal.

Prinsip moral seperti keadilan, kesetaraan, dan perlindungan terhadap martabat manusia dapat

ditemukan dalam ajaran hampir semua agama besar. Dengan demikian, agama menyediakan

kerangka moral yang dapat dijadikan landasan dalam membangun etika publik yang inklusif,

humanis, dan berorientasi pada kesejahteraan kolektif.

2.2 Fungsi Institusi Keagamaan dalam Ruang Publik

Institusi keagamaan memainkan peran penting dalam membantu pembentukan moral publik.

Fungsi pertama adalah pendidikan etika. Melalui ceramah, pengajaran kitab suci, dan kegiatan

keagamaan, institusi agama membentuk pemahaman moral masyarakat sejak usia dini. Fungsi

kedua, institusi agama berperan sebagai mediator sosial dengan menjembatani konflik antar

kelompok atau antar etnis. Fungsi ketiga adalah kontrol moral; lembaga keagamaan sering kali

menyuarakan kritik terhadap tindakan tidak etis seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan

pelanggaran hak asasi manusia.

Selain itu, institusi agama juga berperan sebagai aktor bantuan sosial. Banyak organisasi

keagamaan memberikan bantuan kepada masyarakat miskin, penyintas bencana, lansia, dan

kelompok rentan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa peran agama di ruang publik tidak hanya

berupa penyampaian nilai moral, tetapi juga tindakan nyata yang berdampak sosial. Institusi

agama bahkan dapat mempengaruhi kebijakan publik melalui pernyataan moral, dialog

antaragama, atau partisipasi dalam diskusi kebijakan pemerintahan.

2.3 Tradisi Keagamaan sebagai Kerangka Etika Publik

Di beberapa negara, nilai keagamaan telah menjadi pijakan moral dalam kehidupan publik.

Konsep etos kerja dalam masyarakat Barat, misalnya, dipengaruhi kuat oleh ajaran Protestan

sebagaimana dijelaskan oleh Weber, yang menekankan kedisiplinan, kerja keras, dan tanggung

jawab sebagai cermin moralitas individu. Sementara itu, di negara-negara mayoritas Muslim,

konsep amar ma’ruf nahi munkar memengaruhi standar sosial dan politik untuk memastikan

keadilan serta mencegah kezaliman.

Tradisi keagamaan ini tidak hanya membentuk perilaku individu, tetapi juga memberi arah bagi

pembentukan kebijakan publik. Dengan demikian, agama tidak hanya menjadi sumber ajaran

moral, tetapi juga kerangka etika yang memandu sistem sosial dan pemerintahan. Hal ini

menunjukkan bahwa agama memiliki kapasitas untuk membentuk perilaku publik sekaligus

memperkuat struktur moral masyarakat.BAB III

3.1 Pluralisme dan Konflik Nilai

Pada era modern, pluralisme menjadi salah satu tantangan utama dalam hubungan antara agama

dan etika publik. Dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai agama, budaya, dan sistem nilai,

perbedaan prinsip moral dapat memunculkan konflik, terutama pada isu-isu sensitif seperti hak

asasi manusia, kesetaraan gender, pendidikan agama, isu LGBT, serta perdebatan mengenai

legalitas hukum berbasis agama. Konflik ini tidak selalu menunjukkan pertentangan yang

destruktif, melainkan mengindikasikan perlunya mekanisme dialog untuk menemukan titik temu

nilai moral bersama.

Pluralisme menuntut masyarakat untuk tidak hanya memahami nilai agama masing-masing,

tetapi juga menghormati nilai moral kelompok lain. Tanpa kesadaran ini, agama dapat menjadi

sumber eksklusivitas dan pertentangan sosial. Sebaliknya, jika pluralisme dikelola dengan baik,

agama dapat berfungsi sebagai kekuatan pemersatu yang menyediakan prinsip etis universal bagi

seluruh warga bangsa.

3.2 Sekularisasi dan Perubahan Paradigma Moral

Sekularisasi membawa perubahan besar dalam cara masyarakat memandang agama. Walaupun

agama tetap hidup, perannya dalam kehidupan publik mengalami transformasi. Pada generasi

muda, misalnya, otoritas keagamaan tidak lagi diterima secara otomatis. Banyak anak muda yang

mengembangkan moralitas berbasis rasionalitas, kesepakatan sosial, atau nilai kemanusiaan

universal, bukan semata-mata doktrin keagamaan.

