Energi Nuklir: Sudah Aman, Bersih, dan Efisien, Namun Masih Dianggap Menakutkan
Teknologi | 2025-07-14 19:39:30Belakangan ini, pernyataan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mengenai potensi kerja sama Indonesia dengan Rusia dalam pengembangan reaktor nuklir kembali memunculkan perdebatan di ruang publik. Bukan dalam konteks senjata, melainkan sebagai bagian dari solusi energi bersih. Wacana ini terdengar ambisius, dan memang seharusnya demikian, mengingat Indonesia tengah menghadapi tantangan serius dalam krisis energi dan perubahan iklim. Bahkan, ada banyak lembaga yang meneliti energi nuklir seperti United Nations Economic Commission for Europe (UNECE) melaporkan bahwa nuklir memiliki kerapatan energi lahan hingga 34x tenaga surya dan 130x tenaga angin.
Namun, respons masyarakat justru lebih banyak dipenuhi kekhawatiran dibandingkan rasa ingin tahu. Istilah “nuklir” masih sering diasosiasikan dengan ancaman dan bahaya, seolah-olah pembangunan reaktor akan menghadirkan bom atom di lingkungan sekitar.
Padahal, secara objektif, energi nuklir merupakan salah satu pilihan paling masuk akal untuk mendukung transisi energi yang bersih dan berkelanjutan. Sayangnya, citra yang telah lama terbentuk dan tidak kunjung diperbarui membuat teknologi ini sering kali ditolak bahkan sebelum mendapat penjelasan yang utuh.
Warisan Ketakutan: Dari Chernobyl hingga Grup WhatsApp
Ketika kata “nuklir” disebut, bayangan yang muncul di benak publik umumnya masih berkutat pada tragedi Chernobyl, radiasi, dan dampak destruktif lainnya. Kita cenderung lebih akrab dengan referensi populer seperti serial Fallout ketimbang membaca laporan resmi dari Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Padahal, teknologi reaktor generasi terbaru telah mengalami kemajuan signifikan dari sisi keselamatan dan efisiensi operasional.
Menurut International Energy Agency (IEA), energi nuklir telah mencegah sekitar 70 gigaton emisi karbon dioksida (CO ) selama 50 tahun terakhir setara dengan dua tahun emisi global dari sektor energi saat ini. Emisi CO dari siklus hidup pembangkit nuklir juga termasuk yang paling rendah, yakni sekitar 12 gram per kilowatt-jam, setara dengan tenaga angin dan jauh lebih rendah dibandingkan tenaga surya yang menghasilkan antara 18 hingga 48 gram CO /kWh (UNECE, 2021).
Di Indonesia sendiri, tren penerimaan publik terhadap pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) menunjukkan peningkatan. Survei yang dilakukan oleh BATAN bersama IAEA mencatat bahwa dukungan masyarakat meningkat dari 59,7% pada tahun 2010 menjadi 77,5% pada 2016. Bahkan, studi lokal di Bangka Belitung salah satu kandidat lokasi PLTN menunjukkan 73,7% masyarakat mendukung pembangunan reaktor nuklir di wilayah mereka (Fadilah et al., 2021).
Namun, ketika isu pembangunan PLTN kembali mencuat, alih-alih dipandang sebagai peluang strategis, respons publik masih cenderung emosional. Pernyataan seperti “Apakah kita akan dibom dari dalam negeri?” menjadi gambaran umum dari persepsi yang belum terinformasikan secara utuh.
Padahal, Rusia yang kini menjadi mitra potensial dalam kerja sama pengembangan reaktor memiliki pengalaman panjang dalam teknologi nuklir sipil. Mereka bahkan telah mengoperasikan reaktor modular kecil (small modular reactor/SMR) di berbagai wilayah ekstrem, dengan sistem keamanan modern yang dirancang untuk meminimalisasi risiko. Namun, menyandingkan kata “Rusia” dan “nuklir” dalam satu kalimat saja kerap cukup untuk memicu resistensi publik.
Energi Bersih yang Terpinggirkan
Dalam berbagai diskusi seputar energi terbarukan, perhatian publik dan kebijakan lebih banyak terpusat pada sumber seperti tenaga surya, angin, dan air. Energi nuklir, meskipun memiliki keunggulan sebagai sumber energi bersih yang stabil sepanjang waktu dan nyaris tanpa emisi karbon, justru jarang dilibatkan dalam percakapan strategis nasional.
