Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ruzain Irsyad alhakim

Ketika Mata Tidak Lagi Bisa Dipercaya: Teror Deepfake di Panggung Global

Eduaksi | 2025-12-11 01:43:09

Sejak manusia hidup, umat manusia hidup dengan satu prinsip sederhana, yaitu memverifikasi keberaran. “Seeing is believing” Percaya dengan apa yang dilihat. Dulu kita masih percaya dengan hal tersebut, dimana kita selalu percaya dengan apa yang dilihat dengan mata kepala sendiri. Namun, baru-baru ini prinsip itu runtuh seketika.

Kita telah memasuki era dimana indra mata dan telinga kita kini bisa dimanipulasi. Selamat datang di panggung global Deepfake, wajah paling menakutkan dalam hoaks modern saat ini.

Wajah Baru dari Kebohongan

Beberapa tahun yang lalu, hoaks atau berita bohong hanyalah sebuah pesan berantai ataupun omongan belaka dari sosial media ataupun dunia nyata. Modusnya sederhana yaitu memanipulasi emosi melalui teks serta gambar yang statis dengan editan yang kasar. Kami menyebut ini sebagai “Hoaks Tradisional”.

Masuknya Artificial Intelligence (AI) melahirkan dan mengevolusi Hoaks secara besar-besaran. Ini bukan lagi sekedar tulisan ataupun ucapan, tetapi realitas menggunakan audiovisual yang sulit untuk dibedakan dengan kenyataan aslinya. Teknologi Deepfake ini dapat memungkinkan siapa saja dapat terlibat dengan akurasi yang sangat mengerikan.

Dalam konteks ini, Deepfake menjadi senjata pamungkas untuk menjatuhkan, merusak, mengadu domba orang lain dalam 1 kali gerak. Ia tidak meminta untuk membaca kebohongan, tetapi ia memaksa untuk menyaksikan kebohongan seolah-olah itu sebuah fakta empiris.

Teror Pada Panggung Global

Fakta terror ini sangat mengerikan. Mengapa “terror?”, dampak yang dihasilkan dari hal ini tidaklah kecil melainkan sangat besar dan bisa memicu kehancuran sebuah negara ataupun dunia.

Kita bayangkan sebuah skenario, didalam sebuah video Deepfake menampilkan sebuah kepala negara dari negara Wakanda mengatakan bahwa beliau akan memotong penyaluran dana pendidikan sebesar 80% dari total dana yang akan diberikan, serta melakukan banyak PHK massal untuk melakukan efisiensi anggaran. Dengan menggunakan intonasi suara, wajah, mimik yang 100% itu sangat mirip. Terbayang bukan apa yang terjadi selanjutnya?

Baru beberapa menit video tersebut muncul sudah lebih dari 1 juta penguna menyukai dan bahkan hampir setengahnya membagikan tayangan tersebut. Kecepatan penyebaran kebohongan sangat jauh melampaui kecepatan verifikasi kebenaran sehingga tayangan tersebut baru terbukti 1 hari setelah penyebaran tersebut. Kepanikan sudah terjadi dimana-mana, kerugian, keributan dari suara masyarakat sudah terdengar.

Hilangnya “Shared Reality” (Realitas bersama)

Saat ini bahaya terbesar dari Deepfake dalam ekosistem hoaks modern bukanlah tentang teknologi itu sendiri, tetapi tentang turunnya kepercayaan publik. Saat Masyarakat sudah tidak bisa lagi membedakan yang mana video asli dan mana yang manipulasi, kita akan mengalami apa yang disebut Liars’ Dividend (kondisi dimana manusia sudah tidak bisa membedakan kebenaran dan kebohongan).

Pada kondisi ini, kebenaran menjadi relative pada Masyarakat. Pelaku kejahatan bisa mengkalim bukti video mereka sebagai “Deepfake”, sementara itu video asli akan dianggap hoaks. Pada akhirnya Masyarakat menjadi apatis terhadap segala hal termasuk informasi. Pilar demokrasi dan hukum yang selalu bergantung terhadap data dan bukti nyata menjadi goyah.

Menjadi Penjaga Gerbang Kebenaran

Menghadapi era ketika mata tak bisa lagi dipercaya,sekarang bukan lagi soal bagaimana kita melihat tapi bagaimana kita kritis terhadap literasi digital.

Kita harus bergeser dari pola pikir “Seeing is believing” untuk menjadi “Verify before trusting”.

Tata cara agar kita bisa terhindar dari Deepfake ini adalah; 1. Periksa konteks, bukan hanya konten belaka 2. Menganalisa kejanggalan: selalu kritis terhadap suatu hal yang janggal terutama dalam menelaah informasi. 3. Mengandalkan sumber yang terpercaya: Kembali kepada media jurnalistik yang terpercaya. Deepfake mungkin telah mencuri kemampuan manusia dalam mempercayai sebuah informasi menggunakan pengindraan mata, tapi ia tidak boleh mencuri kemampuan kita dalam berpikir kritis. Di tengah badai hoaks modern yang merajalela, nalar adalah satu-satunya pelita yang tidak bisa dipalsukan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image