Selain itu, kemajuan ilmu pengetahuan dan bioteknologi menghadirkan isu etis baru yang tidak

mudah dijawab oleh doktrin agama tradisional. Pertanyaan mengenai rekayasa genetik, teknologi

AI, dan etika privasi adalah contoh tantangan modern yang menuntut reinterpretasi ajaran moral

keagamaan. Dengan demikian, agama harus tetap adaptif agar tetap relevan dalam menjawab

persoalan etika publik kontemporer.

3.3 Tantangan Teknologi dan Revolusi Digital

Revolusi digital melahirkan ruang baru bernama ruang maya, di mana aturan moral tradisional

tidak selalu berlaku. Penyebaran hoaks, ujaran kebencian, eksploitasi data pribadi, serta

kecanduan digital menjadi fenomena sosial yang menimbulkan persoalan moral serius.

Penggunaan kecerdasan buatan juga menimbulkan pertanyaan etis tentang manipulasi informasi,

otomatisasi kerja, dan kontrol algoritma.

Agama dituntut untuk memperluas cakupan wacananya agar nilai moral tetap berfungsi dalam

konteks digital. Hal ini mendorong pembentukan etika digital berbasis nilai agama dan

kemanusiaan untuk menjaga perilaku masyarakat di dunia maya agar tetap beradab dan

bertanggung jawab.BAB IV

4.1 Dialog Lintas Agama sebagai Jalan Tengah

Dialog antaragama merupakan pendekatan kunci untuk mencapai harmoni dalam masyarakat

multikultural. Melalui dialog, perbedaan ajaran agama dapat dipertemukan pada nilai-nilai

kemanusiaan yang bersifat universal, seperti keadilan, perdamaian, solidaritas sosial, dan

pengakuan terhadap martabat manusia. Dialog ini mendorong tumbuhnya rasa saling memahami

serta mencegah munculnya dominasi nilai agama tertentu.

Dialog yang efektif memerlukan keterbukaan, kesediaan untuk mendengarkan, serta komitmen

untuk mencari titik temu. Dengan demikian, dialog antaragama tidak hanya menyelesaikan

perbedaan doktrinal, tetapi juga memperkuat fondasi etika publik yang berlaku bagi seluruh

warga.

4.2 Pendekatan Etika Publik yang Inklusif

Untuk memastikan nilai agama tetap berperan tanpa mengganggu pluralisme, diperlukan

pendekatan etika publik yang inklusif. Pendekatan ini melibatkan proses universalisasi nilai

agama, di mana ajaran moral dicerna menjadi prinsip yang dapat diterima oleh berbagai

kelompok sosial. Pemerintah juga perlu menjaga netralitas dalam penyusunan kebijakan publik

dengan tidak memihak pada salah satu tafsir agama tertentu.

Pendekatan ini memastikan bahwa agama tetap relevan sebagai sumber moral publik, namun

tetap berada dalam kerangka kebangsaan yang menjamin persamaan hak bagi seluruh warga.

4.3 Memperkuat Peran Institusi Keagamaan

Institusi agama memiliki potensi besar dalam membentuk etika publik jika mampu beradaptasi

dengan perkembangan zaman. Mereka dapat meningkatkan peran dalam pendidikan moral,

membangun karakter publik yang berintegritas, menyampaikan kritik moral terhadap

penyalahgunaan kekuasaan, dan menjadi penggerak kegiatan kemanusiaan lintas agama.

Kekuatan institusi agama tidak hanya terletak pada ajaran moralnya, tetapi juga pada

kemampuan mereka untuk membangun jembatan antar kelompok masyarakat. Dengan bersikap

inklusif, profesional, dan responsif terhadap isu-isu kontemporer, institusi agama dapat menjadi

aktor penting dalam pembentukan etika publik yang modern dan humanis.BAB V

KESIMPULAN

Agama memiliki peran yang sangat signifikan dalam pembentukan etika publik. Melalui ajaran

moralnya, agama menawarkan nilai-nilai universal seperti kejujuran, keadilan, cinta kasih,

tanggung jawab, dan penghargaan terhadap martabat manusia. Nilai ini menjadi fondasi penting

bagi pembentukan perilaku publik yang baik dalam kehidupan sosial, politik, dan pemerintahan.

Namun, hubungan agama dan etika publik tidak selalu mudah. Tantangan seperti pluralisme,

sekularisasi, modernisasi, serta perkembangan teknologi digital menuntut adanya pendekatan

baru yang lebih inklusif. Masyarakat perlu mengembangkan dialog antaragama, menafsirkan

ulang nilai keagamaan secara humanis, dan memastikan institusi agama tetap berfungsi sebagai

penjaga moral publik tanpa mendominasi ruang blur. Dengan pendekatan yang tepat, agama

dapat terus menjadi pilar moral yang relevan, adaptif, dan konstruktif bagi pembangunan

masyarakat modern.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image