Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image claudia

Peran Dokter di Era AI

Gaya Hidup | 2025-12-10 14:40:48

sumber: https://images.pexels.com/photos/6153354/pexels-photo-6153354.jpeg

Pernahkah Anda merasa bahwa konsultasi dengan dokter berlangsung sangat cepat? Kita menceritakan keluhan sebentar, dokter sibuk menatap layar, beberapa kali klik, lalu resep tercetak. Di balik layar itu, sebenarnya terjadi banyak hal, seperti rekam medis elektronik, sistem yang otomatis merangkum keluhan, dan sekarang mulai ada teknologi kecerdasan buatan (AI) yang membantu menyarankan diagnosis dan obat.

Bagi pasien, proses itu terlihat sederhana. Selama obat ada di tangan, kita merasa sudah "ditangani dokter". Namun ada satu pertanyaan penting yang perlu kita pikirkan bersama. Ketika komputer ikut menyarankan langkah pengobatan, siapa yang sebenarnya mengambil keputusan, dokter atau sistem AI di layar?

Human in the loop Bukan Sekadar Istilah Keren

Dalam wacana teknologi kesehatan, sering muncul istilah human in the loop, yaitu gagasan bahwa manusia harus tetap berada di tengah pengambilan keputusan. Dalam dunia kedokteran, ini bukan jargon, melainkan menyentuh inti profesi dokter yang memikul tanggung jawab etik dan hukum terhadap pasien.

AI membantu membaca foto rontgen, menyaring kemungkinan diagnosis, hingga mengusulkan obat dan dosis. Semua tampak ideal, sampai muncul satu detail yang terlewat, misalnya fungsi ginjal pasien memburuk atau ada riwayat alergi obat. Dokter yang sedang lelah dan dikejar antrean bisa saja menyetujui saran di layar tanpa menelaah ulang. Di sinilah automation bias muncul, yakni ketika kepercayaan pada sistem otomatis membuat kewaspadaan klinis menurun.

Padahal, di mata hukum dan etika profesional, yang bertanggung jawab tetap manusia bernama dokter. Jika dokter hanya menjadi pemberi persetujuan formal, sementara inti keputusan digerakkan mesin, kita sedang mengikis makna human in the loop itu sendiri.

Antara Janji Mengurangi Burnout dan Risiko Kehilangan Nurani

Kita juga tidak boleh menutup mata terhadap beban yang menumpuk di pundak tenaga kesehatan. Berlembar lembar formulir, pengulangan pengetikan, laporan administratif yang menyita waktu, semua berkontribusi pada burnout. Di titik ini, janji AI terdengar menyejukkan.

AI dapat membantu merangkum rekam medis, menyiapkan draf surat rujukan, mengisi bagian rutin dalam formulir, bahkan menyaring pesan sehingga dokter tidak tenggelam dalam notifikasi. Untuk tugas berisiko rendah seperti ini, otomasi patut disambut selama dokter tetap meninjau akhirnya.

Namun untuk keputusan berisiko tinggi, seperti penentuan diagnosis utama atau pemberian obat dengan efek samping berat, AI seharusnya hanya menjadi asisten pintar. Dokter perlu kembali ke data mentah, melihat wajah pasien, mendengar kekhawatirannya, dan berani berbeda pendapat dengan rekomendasi sistem jika merasa ada yang tidak pas.

PR Institusi dan Pendidikan Kedokteran

Menjaga agar dokter tidak terpinggirkan oleh algoritma bukan tugas individu semata. Fasilitas kesehatan wajib menilai kinerja dan bias sistem AI yang dipakai, pengembang harus jujur tentang batas kemampuan dan kelemahannya, sementara pendidikan kedokteran perlu membekali calon dokter dengan literasi digital dan etika AI.

Pada akhirnya, yang ingin kita jaga bukan hanya kecanggihan teknologi, tetapi juga kepercayaan pasien bahwa keputusan tentang tubuhnya diambil oleh manusia yang berpikir dan peduli. Selama di balik setiap klik persetujuan masih ada hati nurani yang terlibat, dokter dan AI dapat berjalan berdampingan tanpa menghapus kemanusiaan di ruang periksa.

Ditulis oleh:

1. Alief Zahra Nova Najwa (432251126)

2. Adilia Jihanfakhri Khalillah (132251144)

3. Nayla Putri Hisanah (191251131)

4. Syadsya Reza Cahaya (192251095)

5. Nesa Indira Putri (005251103)

6. Sondang Claudia Putri Siregar (111251208)

7. Hasya Faza Zaneta (413251148)

8. Fatmatulloh Az-zahro Nur Rahma (414251108)

9. Maritsa Nur Hakimah (442251037)

10. Najma Rahmadina (111251203)

UNIVERSITAS AIRLANGGA

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image