Pergeseran Identitas Budaya di Era Digital: Antara Inovasi dan Tantangan Sosial
Teknologi | 2025-12-11 08:27:29Di zaman serba online seperti sekarang, batas budaya sudah nggak lagi sekadar soal wilayah. Internet bikin kita bisa terhubung lintas negara, bahkan lintas benua, hanya dalam hitungan detik. Dari demam K-pop yang mendunia sampai gerakan sosial di Twitter dan Instagram, teknologi digital jelas mengubah cara kita berinteraksi, berkomunikasi, bahkan cara kita melihat diri sendiri. Ada peluang besar di sana, tapi juga tantangan yang nggak bisa dianggap remeh.
Budaya di Era Globalisasi Digital
Budaya itu kan sebenarnya kumpulan nilai, norma, dan kebiasaan yang membentuk kehidupan masyarakat. Nah, di era digital, pertukaran budaya jadi super cepat. Identitas kita pun makin “campuran”, ada lokal, ada global. Menurut Pew Research Center (2023), lebih dari 70% anak muda di dunia pakai media sosial buat cari info budaya. Bayangin, ide dari satu benua bisa viral ke benua lain dalam beberapa jam aja.
Di Indonesia, contohnya jelas banget. Wayang kulit atau tari tradisional sekarang harus bersaing dengan tren global kayak TikTok dance challenge atau meme viral. Buat generasi muda, ini bukan cuma hiburan, tapi bagian dari identitas mereka. Menurut saya pribadi, ini bagus karena bikin kita lebih inklusif. Tapi kalau nggak dibarengi pendidikan budaya, ada risiko nilai tradisional makin terpinggirkan.
Teknologi: Penggerak sekaligus Penghambat
Media sosial bikin orang bebas berekspresi. Gerakan besar kayak #MeToo atau #BlackLivesMatter lahir dari sana. Di Indonesia, ada juga kampanye #KitaBersama yang melawan intoleransi agama. Semua ini bukti kalau digitalisasi bisa memperkuat solidaritas sosial.
Tapi ada sisi gelapnya. Algoritma media sosial sering bikin “echo chamber”. Kita cuma ketemu pandangan yang mirip dengan kita sendiri. Akibatnya, polarisasi makin dalam. UNESCO (2022) bahkan mencatat 1 dari 5 remaja ngalamin stres karena tekanan online. Di sisi budaya, globalisasi digital bisa bikin homogenisasi: budaya lokal tergeser oleh konten Barat atau Asia Timur. Popularitas K-pop di Indonesia misalnya, memang menginspirasi musik lokal, tapi juga memicu debat soal westernisasi nilai.
Ekonomi Budaya: Antara Peluang dan Kesenjangan
Industri kreatif Indonesia lagi naik daun berkat Netflix, Spotify, dan platform digital lain. Data Bekraf (2023) nunjukin sektor ini nyumbang 7% PDB nasional, dengan ekspor budaya naik 15% per tahun. Keren kan? Tapi masalahnya, artis urban lebih gampang dapat sorotan, sementara seniman daerah masih kesulitan akses.
Identitas Hibrida: Kasus Generasi Z Indonesia
Gen Z di Indonesia sering banget tampil dengan identitas hibrida. Bahasa campuran Indonesia-Inggris-Korea, fashion batik dicampur streetwear, musik tradisional dikolaborasiin sama DJ elektronik. Kreatif banget.
Tapi ada tantangan juga. Pandemi COVID-19 bikin kasus depresi di kalangan muda naik 25% (Kemenkes RI, 2023). Budaya “instan” dari TikTok bikin anak muda cenderung kurang sabar dalam membangun hubungan atau karier.
Implikasi dan Saran
Teknologi jelas membawa inovasi budaya dan solidaritas global. Tapi risiko erosi identitas lokal dan ketidaksetaraan sosial harus diantisipasi. Pendidikan budaya perlu masuk kurikulum sekolah, biar anak-anak bisa bedain mana kebebasan berekspresi, mana ekstremisme. Pemerintah dan platform digital juga harus kerja sama bikin regulasi yang sehat.
Buat masyarakat, penting banget punya digital literacy, kemampuan kritis terhadap informasi online. Program literasi digital dari Kemenkominfo bisa jadi langkah awal, tapi harus diperluas. Kalau ini berhasil, budaya kita bakal lebih kuat, inklusif, dan siap menghadapi tantangan global.
Peran Pendidikan dan Kampus
Selain peran teknologi dan komunitas, dunia pendidikan juga punya tanggung jawab besar dalam menjaga keseimbangan identitas budaya. Kampus dan sekolah bisa menjadi ruang aman untuk memperkenalkan budaya lokal sekaligus mengajarkan literasi digital. Misalnya, festival budaya di universitas bukan hanya ajang hiburan, tapi juga sarana memperkuat kebanggaan terhadap tradisi. Di sisi lain, kurikulum yang memasukkan literasi digital membantu mahasiswa lebih kritis terhadap konten global yang mereka konsumsi setiap hari.
Program kampus seperti seminar lintas jurusan atau kolaborasi antarorganisasi mahasiswa bisa jadi wadah untuk menggabungkan perspektif tradisional dengan tren modern. Contohnya, mahasiswa seni bisa bekerja sama dengan mahasiswa teknologi informasi untuk membuat aplikasi edukasi tentang budaya lokal. Dengan cara ini, kampus bukan hanya mencetak lulusan akademis, tapi juga agen perubahan sosial yang menjaga identitas bangsa di tengah arus globalisasi digital.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
