Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image keysa ghaissani

Dokter di Era Digital : Antara Kecanggihan Teknologi dan Tuntutan Moral Profesi

Eduaksi | 2025-12-10 01:41:31
Sumber: https://asia.nikkei.com/business/business-spotlight/indonesia-and-its-asean-neighbors-take-to-telemedicine

Kemajuan teknologi digital telah membawa perubahan besar dalam dunia kesehatan. Konsultasi medis yang dulu hanya dilakukan tatap muka kini dapat berlangsung melalui telemedicine, aplikasi kesehatan, hingga sistem rekam medis elektronik. Perubahan ini memberikan kemudahan, namun juga menuntut para dokter untuk menyesuaikan diri. Di tengah gelombang digitalisasi, profesionalisme tetap menjadi fondasi utama. Teknologi mungkin berubah, tetapi nilai-nilai etika kedokteran harus tetap berjalan seiring perkembangan zaman.

Transformasi digital membuat peran dokter berkembang lebih luas dibandingkan sebelumnya. Kini dokter harus memahami ilmu klinis sekaligus teknologi kesehatan serta menjaga kepercayaan pasien di ruang digital. Dalam artikel di AMA Journal of Ethics, Chandrasekaran dan Gressel (2022) menegaskan bahwa, “Professionalism remains essential in digital care settings to maintain confidentiality, honesty, and trust.” Kutipan ini menekankan bahwa perubahan platform tidak mengurangi standar moral profesi kedokteran. Bahkan dalam konsultasi daring, kewajiban menjaga privasi dan memberikan informasi yang benar tetap berlaku.

Dalam praktiknya, banyak dokter menyadari bahwa digitalisasi memberi peluang sekaligus tantangan. dr. Fajar Andrianto, Sp.PD., dalam sebuah seminar kesehatan nasional, menyebut bahwa teknologi mempercepat pelayanan tetapi tidak boleh menghilangkan sentuhan kemanusiaan antara dokter dan pasien. “Teknologi itu alat bantu. Sentuhan empati tetap tak tergantikan,” ujarnya. Hal ini menggambarkan bahwa interaksi virtual sering kali mengurangi kehangatan komunikasi, sehingga dokter perlu berupaya mempertahankannya meskipun melalui layar.

Isu privasi menjadi salah satu tantangan terbesar di era digital. Rekam medis elektronik dan konsultasi daring menyimpan data sangat sensitif. Sebuah publikasi oleh Gogia et al. (2016) dalam Journal of Medical Internet Research menjelaskan bahwa telemedicine harus mengikuti prinsip bioetika seperti beneficence, non-maleficence, autonomy, dan justice, terutama dalam pengelolaan data pasien. Kebocoran data dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Karena itu, profesionalisme dokter mencakup kemampuan memilih platform yang aman dan memahami risiko teknologi.

Tantangan lainnya adalah akurasi diagnosis. Tanpa pemeriksaan fisik langsung, konsultasi telemedicine memiliki keterbatasan. Sebuah kajian dalam The Lancet Digital Health oleh Greenhalgh et al. (2020) menegaskan bahwa dokter tetap memegang tanggung jawab penuh atas keputusan klinis dalam layanan digital. Mereka menekankan bahwa setiap penilaian medis harus dibuat secara hati-hati, dan dokter wajib menjelaskan batasan telekonsultasi kepada pasien.

Di sisi lain, banyak dokter menilai teknologi justru meningkatkan kualitas pelayanan. dr. Ratna Dewayani, seorang dokter umum di Jakarta, menyatakan bahwa telemedicine membantu pasien di daerah terpencil. “Lewat telemedicine, mereka tetap bisa mendapat panduan medis yang tepat. Tetapi tetap ada kondisi yang mengharuskan pasien datang langsung,” jelasnya. Ini menunjukkan bahwa teknologi bukan pengganti dokter, melainkan alat pendukung untuk memperluas jangkauan layanan.

Era digital juga memperkenalkan fenomena baru: dokter yang aktif di media sosial untuk edukasi kesehatan. Namun batas antara konten profesional dan personal kerap kabur. Artikel Professionalism in the Digital Age oleh Greysen et al. (2010) dalam Annals of Internal Medicine menekankan bahwa dokter harus “actively manage their online identity” untuk mencegah kesalahpahaman publik. Media sosial dapat menjadi sarana edukasi yang efektif, tetapi harus tetap akurat, beretika, dan bebas konflik kepentingan.

Pada akhirnya, profesionalisme dokter di era digital bukan hanya soal penguasaan teknologi, tetapi kemampuan menyeimbangkan etika, empati, dan tanggung jawab profesi. Teknologi mempermudah, namun pelayanan kesehatan tetap berlandaskan hubungan manusiawi. Nilai kedokteran kejujuran, integritas, kerahasiaan, dan empati harus tetap menjadi pijakan utama, baik dalam interaksi fisik maupun virtual. Ketika teknologi dan etika berjalan seiring, kualitas pelayanan kesehatan akan terjaga dan kepercayaan masyarakat kepada profesi dokter semakin kuat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image