Ibarat siswa berprestasi yang diabaikan karena penampilannya tidak populer, nuklir menawarkan potensi besar namun terkendala persepsi yang keliru dan warisan stigma lama.
Perspektif Kebijakan Publik: Dari Bayangan Menjadi Pilihan
Dalam kerangka kebijakan publik, energi nuklir seharusnya sudah menjadi bagian dari perencanaan jangka panjang, terlebih dalam upaya pencapaian target Net Zero Emission. Sayangnya, diskursus ini masih terbatas di ranah teknis dan belum secara luas dikomunikasikan dalam forum-forum kebijakan yang melibatkan masyarakat.
Minimnya literasi publik, serta gaya komunikasi yang cenderung teknokratik, menghambat upaya pembentukan dukungan sosial terhadap kebijakan pembangunan PLTN. Padahal, kebijakan energi tidak hanya membutuhkan landasan ilmiah, tetapi juga legitimasi sosial dan politik.
Keputusan-keputusan dalam sektor energi sering kali lebih mempertimbangkan kenyamanan politik ketimbang efektivitas jangka panjang. Alih-alih mendorong diversifikasi energi berdasarkan kajian dan proyeksi ilmiah, pilihan yang diambil justru mengikuti persepsi publik yang belum teredukasi secara memadai.
Jika transisi energi hendak diwujudkan sebagai agenda nasional yang progresif dan inklusif, maka energi nuklir perlu diintegrasikan secara terbuka dalam perencanaan dan komunikasi kebijakan. Hal ini hanya dapat tercapai apabila proses edukasi dilakukan dengan pendekatan yang komunikatif dan memberdayakan.
Radiasi: Lebih Dekat dari yang Disadari
Salah satu hal yang sering terlupakan adalah kenyataan bahwa kita telah hidup berdampingan dengan berbagai bentuk radiasi dalam kehidupan sehari-hari. Ponsel, sinar-X, hingga makanan seperti pisang, mengandung unsur radioaktif dalam kadar yang sangat kecil dan aman. Namun, ketika istilah “reaktor nuklir” muncul, reaksi yang timbul justru ketakutan berlebihan.
Bukan berarti risiko tidak ada, tetapi kekhawatiran tersebut lebih banyak muncul dari ketidaktahuan, bukan berdasarkan ancaman yang benar-benar relevan dengan teknologi terkini.
Tugas Ganda: Edukasi dan Kepercayaan Publik
Pemerintah memang dapat membangun kemitraan dengan negara-negara berpengalaman dalam teknologi nuklir. Namun tanpa strategi komunikasi publik yang efektif, dukungan sosial akan sulit dicapai. Statistik dan data teknis tidak cukup untuk meredakan kecemasan kolektif. Diperlukan pendekatan edukatif yang membumi dan empatik.
Pemerintah bersama akademisi dan pelaku industri perlu memikirkan ulang metode kampanye dan penyampaian informasi. Penggunaan medium populer seperti animasi, komik, atau platform digital seperti TikTok dan YouTube dapat menjadi jalan masuk yang relevan dengan cara konsumsi informasi masyarakat saat ini.
Keberanian untuk Melangkah ke Masa Depan
Krisis iklim merupakan tantangan nyata yang tidak menunggu kesiapan kita. Energi nuklir, meskipun kontroversial, menawarkan salah satu jalur rasional menuju sistem energi yang bersih, stabil, dan berkelanjutan. Rencana kerja sama Indonesia dengan Rusia hanya akan efektif apabila disertai dengan upaya membangun kepercayaan publik.
Tantangan utama bukan hanya pada aspek teknis pembangunan reaktor, tetapi pada kemampuan kita merancang narasi yang mampu membangkitkan pemahaman dan rasa aman. Teknologi dapat dirancang dengan presisi tinggi, tetapi penerimaannya bergantung pada komunikasi yang tepat.
Apabila kita sungguh-sungguh ingin membangun masa depan energi yang berkeadilan, maka pendekatan terhadap energi nuklir perlu direvisi. Bukan untuk ditakuti, tetapi untuk dipahami sebagai bagian dari solusi yang rasional.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
