Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Putria Ramadhani

Sisi Gelap Energi Hijau: Apakah Kita Sedang Menuju Perang Sumber Daya Baru?

Politik | 2025-12-10 17:08:30

Transisi energi dari bahan bakar fosil menuju energi terbarukan didorong oleh urgensi kolektif untuk menanggulangi dampak perubahan iklim, yang dimana isu perubahan iklim sudah diakui sebagai ancaman global. Beberapa upayah telah dilakukan, seperti adanya perjanjian ”Paris Agreement” pada tahun 2015 yang mengharuskan setiap negara anggota salah satunya Indonesia untuk menetapkan National Determined Contribution (NDC) sebagai perwujudan dari komitmen untuk perubahan iklim.

Isu keamanan energi sendiri telah menjadi salah satu isu yang menarik perhatian internasional sejak tahun 1970. Dalam perspektif geopolitik, energi seperti minyak dan gas bumi dianggap sebagai komoditas yang strategis dan elemen mendasar dalam keamanan nasional dan kekuatan militer. Berdasarkan persepsi ini, keamanan energi dapat diartikan sebagai kemampuan sebuah negara untuk mengontrol sumber, infrastruktur hulu-hilir untuk menjamin ketersediaan pasokan yang mencukupi untuk pembangunan ekonomi sehingga objek keamanannya adalah negara dan kedaulatannya.

Namun seiring waktu, pergeseran energi dari yang bahan bakar fosil menuju energi terbaharukan yang berbasis elektrifikasi merubah fokus keamanan yang pada awalnya berfokus pada supply security menjadi resilience security yang mencakup keamanan terhadap keberlanjutan pasokan material kritis, teknologi, dan integritas data maupun jaringan.

Dengan adanya pergeseran energi, isu keamanan baru berpotensi memunculkan persaingan serta konflik geopolitik baru terhadap negara penghasil minyak dengan negara pemegang teknologi energi terbarukan terutama negara pemegang manufaktur teknologi EBT tentunya akan unggul dan menggantikan dominasi negara pengekspor minyak. Terlebih lagi, pergeseran energi ini menyebabkan munculnya ketergantungan terhadap mineral kritis yang dapat memunculkan ancaman terhadap rantai pasok global.

Pergeseran energi terbarukan memerlukan infrastruktur baru. Kendaraan listrik, baterai serta pembangkit listrik seperti panel surya dan turbin angin memerlukan komponen-komponen yang berbahan dasar mineral seperti nikel, kobalt, lithium, tembaga, dan grafit. Pergeseran ini menunjukan bahwa ketergantungan terhadap mineral kritis tidak bisa dipungkiri lagi, dikutip dari laman resmi International Energy Agency (IEA) pengunaan mineral kritis pada Pembangkit listrik tenaga surya fotovoltaik (PV), ladang angin, dan kendaraan listrik (EV) umumnya membutuhkan lebih banyak mineral untuk dibangun dibandingkan pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Mobil listrik pada umumnya membutuhkan enam kali lipat asupan mineral mobil konvensional dengan total penggunaan mineral sebesar 206,1kg/kendaraan dan pembangkit listrik tenaga angin darat membutuhkan sembilan kali lipat sumber daya mineral dibandingkan pembangkit listrik berbahan bakar gas dengan total 7000-15.500kg/Mw.

Mineral yang digunakan dalam mobil listrik dibandingkan dengan mobil konvensional

Source: International Energy Agency

Mineral yang digunakan dalam teknologi energi bersih dibandingkan dengan sumber pembangkit listrik lainnya

Source: International Energy Agency

Berbeda dengan cadangan bahan bakar fosil seperti minyak dan gas bumi yang melimpah dan tersebar dibeberapa wilayah, mineral kritis hanya terkonsentrasi dibeberapa wilayah saja yang menyebabkan ketegangan geopolitik baru diantara negara maju. Tiongkok dan Amerika Serikat berlomba untuk mendapatkan akses ke sumber daya alam hingga berusaha mendikte teknologi dan standar yang digunaan. Dominasi Tiongkok terhadap rantai pasok membuat AS memrumuskan ulang kebijakan keamanan nasionalnya. National Security Strategy (NSS) dan National Defense Strategy (NDS) terbaru Amerika Serikat menempatkan sumber daya energi—yang kini mencakup mineral kritis—sebagai titik fokus utama, menandakan bahwa persaingan atas mineral ini dilihat sebagai isu keamanan kera

Indonesia merupakan salah satu contoh dari negara yang menjadi pengekspor mineral kritis berupa nikel mentah yang menjadi salah satu bahan dasar dari pembuatan kendaraan listrik. Adanya ketidak merataan sumber daya ini dapat menimbulkan konflik antara negara berkembang yang memasok bahan baku dan negara maju pasalnya, negara-negara pemasok mineral kritis seperti Indonesia, Meksiko dan Chili berupayah agar mereka dapat mengelolah sendiri bijih mineral mentah menjadi setengah jadi ataupun produk jadi dengan tujuan untuk memaksimalkan nilai tambah ekonomi domestik dan memperkuat kedaulatan atas sumber daya alam (SDA). Tentu saja negara maju sebagai konusmen tidak menyetujui kenaikan harga mineral kritis yang diberlakukan oleh negara pemasok sehingga hal ini memicu kerenggangan diplomasi antara negara maju (konsumen teknologi) dan negara berkembang (produsen bahan baku). Indonesia sendiri pernah digugat oleh Uni Eropa di WTO terkait larangan ekspor nikel atau dikenal dengan sebutan hilirisasi. Hilirisasi bertujuan agar investor asing mebangun smelter di Indonesia agar nikel dari Indonesia memiliki nilai jual yang lebih. Menanggapi hal ini, UE menganggap langkah Indonesia tidak adil dan melanggar prinsip perdagangan bebas dimana selanjutnya pada November 2019 UE membawa gugatan ini ke Dispute Settelment Body (DSB) WTO dengan pelanggaran pada pasal Pasal XI:1 GATT 1994 yang melarang pembatasan kuantitatif (seperti larangan ekspor/impor) antar negara anggota WTO. (Organization, 2022)

Studi kasus ini menunjukan bahwa peralihan energi fosil ke energi terbarukan dapat menimbulkan konflik, baik dalam bentuk perang dagang maupun perebutan SDA oleh negara maju terhadap negara berkembang. Dengan adanya hal ini, fokus keamanan sudah bukan lagi soal siapa yang menguasai minyak maupun gas bumi tetapi sudah bergeser menjadi siapa yang dapat mengelolah serta memegang rantai pasok global terhadap mineral kritis.

Dengan adanya kasus ini, pemerintah diharapkan dapat memberlakukan diversifkasi rantai pasok agar negara tak hanya bergantung dengan satu negara tetapi juga dapat mencari alternatif agar rantai pasok global tidak mengalami hambatan-hambatan. Lalu pemerintah diharapkan berfokus pada teknologi daur ulang di daerah tambang guna menjaga lingkungan serta mengurangi kebutuhan tambang baru.

Sejarah menunjukkan bahwa sumber energi bisa berubah, tetapi hasrat negara untuk menguasainya cenderung tetap sama. Jika tidak ada sistem global yang adil dan termasuk bagi semua, maka dekarbonisasi bisa jadi bentuk baru dari kolonialisme. Di sini, kenyamanan lingkungan negara maju dicapai dengan biaya kerusakan ekologi dan ketidakstabilan politik di negara-negara berkembang.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image